Mahasiswakah aku?

oleh

Oleh : Ikhwan Darmawan*

ikhwan darmawanDUDUK bersantai di malam mingguan sambil menikmati secangkir kopi espresso Arabica dan juga dengan budaya baru dikalangan remaja dan “setengah dewasa” yaitu online  di salah satu cafe dataran tinggi tanoh Gayo yang  dingin bersama teman-teman mahasiswa. Semua sibuk dengan laptopnya masing-masing entah sibuk facebook-an, atau main game online dan apalah yang mereka lakukan dan aku tanpa harus peduli mencari tau  apa yang mereka lakukan.

Tanpa kusadari seorang yang kuanggap senior duduk disampingku, sedikit kujelaskan mengapa ia kuanggap senior karena aku sedikit “ego” dalam masalah memberikan panggilan senior, bukan karena umurnya lebih tua kemudian kuanggap senior tapi  karena kontribusinya  padaku dan teman-teman mahasiswa lainnya  dalam berbagai kegiatan, baik itu kontribusi secara pemikiran dan finansial.

Tanpa ada basa-basi, sambil memegang handphonenya ia bertanya padaku “Apakah kamu mahasiswa ?” tanpa sedikitpun melirik padaku, aku kaget dan langsung kujabat dan kucium tangannya begitulah ia mengajarkan padaku cara penghormatan dan tata-krama kepada orang yang lebih tua dariku, dan dengan ringan kujawab “ia bang”.

Aku bertanya dalam hati kecilku, ia kenal aku dan ia juga tau aku adalah seorang mahasiswa , tapi mengapa ia bertanya seperti itu padaku. Namun kutepiskan pertanyaan itu dari pikiranku. Hanya sedikit berselang ia bertanya kembali padaku “apa fungsi mahasiswa ?” dengan ringan pula aku menjawab “agent of change dan control social bang, hanya itu yang saya tau bang” tanpa terbeban dalam dadaku, kuperhatikan raut wajahnya yang yang tak berubah sedikitpun dan tanpa menoleh kepadaku ia hanya masih sibuk dengan menekan-nekan handphonenya yang berlayar sentuh, aku tak tau apa yang ia lakukan dengan handphonnya  dan itu bukan urusanku.

Lalu ia bertanya lagi kepadaku dan pertanyaan ketiga ini membuatku lemas dan merasa hina, ketika aku dibenturkannya dengan pertanyaan yang sangat memojokkanku“ sebagai agen perubahan apa yang telah kamu rubah dan sebagai kontrol sosial apa yang telah kau lakukan untuk negeri ini?, negeri ini begitu banyak masalah, padahal kamu adalah sebagai control social kan ?!”.

aaku hanya bisa menggeleng dan terdiam “itu PR besar untukmu” sambil tersenyum kecil ia pindah dari sampingku dan bergabung dengan dengan teman-temannya di sudut ruangan cafe .

Selama berhari-hari aku selalu terngiang dengan pertanyaan seniorku dan pertanyaan itu semakin membebebaniku pikiranku, karena memang selama ini aku hanya menjadi mahasiswa yang tak ubahnya seperti kebanyakan siswa/pelajar setingkat SLTA  yang taat pada aturan guru, taNpa boleh kritis hanya berpanduan pada buku dan dan apa yang diterangkan oleh guru.

Kegiatanku hanya hura-hura dengan teman-teman dan perjalananku hanya rumah, sekolah, dan bermain/pacaran dan begitu pula saat aku menjadi mahasiswa perjalananku hanya kost-kampus–pacaran hanya itu yang ku tau dan ditambah dengan hanya mempelajari teori-teori yang kudapat dari dosen, buku dan hasil download saat online hanya itu yang kulakukan.

Aku apatis terhadap lingkunganku terserah entah bagai mana dan mengapa, yang penting aku tak terganggu, biarlah minyak naik harganya, yang penting uang saku yang dikirim orang tuaku cukup untuk membiayaiku, biarlah katanya suku ku tergenoside karena aku tak mengganggap suku itu penting.

Biarlah kemungkinan dewan mempermainkan fungsinya karena selama ini aku tak merasa ada “ikatan” dengan para dewan yang duduk di DPR, biarlah mungkin Musrembang desa, kecamatan dihapus  dari sidang dewan,  biarlah dana aspirasi itu di klaim sebagai miliknya anggota dewan, biarlah kemungkinan perusahaan raksasa berdiri mengangkangi AMDAL yang seharusnya mereka taati, biarlah kemungkinan bantuan rumah duafa sebahagian diselewengkan untuk dana kepentingan para petinggi yang mempunyai kewenangan dan kebijakan, biarlah dana rumah ibadah di potong dengan alasan apapun, biarlah tanah daerahku dicaplok siapa saja aku tak perduli.

Aku kuliah hanya dituntut keluargaku untuk mendapatkan ijazah dan cepat mendapatkan pekerjaan begitu pula doktrin yang diberikan oleh mayoritas dosen-dosenku.

Batinku kini mulai beradu antara harus membenarkan yang biasa atau membiasakan yang benar, karena apatis telah merasuk dan menguasai diri ini yang kini juga adalah hal yang lumrah di lembaga pendidikanku apalagi dilingkungan masyarakat. Gotong royong hanya teori yang kudapatkan pada mata  pelajaran PPKN, agama dan sosiologi prakteknya. Biarlah individu masing-masing yang menjalankan, walau terkadang batin ini ingin memberontak namun untuk apa ?!.

Biarkan saja aku menjadi mahasiswa yang mempunyai nilai yang bagus, tamat sesuai target dan mendapatkan pekerjaan yang layak bukankah itu lebih dari cukup ?.

*Mahasiswa, tinggal di Takengon

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.