[Cerpen] Aroma Tanah Dalam Jejak Aman Dimot
Feri Mahdi Selian
KAKIMU berpijak di atas tanah yang pernah tumpah di atasnya darah seorang Aman Dimot yang disegani oleh mereka yang murka dan mereka yang mulia. Di atas tanah ini, Aman Dimot beserta pemimpin dan sahabat-sahabatnya pernah bertelanjang kaki menginjak duri dan menapak mimpi. Udara ini pernah dihirup olehnya, masuk lesak ke dalam paru-paru dan membantu menjalin kata-kata yang berserakan menjadi sebuah kata “Kemerdekaan”. Di tanah ini, dengan udara ini.
Kini kau berpijak di atasnya, berlagak setia, bermimpi entah apa. Kau melangkah dengan langkah kasar, namun tak pasti. Kau bertanya akan sebuah ideologi yang dianut nenek moyang bangsa mulia ini. Kau bertanya kepada setiap arca dan setiap manuskrip tentang awalan kata dari cita-cita bangsa ini. Kau juga bertanya tentang teka-teki asal muasal “reje” yang pernah tunduk patuh pada kalimah thayyibah yang dibawa nun jauh dari bangsa yang pernah maju.
Kini kau berhenti di depan sebuah peradaban serapan dari suatu bangsa dan bertanya tentang kata yang pernah digunakan oleh bangsa ini.
“Reje-kah atau mungkin Meurah?”
Kau bertanya, dan kau bertanya lagi. Kau menatap dan kau mengkaji terus. Kau tak dapatkan dia! Kau tak dapatkan istilahnya pada peradaban pendatang itu, kau tak dapatkan apapun tentang negerimu dari bangsa yang tak pernah mengenalmu.
Kau duduk murung di atas tangga sebuah pusat kebudayaan yang “katanya” adalah kebudayaan yang luar biasa, kebebasan yang dinantikan, keindahan yang tiada batas! Kau duduk di sana, menatap kosong pada sudut lancip anak tangga, kau duduk di sana entah berpikir entah menghayal, engkau duduk di sana meringkuk, menekuk dada menyentuh lutut.
Kau masih disana!
Hari ini kau berpikir seakan kau punya solusi dari pemikiran yang sedang berputar-putar di kepalamu. Kau memutuskan menghadap pada mereka yang duluan paham. Kau akan bertanya banyak, akan hal yang menurutmu adalah “akar” dari persoalan kebudayaan yang kau pikir akan tercabut.
Tekadmu bulat.
Sudah kau atur juga pikiranmu, sudah kau tulis juga deretan soal pada secarik kertas buram dengan pensil hitam. Kau berpikir, lalu menulis, kau mengingat-ingat lalu bertanya. Kini kau siap dan mantap. Kini kau akan bertanya kepada mereka yang disebut banyak orang “Kaum Edet”.
Kau optimis, mereka ahli sejarah! kau yakin, mereka merekam masa lalu. Langkahmu cepat, tak butuh selang waktu yang cukup lama kau sudah berada di depan pintunya. Tidak ada bel, tidak ada lonceng, kau mengetuk dan berucap salam dan pintu itupu dibuka.
“Ah, betul rupanya! Dia sudah tua! Dia pasti tahu!”, isi kepalamu ketika lelaki dari dalam rumah itu membukakan pintunya. Rumah itu sudah tua, pintunya bersuara seperti dahan yang patah perlahan di tengah sunyinya hutan, catnya sudah lapuk dan warnanya tak bisa kau kenali lagi.
Dengan keyakinan yang masih bulat terkumpul di dalam dadamu kau melangkah masuk dan duduk tepat di hadapan orang tua itu. Kau mulai dengan melihat wajahnya yang bersinar karena-mungkin saja air wudhu, kau lanjutkan dengan melihat sekeliling rumahnya, siapa tahu kau bisa menemukan satu saja petunjuk bahwa orang tua ini pernah meraba sejarah.
Tak kau temukan!
Tak ada tanda itu!
“Tak boleh menyerah”, begitu kata hatimu.
“Mungkin saja memang benar dia tahu apa yang terjadi pada leluhur tanah ini”, lanjutmu dalam hati.
Belum ada pembicaraan. Belum ada yang membuka. Namun sebuah talam dengan segelas kopi hitam telah datang dihidangkan seorang gadis anggun penuh kemuliaan. Dia tersenyum dan mempersilahkanmu minum, kau mengangguk dan balas tersenyum. Dia berlalu dan kau tetap dalam kemelut pemikiranmu yang sangat mendesak untuk dijawab.
“Apa maksud kedatanganmu cucuku?”, orang tua tersebut bertanya.
“Emmm”, belum siap rupanya kau menjawab, beberapa kali kau berdehem tak jelas untuk menyingkirkan grogi.
“Pertanyaan dijawab, persoalan diselesaikan, permintaan bisa jadi dikabulkan”, orang tua tersebut lanjut bertanya.
“Ah, jangan keintinya, aku belum mengenalmu, bolehkan kita saling mengetahui?”, lanjut orang tua tersebut.
Kau menatapnya dengan beberapa hal yang memenuhi kepalamu dan kau berpikir akan segera memuntahkannya dari dalam otakmu, namun belum bisa. Kau masih menunggu kata-kata yang tepat untuk dikatakan. Kau membolak balik kertas buram yang ada di tangan. Kau bolak-balik membaca tulisan di atas kertas itu. Kau diam dan kau menghela napas yang dalam.
“Aku datang untuk bertanya, Awan”, katamu memulai perbincangan.
“Hal apa yang harus kau tanyakan cucuku, tanyakanlah”, lanjut orang tua tersebut.
Kau membuka kembali kertas yang ada pada genggamanmu, kau membaca beberapa tulisan, namun tak ada yang jelas kau baca, hanya satu saja yang dapat kau baca. Sepertinya memang itu yang menjadi pemikiranmu akhir-akhir ini.
“Apa yang membuat Aman Dimot begitu dikenang?”
Orang tua itu terhenyak, dia menatapmu penuh teliti, seakan matanya bertanya “dari mana asalmu?”. Seakan dia juga berkata “bagaimana mungkin kau tidak tahu apa yang menjadikan Aman Dimot terus dikenang?”
Sebenarnya kau merasa sangat tidak nyaman dipandang demikian rupa oleh orang tua tersebut, namun kau tetap diam duduk bersila di atas papan yang ditinggikan beberapa jengkal dari tanah. Kau menunggu jawaban dan menggaruk-garuk kepalamu penuh penantian akan jawaban yang akan diberikan oleh orang tua tersebut.
Orang tua itu menarik nafas dalam, dia menatapmu penuh keseriusan, pandangannya sangat dalam menembus pupil matamu dan menyentuh hatimu.
“Dengarkan aku baik-baik, cucuku”, kau mengangguk.
“Jangan kau tanya siapa-siapa lagi setelah ini selain aku”, Kau mengernyitkan dahi.
“Kau cukup bertanya kepadaku saja, cukup aku”
“Ya”, kau jawab.
“Kemuliaan”, jawab orang tua itu singkat dan dia tidak bicara apapun setelahnya.
* * *
Kau berdiri tegak di atas bukit yang gundul. Kau menatap jauh ke tengah kota. Kau melihat kepada hilir mudiknya orang-orang. Kau melihat kepada sumber air yang sangat besar di pinggiran kota. Kau lihat semuanya. Kau pandang segalanya. Lalu kau lihat gedung putih di tengah kota.
Kau ambil segenggam tanah, kau cium, kau hirup dalam-dalam.
“Bau tanah ini bisa saja sama dari setiap jengkal tanah nusantara ini!”, bisikmu kepada udara yang melintas menyapu wajahmu.
“Tanah ini bisa saja memiliki aroma yang serupa dengan aroma tanah di negeri manapun,” katamu setengah berteriak.
“Namun, aku harus menyimpulkan”, kau hampir saja berteriak!
“Bahwa aroma tanah ini adalah aroma kemuliaan”, teriakmu.
Kau menuruni bukit itu, namun mulutmu terus mengucapkan bahwa setiap adat dan istiadat yang dibangun di negeri ini didasari atas satu hal.
“Kemuliaan”
Tiada tempat bagi perpecahan.
Tiada tempat bagi deskriminasi. [SY]
—
Bebesen, April 2014.
Atas dasar cinta pada Negeri!