Rekayasa Orang Tua terhadap Masa Depan Anak

oleh
Drs Jamhuri (foto:tarina)
Drs Jamhuri (foto:tarina)

Oleh. Drs. Jamhuri Ungel, MA[i]

PERAN orang tua terhadap pendidikan anak dimulai sejak anak dalam kandungan, karenanya sering diperdengarkan kepada kita kalau anak ketika lahir nanti mau cantik, gagah maka bersering-seringlah membaca surat Yusuf dan kalau anak mau lahir menjadi orang baik maka sering-seringlah membaca al-Qur’an walaupun tidak harus surat Yusuf. Demikian juga dengan makanan yang dimakan oleh si ibu ketika sedang mengandung diharapkan memakan makanan yang bergizi dan baik (yang dalam bahasa agama disebut dengan halalan tayyiban) baik yang dimaksud di sini termasuk cara memperoleh rizki, yaitu sangat dianjurkan untuk mencari rizki dengan cara yang dibenarkan oleh agama.

Setelah anak lahir agama mengatakan bahwa anak itu dalam keadaan suci (punya potensi), orang tuanya yang mempunyai peran menjadikannya anak tersebut menjadi majusi dan juga nasrani. Maksud dari hadis ini bahwa orang tua bisa menjadikan anaknya menjadi majusi karena orang tuanya memiliki kemampuan mengajarkan anaknya menjadi pemeluk agama majusi dan kemampuan orang tua untuk mengajarkan anaknya menjadi nasrani. Dalam hadis Nabi ini juga berbicara tentang agama, karena pada masa Nabi diutus kedunia ini masalah agama dianggap sangat penting sedangkan masalah lain selain agama dianggap belum begitu penting. Di lain hadis Nabi juga pernah bersabda yang maksudnya menyuruh orang tua untuk mengajarkan anaknya menunggang kuda, memanah dan berenang, ini juga memberi arti kepada kita bahwa anak harus dipersiapkan untuk memiliki keahlian dan ilmu guna menggahadapi hari esok dan masa depan mereka.

Dua maksud Nabi yang dipahami dari hadisnya menggambarkan bahwa peran pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki orang tua sangat menentukan masa depan seorang anak. Kalau orang tua memahami makna hadis Nabi tersebut secara tekstual maka pasti orang tua akan sangat ketakutan apabila nanti anaknya akan berpindah agama kepada yang lain bukan hanya majusi dan nasrani tetapi juga agama-agama lain yang ada pada saat ini, bahkan juga orang tua sangat takut kalau anaknya tidak memiliki agama atau juga memiliki agama namun pengetahannya sangat dangkal.

Ada juga mereka yang memahami makna hadis tersebut secara kontekstual, artinya kebutuhan anak tidak hanya terbatas pada agama semata tapi juga kebutuhan ilmu pengetahuan dan teknologi, untuk itu mereka memahami bahwa makna lain yang dapat diberikan kepada hadis tersebut adalah bahwa orang tua mempunyai peran menjadikan anaknya menjadi agamawan (ulama) dan mempunyai peran menjadikan anaknya sebagai ilmuan dan teknokrat atau juga mempunyai peran menjadikan anaknya menjadi budayawan,seniman, pedagang, petani dan lain-lainnya.

Tidak hanya sebatas itu peran orang tua dalam membentuk kepribadian dan masa depan anak, tetapi masih ada sisi lain yaitu do’a. Agama mengatakan bahwa diantara do’a yang tidak ada hijab di sisi Tuhan adalah do’a orang tua terhadap anaknya dan kebiasaannya orang tua berdo’a untuk anaknya melompati batas kemampuan orang tua itu, seperti do’a orang tua yang mendo’akan anaknya “mudah-mudahan kamu nanti satu saat tidak hidup susah seperti kami, mudah-mudahan kamu menjadi orang pinter sehingga tidak bisa dibohongi oeh orang lain”. Itu diatara contoh do’a orang tua untuk anaknya. Dalam do’a ini orang tua berharap kepada Tuhan agar anaknya bisa hidup lebih dari orang lain pada masa yang tidak mampu orang tua bayangkan, seperti kita alami sekarang ini dahulu orang tua kita tidak pernah membayangkan dalam do’anya kita akan menjadi orang seperti hari ini : punya rumah di kota, punya mobil, punya pekerjaan yang sangat mulia, dan lain-lain. Tetapi kita yakin bahwa itu semua yang kita kerjakan dan kita miliki termasuk dalam bagian dari keberhasilan usaha dan do’a orang tua kita.

Dari pengalaman pribadi yang dialami ketika orang tua (ibu) sakit saya merasa bersalah dan berdosa kepadanya, dimana ketika ia sakit berat saya tidak bisa merawat dan menjaganya karena saya harus bekerja dan tidak bisa meningalkan pekerjaan kecuali hanya pada hari tertentu dan itupun tidak selalu, dan adik-adik serta kakak saya punya waktu yang banyak merawatnya karena ia tinggal dekat dan dengan orang tua maka dengan dsendirinya merekalah yang menjaganya. Tapi dalam kesedihan yang mendalam saya teringat dengan ungkapannya ketika bersama dia (orang tua) sedang membersihkan ladang (kebun kopi), ia berkata kami berharap dan berdo’a agak kalian nanti satu ketika tidak lagi memegang cangkul dan parang seperti saan ini, kalian tidak lagi memiliki kebun yang lebar seperti yang kami miliki saat ini. Untuk itu kami rela menjual semua harta kami untuk biaya sekolah kalian. Dalam kenyataannya banyak harta yang dijual untuk membelanjai kami anaknya, banyak tenaga sebagai kerja upahan yang dilakukan. Karena do’a dan usahanya itulah sehingga kami bisa seperti ini dan kami yakin inilah hasil dari do’anya, sehingga kami merasa puas ketika terjaga dari pikiran merasa bersalah dan berdosa, karena kehidupan hari ini dan tempat tinggal yang jauh darinya sampai kepada ketidak sempatan merawanya adalah merupakan hasil dari apa yang diusahakan dan dido’akannya.

Itulah dua bentuk upaya (kerja dan do’a) orang tua dalam rangka menjadikan anaknya menjadi manusia yang sempurna dan menjadikan anaknya agar selalu berbuat baik (amal shalih), sehinggga harapan orang tua kepada anak untuk mendo’akannya ketika ia telah tiada, karena do’a anak kepada orang tua sesuai dengan hadis Nabi dapat membantunya ketika ia telah meninggal dunia.



[i] Dosen Fakultas Syari’ah dan Ekonomi Islam UIN Ar-Raniry Banda Aceh

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.