Pemilu, Indahnya Ekonomi Ala Politisi

oleh

Oleh : Win Wan Nur*

DALAM masa kampanye menjelang Pemilu ini, begitu banyak angin surga yang dihembuskan oleh para politisi, para Caleg yang berebut kursi.

Salah satu angin surga favorit yang mereka hembuskan adalah masalah ekonomi. Menjelang Pemilu ini, masalah ekonomi yang begitu kompleks dan rumit, tiba-tiba menjadi begitu sederhana di mulut para politisi.

Tadi siang, saya membaca sebuah diskusi di wall facebook salah seorang politisi yang ikut bertarung memperebutkan kursi di pemilu kali ini. Di wall facebooknya sang politisi dengan penuh semangat memaparkan agenda partainya, yang kalau memenangkan Pemilu, katanya akan membagikan uang 1 juta per KK bagi setiap warga yang kurang mampu sembari membuka lapangan kerja baru.

Inilah menariknya ekonomi di mulut politisi. Ekonomi yang begitu rumit dan kompleks menjadi terlihatĀ  indah sederhana dan mudah ditangani. Kalau omongan politisi ini kita telan mentah-mentah,tampaknya masa depan terlihat sangat indah dan menjanjikan jika kita mencoblos partai ini.

Tapi sebagaimana dalam aspek kehidupan manapun, ketika seseorang mengaku mampu menyelesaikan sebuah masalah yang demikian rumit dengan solusi yang sangat sederhana yang bisa dilakukan oleh siapa saja. Kita tentu wajib curiga. Karena kalau solusinya demikian sederhana, sangatlah mustahil seorang presiden sampai pusing tujuh keliling dan terlihat menjadi sangat tua dalam 10 tahun kepemimpinannya.

Karena kenyataannya, apa yang disampaikan oleh si politisi ini jelas-jelas bertentangan total dengan hukum dasar ekonomi yaitu keterbatasan.

Kacaunya ‘solusi sederhana’ dari politisi ini langsung terlihat ketika saya menanyakan “kalau dibagi-bagikan 1 juta per kk, darimana dipakai pos uangnya?”. “Apakah dari pos infrastruktur, atau berhutang?”. Dengan enteng sang politisi menjawab, “Dananya? ini adalah Kewajiban Negara terhadap Warganya sesuai UUD 1945, jadi dananya tetap dari APBN”, sebuah jawaban retoris yang sama sekali tak menyentuh esensi dari pertanyaan.

Padahal ketika partainya berani menjanjikan ini, logikanya tentu partai sang politisi sudah tahu pos anggaran apa yang harus dikorbankan untuk menutup pos baru 1 juta per KK itu. Tapi ketika fakta ini saya sampaikan sang politisi malah merespon dengan pertanyaan kembali “lebih baik peningkatan infrastruktur atau bansos/hibah?”

Saya jawab, “Untuk jangka pendek jelas Hibah lebih baik, tapi untuk jangka panjang dan kesejahteraan yang berkelanjutan jelas infrastruktur. Contoh di kampung saya di Gayo. Kalau hibah Rp1 juta per KK tentu semua senang. Tapi kalau infrastruktur bagus, logistik tidak terkendala, Rp1 juta per KK itu nggak perlu. Karena apa yang ditanam di sana, dengan potensi sebegitu besar, dengan mudah bisa laku dijual. Tiap orang bisa punya penghasilan setidaknya Rp10 juta sebulan.”

Sebagai ilustrasi, di Bali, dengan lahan 1 hektar, petani strawberry berpenghasilan 50 juta sebulan. Kenapa?, tak ada masalah dengan logistik, infrastruktur bagus, kalau kepada petani jenis ini ada politisi yang menjanjikan Rp1 juta per KK, jelas si politisi akan habis diketawai.

Logistik,yang berkaitan dengan infrastruktur juga yang membuat kita terpaksa mengimpor komoditas yang sebenarnya banyak di tempat kita. Logistik yang membuat nasi padang bergharga 250 ribu rupiah satu porsi di Papua sana.

“Jadi kalau pos ini malah mau dikorbankan untuk 1 juta Per KK, mau sampai kapan kemiskinan di negara ini dipelihara?”

Mendapat pertanyaan seperti ini, sang politisi dengan penuh percaya diri menjawab, “Tidak ada namanya mengorbankan pos dana lain, pergantian sistem pemerintahan akan terjadi perubahan pola pengembangan pembangunan. Dana APBN dialokasikan untuk kesejahteraan Rakyat (miskin), tidak mengorbankan pembangunan infrastruktur dan SDM”

Dari penjelasan sang politisi ini kita dapat melihat perbedaan nyata antara seorang ekonom dan seorang politisi. Seorang ekonom selalu percaya bahwa setiap keputusan dalam ekonomi membutuhkan ongkos/pengorbanan. Tapi tidak demikian dengan politisi.

Hanya politisi yang mempercayai bahwa memberikan uang 1 juta per KK sambil sekaligus menciptakan lapangan kerja baru, tanpa mengorbankan pos dana manapun atau berhutang ke luar negeri.

Kalau ekonom yang bicara seperti ini, sudah kapan-kapan dia menjadi bahan tertawaan para koleganya. Mengaca pada peristiwa ini, bagi kita para pemilih di Gayo, sadarlah Pemilu ini adalah ajang untuk berebut kursi. Jangan anggap serius semua ocehan politisi yang bertarung di sini.

Kalau ada ide yang logis dan masuk akal, boleh lah kita pertimbangkan. Tapi ketika ada politisi berkoar-koar dengan janji muluk yang memabukkan. Jadikanlah itu semata sebagai bahan lelucon dan hiburan.***

*Penulis adalah anggota Dewan Adat Gayo

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.