Oleh : Win Wan Nur
BERTEPATAN dengan hari Kartini kemarin. Media ini menurunkan beberapa tulisan yang berkaitan dengan tema hari emansipasi perempuan ini. Mulai dari artikel yang membahas tentang Kartini sampai komentar dari perempuan-perempuan Gayo tentang Kartini.
Dan sebagaimana kebanyakan orang Indonesia yang hanya riuh di permukaan dalam gempitanya peringatan hari besar. Begitu pula para perempuan Gayo yang pendapatnya dimuat dalam tulisan-tulisan ini dalam menilai dan mengomentari kartini. Pokoknya komentar, paham tidaknya terhadap masalah yang dikomentari itu urusan belakangan.
Di satu artikel dikatakan “siswi-siswi berjiwa kartini di berbagai jenjang sekolah di Tanoh Gayo, semakin mencuat dan malah seperti “ketagihan” untuk terus menggapai prestasi”. Seolah jiwa Kartini hanya sedangkal itu, yang tujuannya adalah terus menggapai prestasi.
Di artikel lainnya, yang memuat komentar empat perempuan Gayo dari berbagai latar belakang dan profesi, malah lebih parah lagi. Ada yang minta hari kartini dihapus saja, ada yang mengatakan “Kartini tidak ada ubahnya dengan perempuan pejuang lainnya. Di Aceh ada Cut Nyak Dien, Cut Meutia, dan Keumalahayati” bahkan seorang guru di Gayo Lues mengatakan Sejarah Kartini samar-samar.
Pendapat dan komentar-komentar dari para perempuan Gayo di atas dengan jelas menunjukkan bahwa mereka semua memiliki pengetahuan yang sangat sedikit bahkan ada yang sama sekali tidak kenal Kartini tapi dengan penuh percaya diri berkomentar keras terhadap Kartini. Ini mengingatkan kita pada ibu-ibu Dharma Wanita di masa orde baru yang biasa membuat pidato-pidati hebat tentang Kartini, padahal mereka sama sekali belum pernah membaca surat-surat Kartini.
Dari apa yang kita baca di kedua artikel itu, jelas sekali terbaca bahwa semua perempuan yang berkomentar ini tidak tahu bahwa dalam usia ABG, Kartini yang mereka rendahkan itu sudah melahap buku-buku sastra bermutu tinggi seperti roman-feminis karya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata). Di usia ABG, Kartini sudah tuntas membaca Max Havelaar-nya Multatuli sebuah novel yang mengambil latar belakang kehidupan petani Kopi, yang dengan jelas dan lantang membeberkan nasib buruk rakyat yang dijajah.
Bacaan-bacaan inilah yang mempengaruhi pola pikir Kartini dan caranya memandang dunia.
Kartini yang sudah dipingit sejak umur 12 tahun bukan sosok yang mudah menyerah, meskipun dia tidak boleh lagi bersekolah tapi di rumah ia mulai belajar melalui buku-buku, koran, dan majalah Eropa. Sehingga di usia ABG-nya, Kartini benar-benar sudah menjadi sosok yang berpikiran global dan memiliki kedasaran yang menginternasional. Meski raganya dikungkung dalam pingitan, pikiran dan jiwa Kartini melanglang bebas menjelajah luasnya dunia. Kartini yang berada dalam kungkungan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya.
Sehingga tidak heran di usianya yang masih ABG, Kartini sudah menunjukkan perhatian dan analisa mendalam tentang emansipasi wanita, masalah sosial umum sampai agama. Surat-surat Kartini berisi pandangan-pandangan hebat seorang remaja berusia belasan tentang agama, gaya hidup, pendidikan, peradaban, dan ketidakadilan. Dalam tulisan-tulisannya, Kartini mengecam pertikaian-pertikaian yang terjadi atas nama agama. Kartini mempertanyakan mengapa kitab suci harus dilafalkan dan dihafalkan tanpa diwajibkan untuk dipahami. Kartini juga mengecam konsumsi candu (narkoba) yang biasa dilakukan para bangsawan Jawa.
Hebatnya segala keluasan wawasan dan pengetahuannya tidak membuat Kartini menjadi sosok yang sombong. Kartini adalah sosok yang sangat rendah hati, segala gelar kebangsawanan yang dia sandang justru membuatnya jengah. Kartini merasa dia sama saja dengan umat manusia manapun di bumi, ini bisa terbaca dari ucapannya yang terkenal “Panggil aku Kartini saja” Tanpa embel-embel gelar kebangsawanan. (bandingkan dengan perempuan masa kini yang bukan apa-apa saja ingin dipanggil dengan embel-embel gelar dan predikat tertentu)
Kalau kita amati dari surat-suratnya. Ide-ide pembebasan Kartini itu bukan hanya soal perempuan, tapi mencakup dalam banyak aspek kehidupan. Dibanding istilah feminis, Kartini sebenarnya lebih tepat disebut sebagai seorang Humanis. Sebab jelas sekali ide pembebasan Kartini bersifat Universal.
Itulah yang menjadi alasan mengapa Kartini menjadi sosok yang begitu dikagumi pada masa pergerakan kemerdekaan, sampai-sampai seorang WR Supratman pun tergugah mengarang lagu untuknya, setelah mengikuti Kongres Perempoen 1928.
Setelah membaca uraian singkat tentang Kartini di atas, sekarang mari kita bandingkan ABG yang hidup di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 ini dengan remaja perempuan Gayo abad ke-21 zaman sekarang yang beberapa di antaranya dengan begitu jumawa berkomentar sinis dan terkesan melecehkan Kartini. Apakah remaja kita yang hebat ini sudah membaca sastra dunia bermutu karya penulis besar semacam George Orwell (yang belum genap berusia setahun sewaktu Kartini wafat), Leo Tolstoy sampai Pramoedya. Jangankan itu, bahkan sangat diragukan kalau mereka sudah membaca buku-buku John Bowen yang berisi ulasan dan analisa lengkap tentang Gayo sendiri. Masa kini bbrp org justru ingin dipanggil dg embel-embel gelar dan predikat tertentu tetapi Kartini malah tidak.
Kita dan terutama saya sendiri tentu akan sangat bangga kalau mengetahui ada remaja perempuan Gayo dengan kualitas seperti ini.
Tapi dengan segala kemudahan yang disediakan teknologi zaman sekarang, bahkan dengan mengetikkan kata kunci ‘KARTINI’ kita sudah dapat membaca sejarah Kartini tapi perempuan Gayo masih mengatakan “Sejarah Kartini samar-samar”. Pantaskah kita menyebut para perempuan Gayo ini sebagai Kartini masa kini?
*Pemerhati sosial, berdarah asli Gayo