[Cerpen] Kesetiaan Gadis Lugu yang Dikalahkan Waktu

oleh

Anuar Syahadat

Rintik hujan terus berjatuhan membasahi bumi, kupandanggi sekeliling rumah yang telah gelap. Gelap diterpa embun. Hatiku berpikir bagaimana terjadinya masa lalu dan masa yang akan datang. Rasa mulai mengenang yang pernah terjadi, aku telah bercerita tentang kepedihan hati kepada orang yang kusayangi.

Perjalanan hidupku memang sedikit berbeda dengan rekan seusiaku. Bagaimana tidak, meskipun sudah berusia 24 tahun masih belum sepuasnya merasakan bercinta. Hatiku telah banyak tergores luka, meski batinku inggin seperti gadis yang saban minggu berkeliling ke Bukit Cinta bersama pujaan hatinya. Semetara aku tetap bertahan menunggu cinta pulang dari perantauan.

“Linda sudahi saja penantianmu, kita ini sudah tua lho. Jagan terlalu berharap kepada orang yang tidak engkau ketahui kebaradaanya, kita tidak tau apakah pacarmu itu punya pacar disana atau tidak. Jagan menunggu yang ujungnya sia-sia”, kata Siti teman akrabku.

Mendegar ucapanya aku hanya bisa duduk dan terdiam, aku begitu terigat dengan kisah yang pernah kujalin bersama bang Ardi. Bagaimanapun, ia sudah berkorban untuk mendapatkan Cintaku.

“Bukanlah begitu Siti, bang Ardi sudah dari SMA dulu mengejarku, lagian aku sudah berjanji akan setia menunggunya”, kataku kepada Siti.

Di SMA dulu, bang Ardi memang sudah menunjukan tanda cintanya, tetapi aku masih lugu. Begitu juga saat kuliah dulu di Kuta Raja. Berulang kali ia utarakan perasaanya, tetapi aku masih saja tak mau menerimanya.

Sejak saat itu aku merasa bersalah. Bagaimanapun aku juga mempunyai perasaan yang sama, tapi aku tidak bisa menerima cintanya karena ingin fokus kuliah. Kisahku dengan bang Ardi baru terjalin setelah aku menyelesaikan kuliah.

Awalnya aku hanya igin mencoba-coba. Sebab saat itu bang Ardi sudah meninggalkan kota Gayo Lues untuk mencari nafkah. Dari hari ke hari rasa cinta dan sayangku terus bertambah karena sering berkomunikasi. Dalam batinku akan setia menunggunya pulang dari rantau. Berbagai kenangan dengan bang Ardi, ia anak tetangga kampungku yang masih satu kecamatan. Tapi belakangan ia tak ada kabar, saat kutelpon tidak di angkat. Begitu juga saat ku-sms tidak dibalas. Mungkin bang Ardi telah melupakan janji yang pernah terucap.

“Linda, kenapa sih kamu begitu yakin dan percaya meunggu Ardi”, tanya Siti kembali melontarkan pertanyaan saat aku duduk di teras rumah menunggu hujan reda. Aku tau maksud pertanyaannya, bukan ia mau aku memutuskan bang Ardi, bukan pula mengiginkan aku mencari pacar yang lain. Pasti ia ingin melihatku bahagia. Pertanyaan Siti tidak langsung kujawab, kutarik nafas dalam-dalam dan kulepaskan dan kutarik lagi. Galau.

“Dulu aku pernah berjanji akan menunggu bang Ardi pulang, paling tidak hingga lebaran ini Siti”, menjawabku.

Siti sendiri tau keberadaanku, apalagi saat ini ada seorang pemuda yang sedang berusaha masuk kedalam hidupku, meksi aku sudah pernah bertemu dengannya saat di kantor dulu dan di jalan raya sambil minum air kelapa muda. Aku masih tak bisa menyimpulkan perasanku. Pemuda itu bukan bertampang jelek, dan bukan pula bertampang ganteng. Jika dilihat sekilas hanya biasa-biasa saja, hanya saja aku masih terikat dengan janji hingga tak kupedulikan perasaabnya. Ia pernah menayaiku

“Apakah adik akan terus menanti karena cinta dan janji itu? Apakah adik berharap penuh dengan Ardi itu? Jika ia, adakah batas waktu penantianmu dik? ”, kata bang Wira yang igin tau. Awalnya aku tak bisa berkata-kata setelah mendengar ucapanya lewat Hp, tetapi kuberanikan diri menjawab lewat pesan BBM.

“Sebenarnya jika berharap memang. Aku sangat berharap dengan bang Ardi, karena aku dulu pernah berjanji setia untuk menuggu, walau bagaimanapun. Kata-kata itu harus kubuktikan, memang jodoh hanya Tuhan yang tau, kita hanya bisa berusaha dan sejauh ini aku sangat-sangat berharap. Itu harus kuterima dengan ikhlas, yang terpenting usaha untuk menjaga kesetian sudah kubuktikan, kalaupun nanti tak berjodoh aku senang. Karena tidak menghianati janji yang pernah kukatakan padanya”, jelasku pada bang Wira. Jawaban itu bukan membuat bang Wira kecewa atau patah hati. Malahan ia sedikit tertawa dengan jawabanku. Apa lagi setelah kukatakan jika batas waktu penatian cintaku jelas ada.

“Saya ini perempuan bang, tidak boleh berlama-lama menuggu seseorang. Nanti monopous ngak bisa punya anak”, kataku lagi sedikit ngeres.

Bang Wira penuh percaya diri mendengar jawabanku, kedewasaannya mampu mengalahkan suasana yang seharusnya mencekam. Memang bang Wira sudah berniat untuk menjadikanku istri.

“Jika seandainya bang pingin lebih dekat dengan adik, dan inggin menjadi yang terbaik untuk adik, adakah kesempatan buat abang…??”, tanya bang Wira yang sempat membuatku bingung menjawabnya.

Pertanyaan itu sungguh membuatku kaku, ketulusannya sangat kuhargai meski untuk saat ini belum bisa berbuat banyak.

“Kenapa harus keberatan bang, kita lelaki dan perempuan dan orang sekarang sangat susah dipercaya. Kita menuggu, yang ditunggupun meninggalkan kita. Itu yang sangat saya ragukan bang”, jawabku.

Rasa percaya diri bang Wira terus bertambah setelah kuucapkan kata-kata itu, ia sering bertanya tentang kabarku dan mengaja jalan-jalan. Lambat laun akupun mulai menyukai bang Wira, kami sering pergi dan berjalan sama menikmati indahnya kota berjuluk Seribu Bukit. Perasaan bang Wira memang sudah kuketahui dari dulu, dan kini penantian cinta berbatas waktu itu telah tiada.

Akhirnya bang Wira memutuskan untuk meminangku menjadi istrinya yang sah. Aku yang lugu dan telah terpedaya cintanya hanya bisa mengiyakan. Kalau boleh jujur akupun menyukai dan menyanggi bang Wira, kami hidup bersama dengan bahagia, pengertianya mampu menghilangkan sejuta kenangan yang pernah ada bersama bang Ardi. Saban hari, canda dan tawa selalu mengiringgi rumah munggil kami, aku bahgia. Aku terpedaya cinta bang Wira. [SY]

*Bujang Gayo di Blangkejeren Gayo Lues, berprofesi sebagai wartawan

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.