Oleh. Drs. Jamhuri Ungel, MA[*]
Istilah teng eteng iyak sangat populer dalam tradisi dan budaya Gayo sejak awal, namun karena pergeseran budaya masyarakat istilah ini hampir tidak dikenal lagi terlebih oleh generasi sekarang ini.
Teng Eteng Iyak Dalam Tradisi Masyarakat
Praktek teng eteng iyak ini sering dilakukan oleh masyarakat Gayo dalam kegiatan kebersamaan atau lebih populer dengan sebutan gotong royong, dimana semua orang bekerja secara bersama-sama dengan membawa perbekalan masing-masing dan tidak membebankan kepada satu orang (pemilik pekejaan), kendati pekerjaan yang dikerjakan secara bersama tersebut adalah pekerjaan milik satu orang diantara mereka. Budaya teng eteng iyak ini biasa berhubungan dengan makanan, minuman bahkan sampai kepada rokok.
Sebagai masyarakat yang hidup sebagai petani budaya teng eteng iyak ini sangat membantu pemilik pekerjaan, si pemilik pekerjaan tidak perlu memikirkan atau menyediakan makanan untuk mereka yang bekerja dan yang bekerja juga tidak berharap kepada penyediaan makanan dari yang empunya pekerjaan. Di dalam kelompok teng eteng iyak ini mereka saling memberi dan membantu dengan menggunakan tenaga yang mereka miliki, bentuk teng eteng iyak seperti ini dalam bahasa Gayo disebut dengan “mango lo”.
Mango lo artinya seseorang mengorbankan waktu yang dimiliki untuk bekerja ditempat orang lain dengan kesepakatan hari yang dikorbankan tersebut akan diganti oleh mereka yang dibantu sebanyak hari yang dikorbankan, group atau kelompok mango lo dalam budaya Gayo tidak ditentukan jumlahnya boleh jadi dua, tiga dan empat tetapi hampir tidak pernah lebih dari jumlah tersebut. Demikian juga kesepakatan hari untuk bekerja, boleh jadi bekerja di tempat satu orang sampai dengan selesai dan setelah selesai baru akan berpindah ke tempat orang lain (kedua) setelah selesai di tempat kedua baru punda ke tempat yang ketiga, demikian seterusnya, namun boleh juga dengan cara satu-satu hari bergilir sesuai dengan jumlah anggota group, ini sangat tergantung kepada kesepakan bersama antar anggota kelompok. Untuk kegiatan inilah masing-masing anggota membawa perbekalan utamanya nasi untuk makan siang, kopi dalam botol dan juga rokok bagi yang merokok.
Untuk teng eteng iyak dalam kegiatan mango lo tua rumah atau pemilik pekerjaan sebagaimana disebutkan tidak perlu menyiapkan apapun dan kalaupun mempunyai kemudahan biasa hanya menyiapkan makanan ringan (jengo) selain dari nasi.
Karena pergeseran tradisi dan budaya teng eteng iyak ini muai berubah sedikit demi sedikit yang pada mulanya pemilik pekerjaan tidak perlu menyiapkan apa-apa namun lambat laun pemilik pekerjaan merasa tidak enak (merasa tidak bermoral) apabila ada orang (tamu) yang bekerja tidak disiapkan kopi atau makanan lain bahkan pemilik kerja pada akhirnya menyiapkan nasi untuk makan siang bagi mereka yang bekerja.
Makna lain yang bisa kita pahami dari pergeseran budaya ini adalah bahwa mereka yang mango lo itu pada dasarnya mengerjakan pekerjaan berat yang tidak sanggup dikerjakan sendiri, baik beratnya karena beratnya pekerjaan ataupun karena banyaknya pekerjaan sehingga kalau dikerjakan sendiri tidak akan cepat selesai. Di sisi lain juga pekerjaan tersebut jauh dari kampung karenanya akan lebih berani bila dikerjakan bersama-sama. Tradisi mango lo untuk pekerjaan yang berat dan jauh pada awalnya hanya dikerjakan oleh kaum laki-laki. Sedangkan untuk pekerjaan yang biasa dikerjakan oleh kaum perempuan pada awalnya tidak menggunakan sistem mango lo tetapi lebih banyak menggunakan sistem bejamu, dalam sistem ini tidak ada yang namanya teng eteng iyak.
Teng Eteng Iyak dalam Masyarakat Modern
Praktek teng eteng iyak dalam masyarakat modern masih banyak kita temukan meski tidak lagi sebagaimana masyarakat dalam masyarakat tradisional, kalau dalam masyarakat tradisional sebagaimana disebutkan di atas teng eteng iyak lebih kepada upaya meringankan beban pemilik kerja dan pekerjaan lebih cepat selesai karena dikerjakan oleh kelompok. Sedangka dalam masyarakat modern teng eteng iyak tetap bertujuan untuk tidak memberi beban kepada orang-orang tertentu namun kegiatan seperti ini lebih banyak untuk kegiatan yang bersifat hiburan. Seperti membuat satu kegiatan/kenduri dengan cara mesing-masing keluarga membawa makanan dan di tempat acara makanan yang dibawa digabung dan dimakan bersama-sama, tradisi ini yang berkembang sampai sekarang dalam masyarakat sehingga dalam tradisi dan budaya Gayo tidak ada yang namanya Kuang Belangong (dalam adat Aceh). Artinya dalam budaya Aceh masyarakat membawa hidangan ke meunasah dan kuahnya disediakan di oleh panitia di meunasahm sedang dalam masyarakat Gayo semua dibawa oleh masing-masing anggotan keluarga dalam masyaraka.
Keluarga Negeri Antara (KNA) yang merupakan salah satu organisasi masyarakat Gayo yang ada di banda Aceh dengan inisiatif dari para pengurus mengadakan kegiatan arisan dengan mengadopsi sistem teng eteng iyak kendati secara tidak penuh , dimana semua anggota arisan berkewajiban membawa makanan (lauk pauk) untuk dimakan bersama-sama di tempat arisan, tuan rumah yang mendapat giliran sebagai tempat arisan hanya menyediakan nasi. Uang yang dijadikan sebagai bagian dari arisan tidak dijadikan sebagai syarat untuk tempat pelaksanaan arisan selanjutnya karena dalam sistem arisan yang biasa dilaksanakan siapa yang mendapatkan uang arisan berarti di rumahnya arisan selanjutnya akan dilaksanakan, tetapi dengan mengadopsi sistem teng eteng iyak ini uang yang didapat tidak harus dijadikan sebagai biaya arisan.