
Oleh : Win Wan Nur*
SEBAGAIMANA sering diulas oleh banyak kalangan. Demokrasi kita masih sangat jauh dari kata sempurna. Sebagaimana beberapa waktu ini kita saksikan di Gayo, demokrasi secara umum masih kita pahami sebagai alat untuk melegitimitasi satu kelompok tertentu untuk mendapat mandat kekuasaan. Kelompok-kelompok ini tidak peduli bagaimana pun caranya memperoleh mandat itu, termasuk dengan cara menjelekkan pihak lain, memaksa dan membungkam kebebasan mengemukakan pendapat yang berbeda.
Padahal kebebasan berbicara adalah unsur atau syarat yang paling utama dari sistem pemerintahan yang disebut Demokrasi.
Di sebuah negara demokratis, segala macam kritik sangat dianjurkan dan dilindungi oleh undang-undang. Hal seperti ini tidak mungkin terjadi dalam sebuah negara yang non-demokratis. Misalnya di sebuah negeri tiran, dimana pihak yang berkuasa hanya mau memaksakan pendapat dan pandangannya sendiri. semua opini yang bertentangan dari keyakinan kelompok mereka akan ditumpas habis dengan segala macam bentuk ancaman. Dalam negeri seperti ini, Demokrasi sebenarnya sudah tidak ada alias mati, sebab kemerdekaan berpikir dan berbicara adalah jiwa dari demokrasi itu sendiri.
Demokrasi artinya memberi hak kepada semua orang untuk mengecam dan mengkritik segala opini yang dianggapnya keliru. Dengan demikian, opini yang keliru dan merusak bisa dicegah sebelum direalisasikan oleh yang menggagasnya. Dengan demikian terjamin pula adanya dinamika dalam masyarakat untuk berubah dan berkembang.
Tapi masalahnya banyak dari kita yang salah kaprah dengan menganggap kebebasan berbicara sebagai membiarkan segala macam opini, tidak peduli baik dan buruknya berkembang bebas-sebebas-bebasnya. Padahal Demokrasi artinya bukan membiarkan berbagai opini yang saling bertentangan hidup sendiri-sendiri, karena itu akan berakibat pada terjadinya perpecahan dalam masyarakat.
Ini bisa terjadi sangat mungkin karena kita memang masih sangat baru dalam berdemokrasi, sehingga sedikit sekali dari kita yang memahami latar belakang dan sejarah terbentuknya paham demokrasi.
Perlu kita ketahui bersama, bahwa demokrasi yang kita perjuangkan berasal dari, dan dilahirkan oleh, zaman Pencerahan (Aufklaerung) Eropa diakhir abad ke-18 yang merupakan hasil/akibat) dari perkembangan ilmu pengetahuan modern (science) yang dimulai sejak Newton dan Leibniz (1600-an).
Diilhami oleh Newton dan Leibniz, para pemikir di zaman itu berhasil membahas tuntas dan membagi kebenaran menjadi kebenaran ilmiah dan kebenaran filosofis (metafisis).
Kebenaran ilmiah yang berlandaskan pada reason atau akal yang bisa menghasilkan bukti empris, bersifat objektif yang artinya sama bagi setiap manusia. Sementara kebenaran filosofis (metafisis) bersifat personal alias subjektif, yang benar salahnya sangat bergantung pada latar belakang budaya, lingkungan dan kepercayaan dari subjeknya. Artinya kebenaran filosofis (metafisis) hanya bisa diselami oleh sang subjek sendiri. Tidak ada jaminan bahwa ‘pengetahuan’ yang didapat secara subjektif oleh satu orang sama dengan yang didapat orang lain dengan cara subjektif yang sama.
Demokrasi dan ilmu pengetahuan (science) Keduanya memiliki landasan yang sama, yaitu reason atau akal.
Karena tidak memahami landasan dari demokrasi ini, banyak dari kita yang masih gamang dalam mengartikan apa yang disebut dengan ‘Kebebasan berpikir’ dan ‘kebebasan berbicara’. Kita tidak mengerti bahwa kebebasan dalam demokrasi memiliki batas. Yaitu REASON atau akal yang bisa menghasilkan bukti empris.
Akibat ketidak mengertian ini, seringkali atas nama demokrasi kita menganggap bahwa ‘Kebebasan berpikir’ dan kebebasan berbicara itu berarti tidak boleh ada kritik dan bantahan terhadap apapun yang kita pikirkan dan katakan. Padahal perkataan ‘tidak boleh’ itu sendiri sudah merupakan pelanggaran terhadap prinsip demokrasi. Sebab kritik dan bantahan justru adalah manifestasi dari dinamika yang merupakan syarat mutlak bagi suatu perkembangan.
Dalam iklim demokrasi, suatu bantahan dan kritik tidaklah dapat disampaikan secara serampangan. Dalam demokrasi, suatu bantahan dan kritik yang benar adalah kritik atau bantahan yang didasari oleh argumen yang didasarkan atas analisa yang masuk akal (mengapa keliru dan bagaimana yang benar), atas dasar reason (akal) yang ilmiah (dapat dibuktikan dengan persepsi panca indera) karena terbukti sama bagi setiap manusia.
Contohnya ketika ada ide untuk membangun sebuah kompleks peternakan di daerah kering yang kurang air. Pihak yang tidak setuju dapat menyatakan ketidak setujuan dengan mempertanyakan bagaimana pasokan air, bagaimana cara peternak bertahan hidup selama ternaknya belum menghasilkan dan berbagai alasan logis lain yang bersifat ilmiah (dapat dibuktikan dengan persepsi panca indera).
Atau dalam konteks lain, ketika ada yang menyatakan ketidak setujuan dengan wakil Gayo di parlemen yang bukan berasal dari Gayo. Yang bersangkutan dapat mengajukan berbagai argumen yang bisa dibandingkan secara kuantitatif. Misalnya dengan membandingkan bagaimana sikap pemerintah dalam merespon banjir di Geumpang, Pidie dan Gempa Gayo. Dengan membandingkan jumlah anggota legislatif asal Pidie dan asal Gayo di Senayan yang bisa dengan mudah melobi para pengambil keputusan.
Begitu juga bagi pihak yang tidak setuju Gayo bergabung dengan Aceh atau sebaliknya, yang tidak setuju Gayo berpisah dari Aceh. Dalam iklim demokrasi yang sehat, kedua belah pihak akan saling berdebat, beradu argumen yang masuk akal dan ilmiah dalam menyampaikan kesetujuan maupun ketidak setujuannya.
Semata-mata mengatakan ‘tidak setuju‘ atau mengeluarkan statement semacam; ‘kamu salah’, ‘kamu bodoh’, ‘kamu tidak ingin Gayo damai’, bukanlah suatu bantahan atau kritik yang didasari oleh argumen yang bisa diterima oleh akal. Sehingga bantahan atau kritik semacam ini otomatis bertentangan dengan demokrasi.
Tapi, meskipun demokrasi kita masih jauh dari kata ideal. Demokrasi adalah harapan terbesar kita untuk bisa mengembalikan marwah dan martabat Gayo di masa mendatang, ketika generasi Gayo yang menggantikan kita sudah matang secara pemikiran dan tidak lagi gamang.
Sekarang kalau demokrasi kita diibaratkan adalah makanan. Makanan yang ada di piring kita saat ini masih sangat jauh dari komposisi gizi seimbang untuk menjamin kesehatan. Cuma apa boleh buat, hanya itulah makanan yang kita punya. Suka atau tidak suka, untuk bertahan hidup kita harus menelannya.
Perlu kita sadari bersama bahwa untuk bisa menerapkan demokrasi itu tidaklah mudah, melainkan penuh perjuangan. Contoh nyata bisa kita lihat pada Revolusi Perancis dan Revolusi Amerika yang berdarah-darah. Dibandingkan dengan mereka, meskipun terlihat sulit, tapi sebenarnya proses perjuangan kita untuk menegakkan demokrasi di Gayo jauh lebih sederhana.
Dalam posisi seperti sekarang ini, ketika stok calon anggota legislatif yang harus kita pilih hanya sedemikian adanya. Ini ibarat makanan yang ada di piring kita sangat jauh dari komposisi gizi seimbang untuk menjamin kesehatan. Tapi karena hanya itu makanan yang kita punya. Suka atau tidak suka, untuk bertahan hidup kita harus menelannya.
Meskipun stok calon anggota legislatif ini kualitasnya belum sesuai harapan kita. Tapi untuk melanjutkan hidup, mau tidak mau, kita harus memilih yang terbaik dari stok yang ada. Menolak menelan satu-satunya makanan yang tersedia ini (golput) bukanlah sebuah pilihan rasional.
Tapi dengan kualitas makanan yang apa adanya ini, untuk dapat hidup lumayan sehat, tumbuh dan berkembang. Kita tentu saja tidak bisa hanya mengandalkan makanan dengan gizi apa adanya itu. Untuk menambah gizi, kita harus mengkonsumsi makanan tambahan di luar makanan utama.
Demikian pula halnya dengan demokrasi kita. Untuk menutupi lemahnya kualitas legislatif dan pemerintahan. Komponen-komponen demokrasi ekstra parlementer mulai dari LSM, organisasi sosial kemasyarakatan lain dan terutama media harus dikuatkan. Kekuatan inilah yang nantinya akan memberi ‘gizi’tambahan untuk menyelamatkan ‘jiwa’ demokrasi kita.
Kekuatan ekstra parlementer ini, dengan cara terus memberi pencerahan kepada masyarakat dan memberi tekanan kepada para penyelenggara negara telah berkali-kali terbukti mampu mengontrol perilaku mereka, ketika para penyelenggara negara yang diberi mandat oleh demokrasi itu melakukan hal-hal yang diluar harapan rakyat yang merupakan pemberi mandatnya.
Dengan cara begitu, meskipun demokrasi kita saat ini masih belum ideal. Tapi dengan begini, kita dapat terus menjaganya tetap hidup sambil memelihara harapan bahwa demokrasi yang sekarang kita rawat dan kita jaga akan tetap bisa tumbuh lumayan sehat dan menjadi besar untuk kita wariskan kepada generasi Gayo yang akan menggantikan kita di masa mendatang.
*Penulis adalah anggota Dewan Adat Gayo