Oleh Johansyah*
APAKAH kesalehan itu? Banyak orang yang memahami bahwa kesalehan adalah sikap kepatuhan dan ketaatan yang diekspresikan seseorang dalam menjalankan perintah agama. Sayang, praktik kesalehan terlalu sempit dan hanya identik dengan perilaku keberagamaan dalam ibadah mahdhah (formal) saja. Sedikit sekali makna dan praktik saleh yang direlasikan dengan ibadah ghairu mahdhah (non formal) dan konteks kekinian.
Dalam benak kita, orang yang disebut saleh adalah orang yang kerap mengenakan peci, bersurban, berjenggot, dan memegang tasbih di tangannya. Atau mungkin dalam benak kita orang saleh adalah orang yang shalatnya rajin, puasanya senin-kamis, gemar bersadakah, dan rajin ke masjid untuk melaksanakan shalat jamaah. Kamus bahasa Indonesia juga kelihatannya masih sangat sederhana dalam memberi makna kata saleh. Kesalehan diartikan sebagai sikap ketaatan atau kepatuhan seseorang dalam menjalankan ibadah atau ajaran agama yang dianutnya.
Makna kesalehan semacam ini rasanya terlalu dangkal dan belum menyentuh makna dan hakikat saleh yang dimaksudkan alqur’an. Untuk itu, dibutuhkan upaya reinterpretasi (menafsirkan kembali) tentang apa hakikat kesalehan sehingga kata ini tidak hanya identik dengan aspek individual-ukhrawi dan terefleksi hanya dalam bentuk ibadah mahdhah, tetapi juga berjalin kelindan dengan aspek amaliyah sosial-duniawi yang lebih umum dan luas.
Dalam kamus bahasa Arab, saleh berasal dari kata shaluha-yashluhu yang berarti baik dan bagus. Bentuk fiil (kata kerja)-nya adalah ashlaha, arinya memperbaiki. Kata maslahat yang sudah menjadi bahasa Indonesia juga berasal dari kata shaluha yaitu mashlahah yang berarti faedah, kemanfaatan, dan kepentingan. Sedangkan al-shulhu yang bermakna perdamaian juga berasal dari kata ini.
Alqur’an menyebutkan sekitar 180 kali yang berkaitan dengan kata saleh dalam beragam bentuk tashrifnya. Dari jumlah ini, kata yang paling banyak disebut adalah shalihat (berbuat kebaikan) yaitu sebanyak 61 kali. Jika diperhatikan, setiap kali alqur’an menyebut kata shalihat maka selalu didahului oleh kata amana (beriman). Bisa dikata bahwa persandingan yang harmonis antara kata iman dan amal saleh dalam alqur’an adalah seperti saudara kembar atau seperti dua sisi mata uang. Hal ini disebabkan karena iman adalah landasan berpikir, bersikap, dan berbuat bagi seseorang untuk mengerjakan amal saleh. Sedangkan amal saleh adalah wujud nyata dari keimanan seseorang. Iman berada dalam wilayah intrinsik, dan amal saleh berada pada wilayah ekstrinsik manusia.
Hal yang perlu kita pertegas dalam pembahasan ini adalah apakah kesalehan hanya terwujud dalam bentuk ketaatan vertikal, hanya terbatas dalam ibadah tertentu, dan bersifat rigid? Ataukah kesalehan sebenarnya harus diwujudkan dalam wilayah amal yang lebih elastis, terbuka, lebih kontributif, dan mampu melahirkan efek positif bagi persoalan umat?
Dalam kenyataan, kelihatannya makna kesalehan selama ini masih bersifat individual, rigid dan sempit. Kesalehan yang hanya mengutamakan pendekatan diri kepada Allah dan menafikan pola hubungan sosial horizontal antar sesama manusia. Wujud kesalehan tidak lebih dari rutinitas shalat, zikir lisan, dan kegemaran melaksanakan puasa sunat. Tolok ukurnya juga hanya dilihat melalui gaya berbicara pelan, berjalan dengan menundukkan kepala, dan dengan gaya pakaian yang Islami sehingga terkesan religious.
Alqur’an pada hakikatnya tidak hanya mengarahkan hamba-Nya ini untuk mewujudkan kesalehan dalam bentuk pengabdian vertikal-individual yang sempit dan rigid, tetapi menganjurkan kita untuk dapat mewujudkan kesalehan sosial-horizontal yang memuat nilai aktif, kreatif, kontributif, dan berorientasi pada upaya menciptakan kemaslahatan sosial.
Kalau begitu, kesalehan tidak cukup hanya dengan keasyikan menjalin asmara dengan Allah Yang Maha Kasih, atau melakukan beragam bentuk ibadah mahdhah lainnya. Lebih dari itu, kesalehan pada hakikatnya adalah sikap kepatuhan vertikal plus hubungan sosial horizontal yang baik. Kesalehan seperti ini bukan sekedar upaya mengabdikan diri kepada Dia, tetapi juga pengabdian kepada manusia dengan cara bersikap peduli dan kritis terhadap persoalan umat dan berusaha mencari solusinya. Inilah yang disebut dengan kesalehan kontributif.
Untuk dapat mencapai kesalehan kontributif maka seseorang tidak cukup hanya dengan bekal iman, tapi harus diperkaya dengan kapasitas ilmu pengetahuan. Perpaduan antara dua kompetensi inilah yang akan melahirkan kerja dan karya yang berkualitas. Hasilnya tidak hanya bermanfaat bagi individu, namun dapat berguna bagi kepentingan publik. Iman dimanfaatkan untuk mewarnai pengetahuan yang dimiliki seseorang sehingga setiap kerja dan karya selalu mengandung muatan nilai moral dengan pertimbangan dampak manfaat-mudharat. Ketika iman dan ilmu disinergikan dengan maksimal, maka saat itulah akan lahir kesalehan sosial yang kontributif.
Kesalehan di era global
Perkembangan pengetahuan begitu pesat di era global saat ini. Manusia terus mengekplorasi rahasia alam semesta ini sehingga berbagai temuan dapat terus dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada era teknologi saat ini, jelas kesalehan tidak boleh lagi dipahami sebagai pola ketaatan kepada Allah semata, tetapi kesalehan yang diperkaya dengan kapasitas inteletual. Kesalehan bukan lagi milik golongan ulama atau orang-orang yang hanya mendalami ajaran-ajaran agama, tetapi milik semua orang dengan beragam profesinya asalkan orang tersebut memiliki hubungan yang baik dengan Allah dan berbuat serta berkarya melalui profesinya untuk kemaslahatan umat.
Bisa saja kita menyebut seorang pengusaha sebagai orang saleh. Walau pun shalat yang dia lakukan hanya sebatas shalat wajib, tetapi interaksi dan komunikasi sosialnya sangat baik. Bahkan dengan profesi sebagai pengusaha dia sering membantu tetangga yang kondisi ekonominya lemah. Inilah kesalehan. Bandingkan dengan seorang ustadz yang rajin shalat wajib maupun sunat dan di setiap ceramah selalu menghimbau para jamaah agar gemar bersadakah, padahal dia sendiri jarang bersadakah. Bagaimana kita bisa katakan dia saleh?
Sekiranya merujuk pada kamus bahasa Arab dan ayat-ayat yang terkait dengan kata saleh, maka jelas bahwa kesalehan itu juga bukan sekedar dituntut berakhlak baik, tapi harus mampu bersikap aktif dan kreatif untuk menghasilkan karya yang bermanfaat. Orang-orang saleh tidak hanya santun, tapi harus mau dan mampu ishlah, yaitu berusaha memperbaiki dan meningkatkan aktivitas amalnya dan mampu menciptakan kemaslahatan umat (al-mashlahah al-ummah), dan mampu menciptakan kedamaian (al-shulhu). Inilah kesalehan yang kontributif. Wallahu a’lam bishshawab!
*Pemerhati masalah pendidikan dan sosial keagamaan. Email: johan.arka[at]yahoo.co.id