Keajaiban Pemilu, Aceh-Gayo Mendadak Mesra

oleh

Oleh : Win Wan Nur*

Saat-saat menjelang Pemilu, di setiap penyelenggaraannya selalu menghadirkan keajaiban. Sesuatu yang sebelumnya tampak mustahil, menjelang Pemilu berubah menjadi nyata. Ibaratnya, menjelang Pemilu seperti ini, kuda tiba-tiba bisa bertanduk dan kerbau pun tiba-tiba dapat berbicara sebagaimana layaknya manusia.

Gayo tidak terkecuali, sebulan menjelang Pemilu kali ini. Keajaiban itu pun datang menghampiri.

Jauh sebelum Pemilu, oleh para penguasa Aceh di pesisir sana. Kita merasa, Gayo hanya mereka anggap sebagai kutil pengganggu bagi Aceh yang agung. Tidak ikut berjuang selama konflik, tapi sekarang ketika damai minta buahnya.

Sikap ini bisa kita baca dari bahasa-bahasa yang mereka gunakan dalam kaitannya dengan Gayo. Mulai dari “Yang tidak bisa berbahasa Aceh bukan orang Aceh”, “Yang menjadi Wali Nanggroe harus fasih berbahasa Aceh”, sampai yang paling mutakhir ” Orang Aceh, tak punya marga di belakang namanya”.

Di tataran kebijakan juga sama. Dalam urusan pembangunan. Sebelum Pemilu, Gayo cukup dapat sisa-sisa. Dalam bidang kebudayaan juga sama, di PKA, kebudayaan Gayo tak perlu ditampilkan. Dalam olah raga, atlet berprestasi asal Gayo terpaksa memperkuat provinsi lain di PON, Aceh tak mau menampungnya, karena Gayo memang bukan Aceh. Bahkan Saman yang merupakan seni budaya Gayo pun mulai digugat oleh seniman Aceh dengan mengatakan itu adalah tari asal Pasee. Dan meskipun pernyataan itu telah dipublikasikan, pemerintah Aceh tidak mengklarifikasi apa-apa.

Tapi semua berubah, berkat keajaiban yang datang sebulan menjelang Pemilu ini. Sikap Aceh kepada Gayo mendadak mesra.

Tiba-tiba, Gayo menjadi begitu pentingnya. Pasee yang agung dan jaya tiba-tiba mengaku bersaudara dekat dengan Linge.

Gubernur yang sebelumnya tidak terlalu serius menangani gempa, sekarang tiba-tiba begitu fasih bercerita tentang pentingnya sejarah Radio Rimba Raya.

Keajaiban menjelang Pemilu membuat yang tadinya mengatakan “Orang Aceh, tak punya marga di belakang namanya” sekarang duduk manis menonton Didong Jalu dengan senyum mengembang ditemani wakil bupati yang menebar wajah sumringah di Reulop yang beberapa penduduknya memiliki marga Cibro, Kebet atau Melala di belakang namanya.

Dan tidak cukup sampai di sana, keajaiban menjelang Pemilu terus berlanjut. Sebagaimana sebelum Pemilu 2009, warga Aceh dijanjikan uang Rp1 juta/KK/ bulan. Kali ini menjelang Pemilu, warga Linge juga mendapat keajaiban yang sama, berupa angin surga  bahwa “jalan kearah Linge akan dibangun menggunakan aspal hotmix pada anggaran tahun 2015”. Jalan Cot Panglima yang selama ini seolah ditelantarkan, berkat keajaiban menjelang Pemilu, juga akan segera diaspal. Luar biasa.

Hebatnya lagi, suara-suara kritis terhadap fenomena keajaiban di Gayo menjelang Pemilu ini juga lenyap entah kemana. Entah pemiliknya tertidur, atau terguncang setelah membaca berita tentang kader-kader partai lokal baru yang bertumbangan meregang nyawa di pesisir sana.

Menjelang Pemilu ini, Gayo tiba-tiba menjadi begitu pentingnya. Sehingga wajarlah kiranya kalau sekarang kita warga Gayo merasa bahagia, senang dan bangga, sebagaimana sumringahnya wajah wakil bupati Khairul Asmara saat mendampingi wakil gubernur dalam kunjungannya.

Tapi, di balik rasa senang dan bangga atas keajaiban menjelang Pemilu ini. Ada baiknya kita renungkan ucapan Bazaruddin Banta Mude, seorang tokoh GAM yang pernah berjuang mempertaruhkan nyawa bahu-membahu untuk kejayaan Aceh, yang dia sampaikan pada saat deklarasi Dewan Adat Gayo, Oktober 2013 silam, dia merasa diabai setelah MoU RI-GAM tercapai.

*Penulis adalah anggota Dewan Adat Gayo

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.