KITA dihadapkan pada kenyataan bahwa korupsi yang sudah demikian menggurita serta hampir menyentuh seluruh lapisan struktur berbangsa dan bernegara. Korupsi tidak hanya di pemerintah pusat, DPR, dan lembaga Negara di tingkat nasional, melainkan juga di pemerintah daerah dan lembaga hingga tingkat desa dan kelurahan.
Sebaran korupsi juga tak hanya di partai politik, tapi juga ada di LSM, ormas, lembaga pendidikan, bahkan mungkin saja di institusi-institusi keagamaan. Spektrum jabatan dan usia pelakunya juga merata, dari pejabat tinggi hingga pegawai rendahan serta dari usia menjelang pensiun sampai anak muda yang baru merintis karir politik atau birokrasi.
Korupsi dalam Sejarah Indonesia
Korupsi di Indonesia sudah ‘membudaya’ sejak lama, sebelum dan sesudah kemerdekaan, di era Orde Lama, Orde Baru, berlanjut hingga era Reformasi. Perilaku korup yang berkaitan dengan kekuasaan yang dilakukan oleh para bangsawan kerajaan, kesultanan, pegawai Belanda (Amtenarendan Binenland Bestuur) maupun pemerintah Hindia Belanda sudah mewarnai sejarah sebelum Indonesia merdeka.
Kita dapat menyimak bagaimana tradisi korupsi berjalin dengan perebutan kekusaan di Kerajaan Singosari (sampai tujuh keturunan saling membalas dendam berebut kekusaan: Anusopati-Tohjoyo-Ranggawuni-Mahesa Wongateleng dan seterusnya), Majapahit (pemberontakan Kuti, Narnbi, Suro dan lain-lain), Demak (Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang), Banten (Sultan Haji merebut tahta dari ayahnya,Sultan Ageng Tirtoyoso), perlawanan rakyat terhadap Belanda dan seterusnya sampai terjadinya beberapa kali peralihan kekuasaan di Nusantara telah mewarnai sejarah korupsi dan kekuasaan di Indonesia.
Kehancuran kerajaan-kerajaan besar (Sriwijaya, Majapahit dan Mataram) adalah karena perilaku korup dari sebagian besar para bangsawannya dan Belanda memahami betul akar “budaya korup” tersebut.
Melalui politik “devide et Impera” mereka dengan mudah menaklukkan Nusantara. Dalam buku History of Java karya Thomas Stanford Raffles, Gubernur Jenderal Inggris yang memerintah Pulau Jawa tahun 1811-1816, memaparkan aspek budaya meliputi situasi geografi, nama-nama daerah, pelabuhan, gunung, sungai, danau, iklim, kandungan mineral, flora dan fauna, karakter dan komposisi penduduk, pengaruh budaya asing dan lain-lain.
Menariknya, buku itu juga membahas seputar karakter penduduk Jawa yang digambarkan sangat “nrimo” atau pasrah terhadap keadaan, namun di sisi lain mempunyai keinginan untuk lebih dihargai oleh orang lain. Tidak terus terang, suka menyembunyikan persoalan, dan mengambil keuntungan dikala orang lain tidak mengetahui.
Kebiasaan mengambil “upeti” dari rakyat kecil yang dilakukan oleh Raja Jawa ditiru oleh Belanda ketika menguasai Nusantara (1800 – 1942) minus Zaman Inggris (1811 – 1816), akibat kebijakan itu muncul perlawanan-perlawanan rakyat terhadap Belanda. Sebut saja misalnya perlawanan Diponegoro (1825 -1830), Imam Bonjol (1821 – 1837), Aceh (1873 – 1904) dan lain-lain.
Namun lebih menyedihkan, penindasan atas penduduk pribumi juga dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri. Sebut saja misalnya kasus penyelewengan pada pelaksanaan sistem “Cuituur Stelsel” yang secara harfiah berarti “Sistem Pembudayaan”. Walaupun tujuan utamanya adalah membudayakan tanaman produktif di masyarakat agar hasilnya mampu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memberi kontribusi ke kas Belanda, namun kenyataannya justru sangat memprihatinkan. Taman paksa telah menjadi catatan korupsi era kolonial yang demikian menghisap.
Pasca kemerdekaan, perilaku korup juga terjadi meskipun kondisi keuangan Negara memperihatinkan. Upaya nasionalisasi yang dilakukan Soekarno kerap didompleng oleh kelompok tentara dan penguasa lokal feodal. Pada era Soekarno tercatat dua kali dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi – Paran dan Operasi Budhi. Paran, singkatan dari Panitia Retooling Aparatur Negara dibentuk berdasarkan Undang-undang Keadaan Bahaya, dipimpin oleh Abdul Haris Nasution dan dibantu oleh Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani. Tugasnya adalah meminta pejabat pemerintah mengisi formulir daftar kekayaan yang disediakan. Namun dalam perkembangannya, kewajiban pengisian formulir tersebut mendapat reaksi keras dari para pejabat.
Di sisi lain, pergolakan di daerah-daerah akibat banyaknya pemberontakan menyebabkan tugas Paran diserahkan kembali kepada pemerintah (Kabinet Juanda). Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya pemberantasan korupsi kembali digalakkan. Nasution yang saat itu menjabat sebagai Menkohankam/Kasab ditunjuk kembali sebagai ketua dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo. Tugas mereka lebih berat, yaitu meneruskan kasus-kasus korupsi ke meja pengadilan. Lembaga ini di kemudian hari dikenal dengan istilah “Operasi Budhi”. Namun sejarah mencatat pemberantasan korupsi pada masa itu akhirnya mengalami stagnasi.
Era Orde Baru diawali oleh semangat anti korupsi dalam pidato kenegaraan Pj Presiden Soeharto di depan anggota DPR/MPR tanggal 16 Agustus 1967. Soeharto menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu memberantas korupsi sehingga segala kebijakan ekonomi dan politik berpusat di Istana. Pidato itu memberi isyarat bahwa Soeharto bertekad untuk membasmi korupsi sampai keakar-akarnya.
Sebagai wujud dari tekad itu tak lama kemudian dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung. Namun tak lama setelahnya, pemerintahan Soeharto ‘bercerai’ dengan gerakan mahasiswa yang berperan besar menjatuhkan orde lama. Soe Hok Gie, dedengkot angkatan 66’ menyebut, korupsi telah mewarnai era orde baru lewat beragam kebijakan yang diambilnya. Investasi asing, hutang luar negeri, eksploitasi kekayaan alam serta pembangunanisasi merupakan tambang korupsi Cendana yang mesti dilawan.
Kasus korupsi Ibnu Sutowo di pertamina, menandai korupsi yang berlangsung secara sentralistik di 32 tahun era Orde Baru. Korupsi di era Orba ini ditutup oleh aksi besar-besaran mahasiswa dan rakyat yang menyerukan penghentian KKN dan berujung pada kejatuhan Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998.
Kau Makin Mengakar
Reformasi tahun 1998 memberikan optimisme baru atas pemberantasan korupsi, bahkan MPR dalam sidang umum Istimewa tahun 1998 membuat TAP MPR khusus guna pemberantasan KKN. Namun kenyataannya, seperti yang dapat disimak, korupsi tetap tidak terhentikan bahkan semakin meluas dalam semangat desentralisasi kekuasaaan. Jika pada masa Orde Baru “korupsi” lebih banyak dilakukan oleh kalangan elit pemerintahan, maka pada di era reformasi hampir seluruh elemen penyelenggara negara sudah terjangkit “virus korupsi”.
Gurita korupsi di tengah meningkat pesatnya penerimaan Negara dari pajak, hutang luar negeri, serta eksplorasi besar-besaran kekayaan alam menyebabkan rasa frustasi kelompok dan insan anti korupsi, bahkan Syafi’i Maarif menyebutnya sebagai “kesempurnaan kerusakan bangsa ini”. Besaran APBN yang pada tahun 2011 mencapai angka 1300 trilyun rupiah belum berdampak signifikan bagi meningkatnya kesejahteraan rakyat yang ditandai dengan masih besarnya angka kemiskinan dan pengangguran.
Menurut Safi’i Maarif, hal tersebut disebabkan oleh tidak selarasnya kata dan perbuatan para pemimpinnya. Tindakan koruptif, disertai upaya pemberantasan korupsi ala kadarnya, telah menyebabkan ‘pendarahan’ bagi demokrasi dan kesejahteraan rakyat.
Sepanjang 2009-2014 ini kita disuguhkan beragam skandal korupsi yang menjadi model korupsi era demokrasi liberal, seperti mega korupsi Century yang mewakili korupsi lewat kebijakan, skandal pajak Gayus Tambunan yang menunjukkan gaya korupsi di sektor penerimaan, skandal korupsi pimpinan badan anggaran (Banggar) DPR sebagai bentuk korupsi lewat perencanaan, serta korupsi berjamaah ala Nazarudin, Anas cs di dalam pengelolaan anggaran pembangunan. Seperti dapat diduga, belum satu pun kasus-kasus besar (big fish) tersebut yang dapat diungkap hingga tuntas. Seperti biasa, skandal korupsi besar di negeri ini hanya menyentuh kelas operator, bukanlah perencana apalagi dalang di balik perampokan kekayaan Negara.
Demokrasi liberal yang diterapkan di Indonesia sejak reformasi 1998 makin menyuburkan korupsi. Sistem politik multi-partai dengan pemilihan presiden dan kepala daerah secara langsung, telah menempatkan uang di atas segalanya. Tingkat keterpilihan wakil rakyat dan pemimpin politik selalu diwarnai ‘bagi-bagi uang’ yang tentu saja secara langsung berimbas pada perilaku koruptif para aktor yang terlibat.
Seperti diktum yang lazim dikenal dalam ilmu politik, bahwa kepemimpinan politik adalah refleksi dari masyarakat politiknya, artinya perilaku rakyat dalam pemilu kemudian menjadi cerminan kepemimpinan politik yang dihasilkan dalam pemilu tersebut. Mahalnya ongkos politik telah menjadi justifikasi praktek korupsi di panggung kekuasaan Indonesia, dari pusat hingga ke daerah. (dedy.acc@gmail.com)
*Aktivis Sosial, Gerakan Indonesia Berdaya (Geriya)/putra asli Bener Meriah