Perempuan di Parlemen Meningkat, Akankah Menyelesaikan Masalah Perempuan?

oleh

endang (Custom)Oleh: Endang Sutiah Pane, MSi

Pemilu untuk memilih anggota legislatif telah usai digelar. Banyak pihak yang memprediksi keterwakilan perempuan di parlemen terus meningkat. Seperti yang diungkapkan pengamat politik Siti Zuhro, Pemilu 2014-2019 keterwakilan perempuan di parlemen mengalami peningkatan sebesar 25 hingga 27%. Ini terjadi karena pada pemilu 2014 KPU mewajibkan kepada parpol peserta pemilu wajib mengajukan caleg perempuan sesuai minimal batas kuota 30%.

Dengan majunya perempuan menduduki kursi parlemen bisa memberikan pengaruhnya dan berkontribusi dalam pengambilan keputusan di DPR RI yang berpihak kepada kaum perempuan. Dengan kata lain kiprah politik perempuan di parlemen akan menjadi jalan bagi penyelesaian persoalan perempuan dan mengakhiri ketertindasan perempuan selama ini karena hanya perempuanlah yang paling mengerti persoalan perempuan.

Namun sayang, harapan tak sesuai dengan kenyataan. Sebagaimana yang dijelaskan oleh peneliti politik senior dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), walaupun jumlah keterwakilan perempuan meningkat diparlemen, namun kinerja anggota legislatif perempuan tidak memuaskan, perempuan dilegislatif belum memberikan terobosan-terobosan baru bagi perempuan.

Fakta telah membuktikan, meningkatnya Caleg perempuan yang ternyata tidak dibarengi dengan meningkatnya kualitas kerja, sekedar hanya penuhi kuota, tidak akan menyelesaikan persoalan perempuan. Ini menunjukkan perwakilan yang dipilih dalam sistem demokrasi tidak berkualitas. Selain itu, kuota 30% perempuan di parlemen tidak menjamin terselesaikannya masalah perempuan.

Sesungguhnya persoalan perempuan (ketertindasan perempuan) bukan disebabkan minimnya perempuan yang duduk di parlemen atau karena parlemen dipenuhi mayoritas kaum laki-laki, sehingga keputusan-keputusan yang diambil lebih pro kepada kaum laki-laki dibandingkan kaum perempuan. Tetapi ketertindasan kaum perempuan lebih disebabkan oleh penerapan sistem demokrasi dan kapitalisme yang melegalkan manusia yang membuat hukum/ peraturan hidup manusia.

Ketika manusia yang membuat hukum, maka hukum yang dihasilkan pasti penuh dengan kelemahan, karena akal manusia tidak mampu untuk menentukan mana yang baik untuk manusia. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah: “…Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”.

Selain itu, ketika manusia yang membuat hukum, hanya akan menghasilkan kerusakan. Ini sesuai dengan apa yang ditegaskan Allah dalam surat Ar-Rum:41 “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia,…”.

Maka untuk menyelesaikan persoalan perempuan dan persoalan masyarakat pada umumnya, bukanlah dengan mendorong kaum perempuan beramai-ramai duduk di parlemen. Tetapi dengan mengganti sistem demokrasi dan kapitalisme yang terbukti selama ini tidak mampu menyelesaikan persoalan perempuan dan masyarakat pada umumnya. Dan sebagai penggantinya adalah sistem Islam yang diturunkan Allah SWT dalam rangka menyelesaikan persoalan manusia.

Dalam sejarah, ketika Islam yang diterapkan oleh Negara Khilafah Islamiyah selama 13 abad, mampu membawa manusia pada kesejahteraan. Maka sudah saatnya untuk meninggalkan sistem demokrasi dan kapitalisme, dan beralih kepada sistem islam dalam bingkai Negara Khilafah Islamiyah.

*Aktivis MHTI wilayah Takengon

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.