Fiqih Politik : Islam dan Politik

oleh

(Etika dan Moral Politik Yang Terabaikaan)

Oleh: Hasan Basri, S.Ag

Universalitas Islam

Hasan Basri (Custom)Islam adalah agama samawi yang universal, “sebagai agama yang universal maka Islam tidaklah tergantung kepada suatu bahasa, tempat, ataupun masa dan kelompok manusia” (Nurchalis Madjid: Islam Doktrin dan Peradaban, 1995), risalah ilahiyah yang menjadi risalah pengutusan Muhammad SAW bersipat “universal’ juga “integral”. Universalitas dan integralitas Islam ditegaskan dalam Al Qur’an, contohnya, “Tidaklah kami utus engkau (Muhammad) kecuali untuk membawa kabar baik dan peringatan bagi seluruh manusia….” (Q.S Al Saba’: 28) “Dan kami turunkan Al Qur’an ini untuk menjelaskan segala-galanya” (Q.S. An Nahl: 89). “Sebagai agama universal, Islam mengandung ajaran-ajaran dasar yang berlaku untuk semua tempat dan untuk semua zaman” (Harun Nasution: Islam Rasional, 1995).

Prinsip universalitas Islam menjadikannya sebagai satu-satunya agama yang relevansinya terhadap perubahan konteks sosiocultural, geososial tetap terpelihara. Islam memaknai perubahan yang terjadi dalam konteks sosiocultural dan geososial masyarakat muslim sebagai suatu keharusan. Islam menganjurkan penganutnya (ummatnya) agar menyikapi serta menjadikan perubahan tersebut sebagai medium pembelajaran dan pendewasaan serta dijadikan sebagai “tangga” menuju pencapaian kesuksesan dunia dan akhirat, Islam menganjurkan umatnya untuk mampu tampil sebagai agen perubahan (mujaddid) yang membawa kemasalahatan untuk seluruh manusia.

Islam menghadirkan prisnsip-prinsip moral dan etika, yang memungkinkan untuk direalisasikan dan diimplementasikan dalam aktifitas politik, terlepas dari perbedaan latar belakang dan basic politik seorang politisi. Diantara nilai moral dan etika politik islami yang selayaknya dihadirkan dalam berpolitik adalah: perilaku bertanggung jawab, jujur, dapat dipercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan serta kecerdasan (fathonah), memperjuangkan dan membela kebanaran, adil, santun, rendah hati, serta toleran (siddiq). Namun ironisnya karena dorongan syahwat dan ambisi politik, moral dan etika islami ini sering terabaikan.

Hedonisme dan Permisivisme politik

Islam tidak menginginkan hedonisme dan permisivisme dalam politik. Hedonisme dan permisivesme akan menyuburkan perilaku pragmatis, perilaku politik bebas tanpa nilai, tanpa control. Hedonisme dan permisivisme melahirkan sikap dan perilaku yang sarat dengan kepalsuan, kebohongan, keangkuhan serta arogan. Merangsang penggunaan symbol keagamaan dan symbol golongan untuk “mengelabui”. Menggunakan topeng kepalsuan untuk menyembunyikan kemunafikan. Melahirkan perilaku penghalalan segala cara untuk mencapai tujuan. Membenarkan perilaku politik yang menyimpang. Mendukung sifat keserakahan dan upaya memperkaya diri di kalangan politisi. Demi tercapainya tujuan politik yang dicita-citakan hedonisme dan permisivisme mengakomodir perilaku politik “pencitraan” walaupun diselimuti dengan kepalsuan, membenarkan metode ghibah, fitnah, namimah, pembunuhan karakter untuk memberangus dan menghancurkan lawan atau “teman” politik.

Dalam politik terdapat suatu adagium yang populer “politik adalah siasat/cara atau taktik untuk mencapai suatu tujuan tertentu”. Adagium ini mengandung nilai kebenaran dan juga kebatilan. Terdapat dua kata kunci dalam kalimat tersebut yakni, siasat/ cara dan tujuan tertentu. Islam tidak membenarkan perilaku “Penghalalan segala cara untuk mencapai tujuan”. Penghalalan segala cara untuk mencapai tujuan dalam perilaku politik, akan melahirkan perilaku, karakter, tabi’at, watak hedonistik dan permisivistik, perilaku ini akan mengeleminasi manusia dari fitrahnya, dari nuraninya yang cendrung mengajaknya berperilaku positif.

Perilaku dan mental politik inilah menjadi salah satu “biang keladi” bobroknya citra politik di kalangan masyarakat, sehingga konstruksi paradigma masyarakat terhadap politik cenderung negative dan naïf. Akibatnya generalisasi terhadap stigma negative politik tidak dapat dihindari, generalisasi ini jugalah yang melahirkan “sinisme” dan “pelecehan” atau ketidak percayaan terhadap para “Politikus” atau “Ulama politik” yang mencoba menghampiri “gemerlap” serta relung-relungnya dunia politik. Inilah mungkin salah satu sebab yang melatar belakangi santernya ajakan golput akhir-akhir ini.

Politik Sebagai Ibadah

Islam menganggap kehidupan berpolitik sebagai salah satu formalitas “penghambaan” seorang muslim kepada tuhannya, bukan formalitas “penghambaan” kepada materi, kekuasaan dan hawa nafsu. Penghambaan kepada Allah melahirkan perilaku politik yang positif, dan berharap mendapat ridha Allah. Penghambaan kepada Allah menjadikan kehidupan politik sebagai bagian dari ibadah. Kesadaran ini melahirkan sikap politik yang santun, ramah, toleran terhadap perbedaan, amanah, dan cinta kebenaran, berpikir positif akan selalu terefleksikan dan hadir pada setiap perilaku politik muslim. Sebaliknya “penghambaan” kepada materi, kekuasaan serta hawa nafsulah yang memotivasi seseorang “menghalalkan segala cara”.

Sejarah telah mengabadikan beberapa figur politisi muslim yang memiliki moral dan etika politik yang sangat tinggi, serta mampu “menghadirkan” nilai-nilai moral dan etika serta akhlaq islami dalam panggung politik yang mereka lakoni, sehingga sejarah mencatat mereka sebagai figure politisi muslim yang juga dihormati dan disegani oleh politisi yang berseberangan dengan mereka. Figur Khulafaur Rasyidin, Umar Ibn Abdul Aziz, Shalahuddin Al Ayubi, Umar Mokhtar merupakan sebagian dari politisi muslim yang kiprah politik mereka tentu layak dijadikan sebagai refrensi politik bagi politisi muslim sekarang.

Islam memandang bahwa aktifitas politik merupakan salah satu bagian dari manajemen kehidupan, yang seharusnya dikelola dan dilaksanakan dalam wujud ibadat dan pengabdian kepada Allah, inilah yang disebut dengan komitmen. “Sesungguhnya segala perbuatan itu akan diukur dengan niyatnya” (Al Hadits), karenanya seluruh rangkaian aktifitas manusia, termasuk dalam ranah politik harus dipertanggung jawabkan kepada Allah. Al Qur’an mendeskripsikan tentang sosok Ibrahim yang hanya mendedikasikan dirinya hanya kepada Allah. “Sesungghunya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah Rab semesta alam (Q.S Al An’aam: 162). Pengakuan dan pengikraran seperti ini secara sadar sering diungkapkan dalam shalat, namun ironisnya semua format dan formalitas pengakuan dan pengikraran tersebut sangat kontradiktif dengan tindakan dan perilaku sehari-hari, sehingga memunculkan kesan tidak ada implementasi dan aplikasinya sama sekali. Pada prisnsipnya seluruh perilaku manusia dalam Islam tentu harus dipertanggung jawabkan kepada Allah SWT, wujud pertanggung jawaban ini yang disebut dengan responsibilitas.

Responsibilitas (pertanggung jawaban) merupakan suatu kemutlakan dalam Islam, artinya setiap individu muslim akan dimintai pertanggung jawaban terhadap seluruh aktifitasnya dalam realitas sosial. “… dan sesungguhnya kamu akan diminta pertanggung jawaban (ditanyai) tentang apa yang telah kamu kerjakan” (Q.S. An-Nahl:93). Islam menyatakan bahwa Allah SWT akan memberikan syurga bagi hamba-hambanya yang beraktifitas dan berbuat sesuai dengan manhaj yang telah ditentukannya. Sebaliknya Allah juga telah menyediakan neraka bagi hambanya yang bertindak berseberangan dengan manhaj yang telah ditentukan Allah. Responsibilitas sangat erat kaitannya dengan “fungsionalisasi” atau pendayagunaan terhadap seluruh elemen yang dimiliki manusia, baik kekuasaan, harta, pemikiran, ilmu kepada pola yang disenangi dan diridhai oleh Allah SWT. Kaitannya dengan politik tentu seluruh aktifitas yang “beraroma” politik yang dilakukan oleh elit politik muslim tentu diharapkan akan bermuara pada keridhaan Allah, bukan sebaliknya malah menghadirkan murka dan kebencian Allah. (Wallahu A’lamu bish shawab)

   *Penulis adalah kepala KUA Celala

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.