SAAT duduk dibangku Sekolah Dasar aku ingin sekali menginjakkan kaki di kota. “Ya Allah, aku ingin sekali seperti kawan-kawan, diajak orang tuanya jalan-jalan ke Medan, Banda Aceh dan kota lain”. Saat itu jangankan kota kecamatan saja aku jarang pergi, tempat tinggalku dipelosok jauh dari kota. Hanya orang kaya yang sering pergi ke kota.
Masa akhir di Sekolah Dasar aku ingin sekali sekolah di luar desa. Aku ingin masuk pesantren seperti kawan-kawan. “Ya Allah, izinkanlah aku seperti kawan-kawan, sekolah di pesantren, belajar agama dan aku ingin mandiri, masak sendiri, nyuci baju, ah sepertinya asyik”. Saat itu jangankan sekolah luar desa, untuk melanjutkan ke SMP saja tidak ada belanja. Hanya anak-anak orang kaya yang sekolahnya di luar desa, di sekolahkan di pesantren.
Saat SMP aku tak ingin bermimpi lagi, karena hanya membuat sedih dan terpuruk. Kujalani masa-masa puberku dengan canda tawa, bergaul dengan sesama anak desa, pulang sekolah ke ladang, ke sawah dan ke kebun. Bersama kawan-kawan kadang bermain di sawah sambil mengejar ikan dan mandi di sungai. Tak pernah tersirat dipikiran bagaimana rasanya hidup di kota, bagaimana rasanya sekolah di luar desa.
Waktu terus berputar, tak terasa aku sudah menginjak SMA (Sekolah Menengah Atas). Tak ada mimpi yang ku tuliskan. Aku berjalan mengikuti arus kehidupan walaupun sifat “anak desa” semakin memudar mengikuti perubahan. Aku salah satu siswi yang berprestasi saat duduk di kelas 2 SMA. Aku ikut Olimpiade Sains tingkat Kabupaten dan meraih juara 2. Tak pernah aku bermimpi menjadi juara dan ini mengantarkanku ke Kota Banda Aceh.
Perkembangan desaku semakin meningkat, dulunya tidak ada penerangan, jalan becek namun sekarang sudah semakin membaik. Perkembangan itu menjadikan desaku menjelma menjadi Kecamatan. Aku tamat juga dari SMA. Dengan berbagai skenerio akhirnya aku melanjutkan sekolah disalah satu Perguruan Tinggi di Banda Aceh.
Suatu hari, aku merenung. Kuingat dan kuraba kembali masa lalu, ternyata mimpi-mimpi dulu kini menjadsi kenyataan. Aku tersadar, bahwa aku harus punya mimpi walau sekecil dan sebesar apapun. Desaku semakin berkembang dan maju, aku mencoba melirik dan merasakan apa yang sedang terjadi. Kutelusuri hingga di penghujung desa, berjalan dari desa ke desa serta merasakan bagaimana masyarakat dan bagaimana kehidupan mereka sehari-hari mereka. Ternyata mereka tidak sejahtera, meski desa dan kecamatan semakin berkembang.
Aku seorang putri daerah merasa prihatin terhadap keadaan masyarakat dan saudara-saudaraku disana. Di kampus aku belajar dan menuntut ilmu serta mengikuti berbagai organisasi, kugali informasi dan bermimpi ingin merubah nasib anak kandung bangsa ini. Aku bermimpi suatu saat akan merubah desaku menjadi masyarakat yang sejahtera dan adil.
Mimpi-mimpiku terpendam dan tenggelam di hati, dalam tahun 2013 aku memberanikan diri mengungkapkan mimpi itu kepada sahabat sekaligus kakak. Dia memberikan saran dan mengatakan “Mimpimu itu bagus dan berkelas, namun kamu tidak akan bisa merubah nasib suatu kaum kalau bukan mereka sendiri yang merubahnya”.
“Maksudnya kak”. Jawab ku bingung
“Begini lo gadis pemimpi, mimpimu itu bisa terwujud ketika kamu menjadi wakil rakyat atau menjadi Bupati, dan hal itu akan tercapai kalau masyarakat mempercayaimu dan mendukung”. Dia menjawab dengan senyuman.
“Oooh, jadi bagaimana tu kak”. Aku masih bingung juga
“Lho, kamu ini bagaimana takyek, kamu bisa merubah itu kalau kamu kerja dipemerintahan, jadi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat”.
“Ooh”.
“Ooh lagi tapi gak nyambung juga”.
Jawabnya mengejek sembari senyum obrolan kami pun terus berlanjut namun obrolannya ganti topik dan tema serta bertambah peran.
Akhir tahun 2013 adalah awal pembukaan pendaftaran Calon Legeslatif. Banyak syarat yang harus dipenuhi. Menjadi Anggota Dewan adalah impianku. Namun tak berharap banyak dari mimpi itu, karena menjadi Anggota Dewan bukanlah seperti mimpi. Mimpiku kali ini terlalu tinggi dan tak sesuai dengan kualitas dan kavasitas yang kumiliki.
“Ya Allah, aku ingin sekali merubah nasib masyarakat kampung halamanku, izinkanlah aku menjadi Anggota Dewan, menjadi wakil dan penampung aspirasi rakyat”.
Saat itu jangankan uang, pengetahuan tentang Dewan Perwakilan Rakyat-pun tidak tahu. Yang tertanam dalam hati adalah bagaimana aku bisa mensejahterakan masyarakat di kampungku.
Dipenghujung tahun 2013 aku dihubungi seseorang yang sudah lama kukenal, beliau mengajakku ikut merubah nasib anak kandung bangsa ini. Karena mimpi itu adalah sebuah keinginan, maka tawarannya kuterima, tentu dengan izin orang tua. Mimpi menjadi Anggota Dewan telah kutuliskan dengan “tinta keadilan di atas kertas sejahtera”, karena aku ingin masyarakatku sejahtera dan merasakan keadilan.
Setelah pendaftaran hingga tes dan keluar nama-nama Calon Legislatif tingkat Kabupaten di koran, aku melihat dan membaca tertera nama lengkapku IRAMA BR SINAGA. Aku melipat dan menyimpannya rapi.
“Ya Allah, aku yakin ini adalah yang terbaik untukku, ampuni dosa dan berilah aku kemudahan menjalani mimpi ini”.
Awal tahun 2014 aku tenar dipanggil Ibu Dewan, meski belum jadi Anggota Dewan yang sesungguhnya. Setiap dipanggil Ibu Dewan dalam hati aku mengaminkannya, karena aku berpikir mereka tulus menyerukannya. Mana tau dari sekian yang memanggilku Ibu Dewan akan dikabulkan oleh Allah SWT.
Umak dan Ayah yang melahirkan, mengasuh, dan bertanggungjawab atas diri kita. Orang tua diberi kelebihan oleh Allah dengan ridha-Nya, ridha orang tua adalah ridha Allah, demikian juga sebaliknya. Bagiku dan bagi seluruh anak, orang tua sangat mulia dan berpengaruh terhadap keberhasilan. Aku mencintai Umak dan Ayah karena Allah, sehingga apapun yang aku lakukan atas izin mereka, termasuk menjadi Calon Anggota Legislatif.
Februari 2014 awal kampanye. Semua kandidat dari berbagai Partai Politik mensosialisasikan diri, memperkenalkan kepada masyarakat dengan meminta doa sekaligus dukungan agar menjadi Wakil Rakyat. Begitu juga dengan aku, dengan mengucap Bismillahhirrahman nirrahim aku berjalan menelusuri kampung, bersilaturahim serta membuat berbagai kegiatan yang bermanfaat bagi masyarakat.
Seperti pada Pemilu tahun lalu berpolitik itu identik dengan uang. Suatu hari, aku disapa masyarakat:
“Kemana Ibu Wewan ?”
“Amin!” (dalam hatiku)
“Mau jalan-jalan”
“Berapa juga satu suara?”
“Berapa Wawak minta ?” (panggilan untuk orang tua setengah baya itu), kumenantang.
“Kalau partai lain, paling murah 100.000”. Jawabnya serius
“Aku sanggup beri satu suara sah 500.000 dan uangnya halal serta bukan cuma Wawak yang merasakan tapi seluruh masyarakat, baik yang pilih aku atau tidak”. Jawab ku dengan lantang
“Wah, tah tuhu (Tak iya)”. Jawabnya senyum dan tidak yakin karena dia sudah tahu kalau partaiku tidak main uang.
“Bagaimana caranya ?”
“Wak, di DPR itu ada namanya Dana Aspirasi, satu tahun dana itu keluar satu Milyar untuk satu Anggota Dewan. Nah, kenapa aku berani memberikan 500.000 per suara sah, ya dari dana itu. Aku akan berikan sepenuhnya untuk masyarakat karena memang itu adalah hak masyarakat. Minsal, di kampung kita ada 100 suara sah untukku, nah aku akan berikan uang tunai 100 suara kali 500.000, berapa Wak?
“5 Juta!” jawabnya cepat
“Wah, Wawak ni, tumpurlah bandar kalau gitu Wak!”.
“Jadi, berapa?”.
“50 Juta Wak, tapi uang itu tidak diberikan perorangan Wwak, kalau dibagi mungkin cuma 2 Ribu Rupiah per orang, tapi digunakan untuk kepentingan masyarakat”
“Oh gitu pula, bagus itu, suaraku sama kamu nanti”
“Nah itu dia yang aku tunggu Wak, he he”.
“Ha ha ya ya”. ketawa terbahak
“Makanya doain Wak, itu kalau aku terpilih lho Wak?”
“He he ya ya, doa Wawak menyertai mu”.
Aku terus berjalan dan tak lupa pamitan dengan Wawak, dipertengahan jalan aku bertemu Paman dan disuruh kerumahnya. Kamipun berjalan menuju rumah Paman.
“Kamu serius jadi Calon Anggota Dewan?”. Tanya Paman
“Serius Paman”. Jawabku deg-degan karena ini pertama kalinya Paman mengajak ngobrol dan raut muka P{aman sedikit seram dan menegangkan.
“Jangan nanti kamu dipermainkan, suaramu diambil begitu saja dan kamu tidak dapat apapun”.
“Begini Paman, tahun ini berbeda dengan Pemilu sebelumnya, sekarang siapa yang dapat suara terbanyak dialah yang duduk”.
“Oh, uangmu ada juga, sekarang kalau gak ada uang ngak dipilih!”.
“Paman, aku tidak pernah bermimpi menjadi penipu, mimpiku hanya ingin merubah nasib masyarakat menjadi sejahtera”.
“Ya, Paman tahu, tapi lagumu itu tidak laku di masyarakat, sekarang politik uang, kamu jangan berharap dipilih orang kalau kamu tidak punya uang”.
“Namanya saja demokrasi Paman, berarti bebas memilih jadi ngak salah kalau mereka memilih siapa yang mereka percayai menjadi wakilnya di Parlemen, mereka pilih yang memberikan uang sebelum Pemilu namun dilupakan selama lima tahun, atau pilih yang berkualitas tapi mereka sejahtera selama lima tahun, jawabannya ada pada masyarakat”.
“Alah, sejahtera apa, semua Caleg bilang begitu, janji setelah jadi tinggal janji”.
“Paman, (suara merendah) dari sekian Caleg tidak mungkin tidak ada orang yang baik dan ingin merubah bangsa ini, dan uang itu bukanlah segalanya untuk mendapatkan sesuatu, jika masyarakat tahu dan peka terhadap kinerja DPR maka masyarakat tidak mau memilih yang memberikan uang sebelum Pemilu”.
“Ya sudahlah, terserah kamu aja. Suara Paman sama kamu”
“Itu dia yang aku tunggu he he”
Setiap perjalanan tidak ada yang mulus dan lurus tanpa tikungan, pasti ada tanjakan dan kerikil. Aku bersilaturahmi di rumah dengan mengundang warga. Malam ini merupakan malam yang surprise. Rasanya tak mungkin dan diluar dugaan, namun hal ini kenyataan. Awalnya aku berfikir yang hadir hanya 20 atau 30 orang, ternyata hampir satu kampung hadir.
“Sujud syukurku atas nikmat-Mu Ya Allah, tak mungkin aku mampu melewati ini tanpa izin dan pertolongan-Mu. Semoga ini menjadi pertanda baik bagiku tuk meraih mimpi. Semoga yang berhadir tersentuh hatinya mengantarkanku ke Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Singkil”.
Tak lupa pula acara malam ini adalah berkat dukungan dan doa Umak dan Ayah. Mereka sangat antusias dan mengorbankan waktunya demi aku dan mereka adalah Tim Suksesku dunia akhirat.[SY]
*Diangkat dari kisah nyata penulis yang ikut sebagai salah seorang Caleg dalam Pileg 9 April 2014 nanti.
Irama Br Sinaga, lahir di Samardua Singkil pada Tanggal 11 Juli 1991. Alumnus salahsatu Perguruan Tinggi Islam terrnama di Banda Aceh. Mottonya La takhof, Innaka Antal a’la (Jangan takut, sesungguhnya engkau yang paling unggul).






