Catatan Jauhari Samalanga: Sinergi kursi “Gayo” di DPR-RI dan DPRA

oleh

joe3PEMILIHAN umum 2014 ini adalah kemenangan Gayo khususnya, dan kemenangan seluruh masyarakat tengah tenggara Aceh dari Bener meriah hingga ke Aceh Singkil, yang oleh sebagian masyarakat menyebutnya Wilayah Aceh Leuser Antara (ALA).

Kemenangan itu antara lain keberhasilan 5 orang dari kawasan tersebut itu duduk di DPR-RI Jakarta, mereka adalah dari dapil Aceh 2 Ir. Tagore Abubakar dan Firmandez, sedangkan dapil Aceh 1 Irmawan, Salim Fachri, dan Muslim Aiyub.

Mengapa disebut kemanangan Gayo? analisis sederhananya tentang keberadaan wilayah dari Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues, Aceh Tenggara, Subulussalam, dan Aceh Singkil cuma mengantongi 16% suara pemilih, jauh lebih kecil di bandingĀ  pantai Barat-Selatan, dan Pantai Timur, namun 13 kursi yang di perebutkan, 5 kursi menjadi milik masyarakat dari kawasan Tengah Tenggara Aceh, ini berarti sangat dahsyat kepercayaan masyarakat kawasan lain pada 5 kandidat tadi.

Ada beberapa penyebab kemenangan yang dicapai tersebut, pertama lahirnya kesadaran politik dari masyarakat yang kian tinggi, yakni kesadaran mendukung putra daerah, kedua pengaruh partai yang tinggi, dan ketiga pembelajaran pada pemilu lalu dimana kursi putra daerah “kosong” di DPR-RI, kecuali seorang DPD-RI saja, itupun dengan perjuangan luar biasa, lantaran nyaris tertipu dengan penggelambungan suara oleh kandidat DPD-RI lain. Sedangkan khusus dapil 4 DPRA,tidak ada satupun keterwakilan Gayo secara total.

Kelima “pemenang” yang ke Senayan barangkali 2 hingga 3 saja yang akan membawa aspirasi “perlawanan” untuk membangun kawasan yang bersumber dana pusat, itupun apabila mereka sudah memastikan komisi yang dipilih, akan celaka apabila tidak satupun dari 5 orang ini menduduki komisi terkait infrastruktur, karena memulai “kawasan” harus dengan kekuatan insfrastruktur, diluar komisi yang membidangi pertahanan keamanan, pendidikan, pertanian serta energi dan pertambangan.

Namun begitu, tentu pekerjaan ini tidak mudah karena persaingan di pusat sangat tinggi dan biasanya harus ada kemampuan untuk meyakini pusat tentang konsep pembangunan di kawasan tengah tenggara Aceh, apabila “pengaruh” itu berhasil meyakini pusat, maka Tengah Tenggara Aceh semakin dekat dengan menjadi sebuah provinsi sendiri yang notabene saling menopang pembangunan dengan induknya,yakni provinsi Aceh. Baik dalam insfrastruktur maupun ekonomi. Sementara secara budaya sudah sangat dekat, Tengah Tenggara Aceh sudah memiliki bahasa, masakan, dan budaya sendiri.

Barangkali yang menjadi kendala dalam mempersepsikan sebuah provinsi baru yakni, sulitnya membangun sinergi dengan keterwakilan wilayah Tengah Tenggara Aceh di tingkat provinsi, dalam hal ini posisi wakil-wakil dari dapil 4 dan dapil 8 yang duduk di DPR Aceh belum sepenuhnya ‘ikhlas’ menyatukan suara yang menggiring kepada pemisahan provinsi, alasannya sederhana, perlawanan dilakukan pada sesama orang lokal, sehingga lebih memilih “diam” terkait itu.

11 kursi yang berhasil diraih di DPR Aceh, 6 dari dapil 4 dan 5 berasal dari dapil 8, hanya Ramadhana Lubis dari dapil 4 yang memiliki pengalaman “Aceh”, karena dia tokoh lingkungan dan tokoh LSM,terakhir menjadi direktur IMPACH di Banda Aceh. Konsep kerakyatan miliknya lumayan ampuh, karena Ramadhana memang konseptor,dan sangat memahami situasi politik Aceh secara menyeluruh.

Sedangkan kandidat lainnya bisa dibilang cukup memahami wilayah pemilihan, karena dasar mereka dari Kabupaten. mereka yang berasal dari dapil 4, antaranya Bardan Saidi (PKS) misalnya, dia kader PKS yang berasal dari DPRK Aceh Tengah, Iberamsyah (Golkar) sosok yang tiba-tiba muncul dan menjadi tokoh. Beliau adalah mantan pegawai Departeman Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta. Dalam masyarakat Gayo Jakarta Iberamsyah dikenal aktif pada acara-acara keluarga besar urang Gayo, dan dikenal tauladan bagi keluarga sehingga awalnya namanya tidak “populer” sampai ke masyarakat di Gayo secara umum.

Dua kader Partai Aceh yang ikut mengisi kursi DPR Aceh dari Gayo yakni Adam Mukhlis (dapil 4) dan Muhammad Amru (dapil 8) tampaknya akan menjadi “pertanyaan” besar dari masyarakat, Karena mereka adalah Gayo yang berada di partai paling “komando” di Aceh. Dalam politik, nama Muhammad Amru bukanlah nama baru, dia adalah mantan ketua DPRK Gayo Lues dari partai Golkar yang menyeberang ke Partai Aceh, berbeda dengan Adam Muchlis yang tipis pengalaman.

Sementara 4 kursi lainnya Ismaniar dan Buhari (PAN) dan Alaidin Abu Abas dan Jamidin Hamdani tampaknya lebih memilih “tidak ikut” di permainan kandidat Gayo di Pusat, karena pengawasan kuat dari partai, kecuali Ismaniar yang notabene sudah berpengalaman di “politik” Aceh, dan aktif menjadi aktivis perempuan. Dan itupun sangat tergantung pada koalisi Presiden mendatang.

Jadi, penyatuan persepsi antara DPR-RI dengan DPR Aceh sangat penting, karena itu penyeimbang. Namun begitu, hal paling utama adalah menjalin sinergi “kesejahteraan” untuk rakyat, sebab tanpa sinergi itu, maka percuma berbicara soal pemisahan provinsi, sebab fokus rakyat sebenarnya adalah kesejahteraan.

Penulis adalah Redaktur Pelaksana LintasGayo

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.