Oleh : Saradi Wantona
MENJELANG pemilihan umum 2014 ini konflik interest pun lumrah terjadi. Teror, kekerasan, bahkan sampai penghilangan nyawa seseorang pun ikut dipertaruhkan. Ironisnya sasaran teror tersebut mengarah kepada calon legislatif, tim kampanye maupun simpatisan-simpatisan dari partai-partai yang akan mengikuti pemilu tahun ini. Kondisi ini menunjukkan bahwa eskalasi konflik belum hilang dari kondisi psikologis yang menerpa masyarakat Aceh selama 32 tahun melalui gerakan separatis dulunya.
Ini menandakan ada kelompok-kelompok tertentu tidak puas dengan pencapaian yang ada paska penandatangan MoU Helsinki tahun 2005 silam atau memang tidak paham cara berpolitik yang santun dan jujur. Tindakan konsevatif, anarkisme seolah-olah sebuah mata rantai bahwa tidak ada bedanya berjuang dengan ujung bedil (perang) maupun dengan ujung pena (politik). Keduanya selalu membunuh orang – orang yang tidak bersalah. Kekeliruan ini bermuara bahwa untuk mencapai kekuasaan diperlukan teror, intimidasi dengan berbagai pola yang direncanakan.
Sistem demokrasi yang memberikan ruang yang proporsional, menjadi nisbi. Seharusnya kekerasan, teror, intimidasi itu peluangnya sering terjadi pada sistem pemerintahan yang oligarki. ternyata demokrasi yang diagungkan paling baik dalam system pemerintahan malah bertolak belakang dari cita – cita demokrasi itu sendiri.
Ini bukan sinisme, barangkali mentalitas keberpolitikan kita masih mengarah pada tahap transisi, Aceh pernah mengalami masa pahit ketika konflik horizontal selama 32 tahun. Masa transisi ini yang menjadi catatan yang harus diperbaiki dengan politik yang cerdas dan bijaksana. Untuk itu partai politik yang merupakan anekdot dari prinsip-prinsip demokrasi sudah barang tentu menjadi pijakan yang utama.
Dunia politik memang terdapat dikotomi, seperti masyarakat politik, kelompok dominan, minoritas, birokrasi, Negara dan seterusnya*. Komposisi ini merupakan jawaban atas pengakuan bahwa pentingnya partai politik sebagai representasi dari semua kepentingan untuk diwujudkan dalam sebuah kebijakan yang legal. Ia diwujudkan melalui keterwakilan di pemerintahan/birokrasi (eksekutif maupun legislatif) melalui mekanisme pemilihan umum.
Partai politik adalah organisasi yang unik, itu yang membedakannya dengan organisasi yang lain. Max Weber ahli sosiologi politik Jerman menyebutkan dalam partai politik terdapat hubungan timbal balik adanya interaksi sosial,peleburan perbedaan dan terpola melalui norma–norma yang mengikat.
Norma-norma yang didefenisikan Weber merupakan sebuah paradigma yang dianggap polarisasi untuk mencapai sebuah tujuan, yakni kekuasaan. Weber beranggapan bahwa determinasi dalam partai politik adalah persoalan persaingan. Persaingan ini jika tidak terkelola dengan sehat, sewaktu-waktu bisa menjadi peringatan dini, dan menimbulkan kekacauan “chaos”. Weber tidak menafikan bahwa, kekuasaan adalah barang langka, dan peluang untuk mendapatkannya relatif kecil. Dari sanalah ia bisa menyimpulkan bahwa untuk mencapai kekuasaan itu perlu adanya organisasi yakni partai politik.
Dalam khazanah ilmu sosial, partai politik disebut sebagai “pranata sosial”. Miriam Budiardjo, menyebutkan bahwa pranata sosial ini adalah lembaga pengandalian sosial, karena dalam konsep kekuasaan dalam hal ini birokrasi terdapat hubungan horizontal, masyarakat dan Negara. Pendapat ini menyatakan bahwa masyarakat adalah kelas penguasa tetapi tidak memliki legal-rasional. Dalam hal ini tidak ada pengakuan hitam di atas putih bahwa masyarakatlah yang memegang kekuasaan.
Untuk melegalkan masyarakat adalah penguasa tidak bisa diwujudkan, melalui ungkapan belaka. Ia perlu adanya sebuah pengakuan melalui sebuah institusi (lembaga) yang diakui oleh Negara yakni partai politik. Tidak sampai di situ, untuk memilih masyarakat baik-baik, menentukan mana yang terbaik harus ditetapkan melalui mekanisme rekrutmen politik secara professional. Idealnya, melalui kualifikasi yang telah ditentukan dan sesuai dengan ideologi partai politik bersangkutan.
Imajinasi Mengelola Partai Politik
Belakangan banyak lahir partai politik berdiri secara instan, spriritnya pun ditentukan karena rasa kekecewaan, pada partai-partai yang lahir lebih dulu berkuasa. Sepintas inilah uniknya nilai-nilai demokrasi, dunia politik kita semakin berwarna-warni. Publik pun disuguhkan akan variasi pilihan, partai politik mana yang dianggap mewakili kepentingannya nanti di parlemen.
Diakui atau tidak, beragamnya partai politik yang lahir, ini akan melahirkan persaingan yang semakin mentereng. Nah, lewat persaingan inilah terkadang frame deal political yang terbangun semakin paradoks, bahkan mencoreng tatanan demokrasi saat ini. Persaingan ini diasumsikan bahwa musuh terbesar dalam berpolitik, para kandidat partai politik bukannya merancang visi dan misi yang pro rakyat malah saling menjatuhkan dengan kandidat dari partai lain. Malah focus sikut menyikut, menjelekkan partai polan, karena partai polin yang mewakili kepentingan masyarakat banyak dan sebagainya.
Saya menduga, ada yang salah dengan partai politik melalui system kebijakan yang terbangun, kader – kader yang telah diseleksi belum memenuhi standar rekrumen yang jelas. Kaderisasi hanya sebatas mendekati pemilu yang dilakukan oleh partai politik tersebut. Nah, persoalan terbesarnya adalah aktualisasi kader – kader partai politik diciptakan secara instan, bukan diciptakan melalui pendidikan politik jangka panjang. Seharusnya partai politik sudah siap jauh sebelum pemilu digelar.
Sekali lagi, rekrutmen politik itu sangat penting, ini yang menentukan partai politik memiliki kualitas, ideology yang jelas. karena banyak kaum – kaum muda, akedemisi, bahkan activist yang telah terlibat politik praktis tidak memiliki kesempatan. Padahal Undang-Undang telah memberikan ruang yang proporsional bahwa masyarakat memiliki hak dasar untuk terlibat dalam dunia politik melalui partai politik, dengan catatan memiliki kapasitas serta berjiwa visioner.
Untuk itu, sampai pada sebuah kesimpulan. bahwa partai politik merupakan arena pendidikan politik. Partai politik harus memberi ruang secara terbuka. Pada prinsipnya partai politik adalah wadah untuk mencetak para pemimpin politik, oleh sebab itu penting sekali bahwa partai politik harus melakukan kajian kembali untuk metode rekrutmen yang ideal. Partai politik harus bisa memetakan kader-kadernya bukan hanya untuk meraih kekuasaan, tapi lebih jauh dari itu, setelah berkuasa apa yang akan dilakukan.
–
Penulis adalah mahasiswa Sosiologi, Fakulatas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Syiah Kuala, dan Alumni Sekolah Anti Korupsi Aceh Angkatan III, beralamat di Banda Aceh. Email : saradiwantona[at]gmail.com





