
Catatan: Muhammad Syukri
MEMANCING di Danau Laut Tawar berbeda dengan di lautan lepas. Ikan di Danau Laut Tawar tergolong sepuh (sombong). Berbagai umpan sudah diuji, toh, dijentik-nya (disentuh) pun tidak pernah. Pindah ke lokasi lain, kejadiannya juga seperti itu. Ujung-ujungnya, kita harus pulang dengan iwen (keranjang ikan) kosong.
Bincang-bincang dengan Pang Uten perihal kesombongan ikan-ikan di Danau Laut Tawar, dia tidak sependapat. Menurut Pang Uten, ikan-ikan itu tidak sombong tetapi pintar-pintar. Sebagai warga yang tinggal di tepian Danau Laut Tawar, dia sangat paham prilaku ikan disana.
“Ikan-ikan itu sangat pemilih, karena mereka cukup paham mana dedak enak, mana pelet bergizi, mana cacing, mana mata pancing,” kata Pang Uten.
Kadangkala, ikan-ikan itu timbul ke permukaan, bahkan melompat-lompat di depan pemantaran kita. Namun, kail kita tetap tidak pula dijentik-nya. Memang ikan-ikan itu seperti mengangek-angekkan kita.
Makanya banyak pemancing yang tidak sabar, terus dituangnya herbisida kedalam danau. Udangpun buntang (mengapung). Kemudian udang itu diserbu ikan-ikan yang ada disana. Diantara udang yang buntang itu, termasuk umpan kita.
“Meracuni udang dengan herbisida akan mematikan benih ikan yang ada disana, itu dosa,” kata Pang Uten.
Menurut Pang Uten, dia pernah ikut tanding lomba mancing dengan Kemang. Mereka memiliki pemantaran (tempat mancing) yang berdampingan di Teluk Mandalay. Oleh Sane yang disepakati sebagai juri, Pang Uten dan Kemang diberi kesempatan mempersiapkan diri selama seminggu.
Selama masa persiapan itu, Kemang sibuk membeli gagang pancing (joran) baru dengan katrol merek Daiwa. Setiap hari, Kemang meminyaki gagang pancing itu. Pernah terlihat, kata sumber yang layak dipercaya, Kemang sedang mengasapi gagang pancing itu dengan kemenyan.
Sebaliknya Pang Uten, selama masa persiapan itu, setiap pagi dan sore terus mendatangi pemantarannya menggunakan sampan. Dalam sampan itu, tersedia satu karung dedak dan satu karung ubi kayu (gadung). Dari atas pemantaran itu, Pang Uten menabur (menyempak) dedak dan ubi kayu tersebut ke dalam air.
“Lama-lama, ikan itu terbiasa dengan dedak dan ubi kayu,” tutur Pang Uten, optimis.
Seminggu kemudian, pertandingan pun dimulai. Pang Uten membawa umpan yang terbuat dari lepat gadung (ubi kayu) campur dedak. Pancingnya terbuat dari pelu (sejenis tanaman air yang ruasnya seperti bambu), dan kaleng susu yang dijadikan sebagai penggulung benang.
Sementara itu, Kemang membawa umpan pelet, udang dan keo (hewan air yang hidup dalam kayu terendam). Itu umpan istimewa yang sangat sulit mencarinya. Gagang pancing Kemang juga sangat mahal, bermerek Daiwa ditambah katrol berwarna perak. Semua perlengkapan Kemang serba mewah dan meyakinkan sebagai juara mancing.
Melihat umpan dan perlengkapan pancing, para penonton sepakat bahwa Kemang akan memenangkan perlombaan mancing hari itu. “Saat itu saya sempat gugup melihat penampilan Kemang dengan semua peralatannya,” kisah Pang Uten.
Melihat kedua peserta itu sudah siap di atas pemantarannya, Sane dari dalam perahu mengangkat bendera start sambil berteriak: Mancing dimulai!
Apa yang terjadi, sebut Pang Uten, belum lagi umpan pancingnya tenggelam ke dalam air, sudah disambar ikan nila merah. Iwen (keranjang ikan) Pang Uten hampir penuh, sebaliknya umpan pancing Kemang belum juga disentuh (dijentik) ikan.
Sampai akhir pertandingan, menjelang magrib, Pang Uten berhasil mengumpulkan hampir tiga ember ikan mujahir, nila, kepras, relo dan peres. Sebaliknya, Kemang hanya mendapat tiga ekor ikan mujahir kekek. Kemudian Sane mengumumkan bahwa pemenang pertandingan mancing hari itu adalah Pang Uten.
Sambil berjalan pulang, Kemang bertanya kepada Pang Uten, “apa rahasia memancing tadi, pang?” Pang Uten sebenarnya tidak ingin menjawabnya. Namun, Kemang terus memaksa Pang Uten untuk menyebutkan rahasia memancing hari itu.
“Pakan sempak,” jawab Pang Uten, singkat. Kemang melongo mendengar jawaban itu. “Jadi ituke kerja pang tiap hari mengunjungi pemantaran?” teriak Kemang yang sudah jauh tertinggal dibelakang.