Eksistensi “Biaya Adat” dalam Pelaksanaan Pernikahan Urang Gayo

oleh

(Meneropong Eksistensi “Biaya Adat” Pasca Revisi PP No 47 Tahun 2004)

Oleh: Hasan Basri, S. Ag*

Hasan Basri (Custom)HAMPIR keseluruhan dari masyarakat di dataran Tinggi Gayo, terutama suku Gayo apabila berkehendak untuk melaksanakan pernikahan, (male’ munatangen beret, muluahi sinte), maka dalam  pengurusan segala persyaratan adiministrasi, mulai dari pengurusan  N1, N2, N4 yang diterbitkan oleh reje sampai mendaftarkannya ke KUA, mereka “percayakan” kepada tgk imem kampung, tgk imem kampung dalam hal ini bertindak selaku “wakil”  dari keluarga calon pengantin (catin).

Dalam pandangan suku Gayo keterlibatan dan kehadiran tgk imem dalam seluruh rangkaian proses pernikahan, baik pra maupun pasca ijab qabul, adalah suatu keharusan dan menjadi bagian dari tuntutan adat isti’adat yang berlaku di Gayo.[1] Kebiasaan ini telah membudaya dan berlaku secara turun temurun di kalangan masyarakat Gayo. Salah satu budaya, adat istiadat suku Gayo yang tetap eksis sampai saat ini adalah yang berkaitan dengan pelaksanaan pernikahan, walaupun sekarang sudah “memudar” akibat terjadinya akulturasi[2] budaya dan dinamika sosial yang relative pesat di Gayo.

Seluruh rangkaian prosesi pernikahan di Gayo adalah suatu kegiatan yang sarat dengan nilai adat isti’adat (tradisi) yang mengiringya, kealpaan melaksanakan dan menghadirkannya pada rangkaian pernikahan dianggap mengurangi keabsahan suatu pernikahan. Sebagai suatu masyarakat yang  memiliki adat isti’adat, tradisi dan budaya  serta beradab maka pelestarian dan pemeliharannya adalah suatu keharusan dan keniscayaan.

Unsur sarak opat kampung adalah pihak yang bertanggung jawab untuk mengawal dan memelihara keberlangsungan adat isti’adat pada tataran atau ranah kampung, kaitannya dengan pelestarian adat isti’adat dan tradisi dalam pernikahan, Imem kampung sebagaimana dimanahkan oleh Qanun No 4 Tahun 2011,[3] merupakan pihak yang lebih banyak berperan, tentu tidak diharapkan dalam melaksanakan perannya tersebut para imem kampung “menanggung” sendiri seluruh biaya yang layak diberikan terhadap seluruh elemen yang terlibat pada prosesi tersebut. Kaitannya dengan inilah kampung menetapkan “biaya” yang sekarang lazim disebut dengan “biaya adat” dalam pelaksanan pernikahan, dan ini tentu lebih baik bila diiringi serta dilegalitaskan dengan diterbitkannya qanun kampung.

Perlu dicermati bahwa “biaya adat” yang besarannya telah “disepakati”, dan biasanya tidak seragam antara satu kampung dengan kampung lainnya bukanlah biaya pencatatan nikah yang harus disetorkan oleh masyarakat ke negara dalam wujud penerimaan negara bukan pajak (PNBP) melalui KUA. Karena itu anggapan atau “kesan”  yang berkembang di kalangan masyarakat Gayo tentang keterlibatan unsur KUA sebagai pihak yang bertanggung jawab “melegalitaskan” serta menerima “bagian” dari biaya tersebut, tentu tidak dapat diterima.

Dalam Undang-Undang No 22 tahun 1946 khususnya Pasal 1, pada ayat 1 dan 2 disebutkan, bahwa:
(1)     Nikah yang dilakukan menurut agama Islam, selanjutnya disebut nikah, diawasi oleh pegawai pencatat nikah yang diangkat oleh Menteri Agama atau pegawai yang ditunjuk olehnya. Talak dan rujuk yang dilakukan menurut agama Islam, selanjutnya disebut talak dan rujuk, diberitahukan kepada pegawai pencatat nikah.
(2)     Yang berhak melakukan pengawasan atas nikah dan menerima pemberitahuan tentang talak dan rujuk, hanya pegawai yang diangkat oleh Menteri Agama atau pegawai yang ditunjuk olehnya.[4]

Sedangkan dalam Undang Undang No 1 Tahun 1974 pada pasal 2  disebutkan bahwa:
(1)    Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
(2)    Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selanjutnya KHI (Kompilasi Hukum Islam) pada Pasal 5 ayat 1 dan 2 menjelaskan bahwa: (1) agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat. (2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat 1, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No 22 Tahun 1946 jo Undang-Undang No. 32 Tahun 1954

Sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2000 jo Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 2004, tentang tarif atas jenis penerimaan Negara bukan pajak yang berlaku pada Depertemen Agama, menyebutkan bahwa Penerimaan dari Kantor Urusan Agama Kecamatan, khususnya Biaya Pencatatan Nikah dan Rujuk yakni Rp. 30 000 (Tiga Puluh Ribu) per peristiwa. Berdasarkan peraturan inilah untuk saat ini biaya pencatatan nikah yang disetorkan ke negara melalui KUA Kecamatan sebesar Rp. 30 000 (tiga puluh ribu). Namun karena isu gartifikasi yang mendera penghulu akhir-akhir ini, bahkan sempat menjadi isu nasional, “mengharuskan” Kementerian Agama bermaksud untuk melakukan revisi terhadap PP No 47 Tahun 2004 ini.

Dalam revisi tersebut disepakati tiga kategori biaya pencatatan nikah. Kategori pertama adalah gratis alias nol rupiah untuk warga negara yang tidak mampu secara ekonomis, dengan mekanisme pengaturan klasifikasi miskin dalam Peraturan Menteri Agama. Kategori kedua adalah Rp 50.000,00 untuk biaya pencatatan nikah yang dilakukan di KUA Kecamatan sedangkan kategori ketiga adalah Rp 600.000,00 untuk pencatatan nikah yang dilakukan di luar KUA Kecamatan.

Kebiasaan masyarakat selama ini yang  “merasa nyaman” melaksanakan pernikahan di luar balai nikah, akan merasa “terganggu” dan “terbeban” dengan bertambah  “tingginya” jumlah biaya yang harus diberikan masyarakat. Karena disamping mereka  membayar “biaya adat” tentu juga harus membayar biaya pencatatan nikah  Rp 600 000 (enam ratus ribu rupiah).  Persoalan  mahal dan tingginya biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat Gayo inilah yang memungkinkan mereka akan melirik KUA (Kantor Urusan Agama) atau Balai Nikah sebagai satu-satunya alternative tempat pelaksanaan nikah.[5] Biaya pencatatan pernikahan yang dilaksanaan di KUA berdasarkan revisi PP No 47 Tahun 2004 adalah  50 000, bahkan gratis bagi masyarakat yang tidak mampu secara ekonomis, tentu ini dianggap relative lebih murah oleh masyarakat.

Pernikahan dan  rujuk yang dilaksanakan di Kantor Urusan Agama otomatis akan dilaksanakan oleh PPN atau Penghulu serta pagawai KUA,  dan ini mungkin akan “sepi” serta  “menghindar” dari muatan adat istiadat serta budaya masyarakat Gayo, banyak aspek yang menyebabkan KUA “kesulitan” dan belum mampu melaksanakan pernikahan berdasarkan adat istiadat, tradisi dan budaya masyarakat Gayo untuk saat ini, hal ini akan mengeleminasi peran reje dan tgk imem sebagai pemangku adat istiadat.

Pernikahan yang dilaksanakan tidak berdasarkan adat istiadat dan tradisi masyarakat Gayo akan membuat mereka “enggan” serta keberatan untuk memberikan “biaya adat” kepada pihak pelaksana adat, dalam hal ini adalah tgk imem atau reje. Berdasarkan hukum kausalitas (sebab akibat) dalam terminology filsafat “akibat adalah konsekuensi dari suatu sebab”. “Biaya adat” adalah akibat, sedangkan sebabnya adalah pelaksanaan adat istiadat,  hilangnya biaya adat tentu merupakan hasil dari tidak terlaksananya adat istiadat, ini tentu sangat naif dan disayangkan bahkan menjadi kekhawatiran kita bersama selaku masyarakat Gayo.

* Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Celala Aceh Tengah


[1]Kecuali pada saat proses peminangan
[2]Akulturasi adalah suatu proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing. Kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan kelompok itu sendiri
[3]Imem Kampung mempunyai tugas: pada point ( f ). menjaga, memelihara dan melestarikan nilai-nilai adat yang tidak bertentangan dengan syari’at Islam. Pada point ( j ).melaksanakan sinte murip dan sinte mate.
[4]Dirjen Bimas Islam Kemenag, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan dan Perkawinan, (Jakarta: Dirjen Bimas, 2010), hal. 4
[5]Sebagian masyarakat pinggiran di dataran tinggi gayo, beranggapan bahwa pernikahan yang dilaksanakan di KUA adalah pernikahan yang “bermasalah”.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.