[Cerpen] Dari Kampung Menuju Washington

oleh

Siti Aminah

“Anggur, apel, melon, strowberry, salak. itu milikkmu. pisang, hanya pisang buah yang sering kumakan. aku tak pernah menyentuh buah yang mewah itu”

“Hey kawan, apa kau bisa melihat masa depanmu 10 tahun atau 20 tahun kedepan?”  Aris memandang hutan-hutan lebat di hadapannya.  Sesekali ia berbalik arah menatapku tajam.

“Apakah kau sedang berimajinasi tentang hidupmu  ke depan? Apa Aku harus menjawab pertanyaanmu yang konyol itu.” Jawabku tegas.

“Kulihat harapanmu rapuh, seperti pohon kering disiangi matahari, seperti akar pohon yang rapuh karena usianya sudah tinggi. Atau kau lebih pantas kusamakan seperti sampah terbuang, sehingga tak ada orang yang mendekatimu”

Wajahku merah. Hatiku pergi membawa luka yang menusuk kalbuku. Aku tak faham, mengapa Aris berubah. Setahuku ia adalah sosok yang lemah lembut. Namun akhir-akhir ini ia sering bertingkah aneh. Bukan hanya terhadapku sebagi sahabatnya, tapi juga terhadap neneknya. Ia sering meninggalkan rumah seenaknya.

Sosok lelaki kurus peking itu selalu saja menyendiri. Terbesit dibenakku untuk mencari tau tentangnya. Apa gerangan? Merahkah, putihkah atau hitamkah. Ia tak pernah bercerita. semangat belajarnya juga berkurang. Padahal ia adalah anak cerdas. Di sekolah ia sering mendapatkan juara. Namun seiring waktu ia juga pernah berniat membakar nilai raportnya.

Hari semakin gelap, saat itu angin berhembus dari arah utara. Kabut petang timbul tenggelam dari kejauhan. Aku memandang kampungku dari bukit kecil. Di sana, aku bisa berdiri seperti di atas awan.

“Kau tau Aris, hidup ini tak perlu kau pertanyakan sejauh itu. Siapakah yang mengetahui hari esok? Atau waktu sedetik kemudian? Siapakah yang bisa menerka hidup manusia dalam akal panjangnya namun tak berhujung pasti?  Aku hidup untuk hari ini. Esok tak pernah terpikir olehku. Tapi Aku mempunyai sejuta impian.”

“Cordoba,  Mathura, Morena, Pokran, Rajasthan, Ningxia, Moldora, Medisterrmen Sea, Pakistan, Istanbul, Paris, China, Amerika, Canada, Jepang, Korea. Apa kau mengenal nama-nama itu? Sama halnya seperti kau katakan padaku, anggur, apel, melon, strowberry, salak. itu milikkmu. pisang, hanya pisang buah yang sering ku makan. Aku tak pernah menyentuh buah yang mewah itu”

Aris terperanggah mendengar kalimatku. Nama-nama yang kusebutkan terasa asing baginya. Pemerintah terlalu mengecilkan hidupnya. Ia harus tinggal di sebuah bukit, tak ada sekolah, tak ada aliran listrik. Puluhan kilo ia berjalan kaki hanya untuk memberi hormat pada sang guru. Baginya, langkah jauh tak menjadi masalah. Yang ia khawatirkan adalah ia takkan bisa melanjutkan sekolahnya gara-gara kemiskinan.

Aris melemparkan batu yang ada ditangannya. Lemparan itu melayang di atas ilalang. Aris berteriak menggema. Hutan gelap, kabut, hujan, menutupi pantulan teriakannya. Ia tak disambut oleh gema alam.  Dalam hati kecil Aris, “Aku hanya ingin sekolah, aku hanya ingin merasakan seperti mereka merasakan kehidupan sesungguhnya.”

Aku memegang bahu Aris. Air mataku jatuh, hatiku sesak. Bagaimana mungkin laki-laki tegar itu hidup sendiri di hutan setinggi ini. Di antara hektaran kebun kopi di atas bukit-bukit. Ia tinggal bersama neneknya. Ibunya entah kemana, seutas salam tak pernah ia dapatkan dari orang tuanya.  Kalau sekolah, ia tak punya teman. Hanya gara-gara bajunya sering kena lumpur jalanan. Sepatu bekaspun tak bisa ia beli, baginya sesuap nasi tanpa lauk sudah cukup.

Aku datang mengunjunginya, karena kutau ia punya cita-cita. Tapi aku tak bisa membawanya bersama.  Aris mendekap, aku mengusap kepalanya. Ia tak rela melepasku pergi. Baginya, aku adalah bagian dari keluarganya, ibunya, atau sosok penerang dalam hidupnya. Aku harus meninggalkanya jauh. Mungkin dua atau tiga tahun lagi aku kembali. Entah jadi apa nanti Aris? Kisah hidupnya memilukan hati,

Aku memberinya selembar uang ratusan. Uang itu cukup untuk membeli  baju dan sepatu sekolah. Aku tinggalkan ia dalam gelapnya malam. Bulan purnama sebagai tanda perpisahan. Aris mengejarku berteriak sekuat tenaga. Aku hilang dalam gumpalan kabut malam. Perjalanan terjal itu kuarungi dengan dada penuh sesak.  Semakin, kuatku berlari. Semakin lepas rasa perih itu.

Dalam hatiku berkata” Adikku, suatu saat jika engkau telah mengenal buah-buah itu, kau pasti akan hidup seperti penjelajah. Karena kesulitan hidupmu untuk membeli sebiji anggur.”

Jakarta, Maret 2014. Hari ini ibu kota sangat panas, matahari tepat di atas kepalaku. Saat hari libur aku sering berkunjung ke tempat-tempat wisata. Ketika jenuh aku lebih suka menatap langit dari balik tembok Monas, atau ke Taman Suropati saat aku ingin mendengarkan biola pengamen. Masjid Istiqlal adalah salah satu masjid terbesar di Asia, di sana aku sering menengadahkan tangan agar masa depanku dicerahkan, masa depan untuk mereka yang pernah kutinggalkan sejak masa kecil. Aris.

Aris masih membekas dibenakku, apa kabar ia? Tiba-tiba aku mengulang memory masa lalu. Di sana, sejuta kenangan, sejuta impian tertulis di antara bukit-bukit nan jauh kutinggalkan. Kini aku sudah dirantau. Niatku untuk melanjutkan study ke luar negeri masih belum bisa kuabaikan begitu saja. Malamku terasa sangat lelah. Hapir empat tahun aku meninggalkan Aris. Janjiku kutemui ia dua tahun sekali belum kutepati. Aku merasa bersalah dengan diriku sendiri. Kadang melintas dalam benakku ingin kembali. Pulang menemui sosok Aris yang tak ada kabar.

Beberapa menit kemudian, handphoneku berdering. Ada pesan baru, tapi aku belum mengenal nomor telephone tersebut. Aku membuka pesan itu,

“Sout Dakota, Colorado, Wyoming, Kansas, Missouri, Illionis, Tennesia, Alabama, Mountana, Anzona, Sanora, Virgina. “Anggur, apel, melon, strowberry, salak. itu milikkmu. pisang, hanya pisang buah yang sering kumakan. aku tak pernah menyentuh buah yang mewah itu” Aris.

Nama-nama itu, kota itu, asing tapi aku pernah melihatnya di Maps. Di Amerika Serikat. Di Negara adikuasa. Negara yang dimpikan oleh semua mahasiswa yang ingin kuliah ke sana. Aris sudah mendahuluiku, ia kuliah S1 di Washington University Central. Aku seperti mimpi, kini ia sudah menggemgam impiannya sebelum 10 tahun, yang dulu ia tanyakan padaku.[SY]

Penulis adalah Pegiat sastra, beberapa karya cerpen, puisi, sudah pernah di bukukan.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.