Oleh : Win Wan Nur*
DEMOKRASI adalah satu sistem pemerintahan yang menjadikan rakyat sebagai penentu nasibnya sendiri, melalui mekanisme Pemilu yang menghasilkan pemimpin-pemimpin dan para wakil yang membawa aspirasi di parlemen.
Pasca reformasi dengan hiruk pikuk demokrasinya di Indonesia. Kita menyaksikan munculnya pemimpin berkualitas seperti Jokowi, Ridwan Kamil dan Tri Rismarini. Ketiganya mampu mengemban harapan dan memuaskan rakyat pemilihnya.
Tapi harap kita pahami kalau ketiga pemimpin berkualitas produk demokrasi ini tidaklah datang tiba-tiba dari langit.
Dalam sistem demokrasi, kualitas pemimpin dan politisi yang terpilih menjadi penyelenggara pemerintahan adalah cerminan dari kualitas diri kita sendiri sebagai pemilih. Dalam demokrasi, pemimpin dan politisi berkualitas hanya mungkin dilahirkan oleh masyarakat pemilih yang berkualitas.
Terpilihnya Jokowi di Jakarta, Ridwan Kamil di Bandung dan Tri Rismaharini di Surabaya bukanlah sebuah kebetulan. Kualitas kepemimpinan yang ditunjukkan oleh Jokowi, Ridwan Kamil dan Tri Rismarini sebenarnya tidak lain adalah cerminan dari kualitas pemilih di Jakarta, Bandung dan Surabaya. Tiga kota terbesar di pulau Jawa yang memiliki universitas-univesitas terbaik di Indonesia.
Kita saksikan bagaimana proses naiknya Jokowi-Ahok ke kursi gubernur DKI. Tiap kampanye mereka hanya membagikan kartu nama, frekwensi kemunculan mereka di televisi juga jauh lebih rendah dibanding frekwensi kemunculan lawan-lawannya. Jokowi dan Ahok tidak mudah mengumbar janji. Bandingkan dengan lawannya Alex Nurdin yang dengan berani menjanjikan kalau dia terpilih menjadi gubernur, Jakarta akan bebas banjir, atau Foke yang mengharu biru dengan tema kampanye “tak ada macet yang tak bisa diurai” yang didukung dengan baliho bergambarkan jalan layang yang lengang.
Untuk masyarakat pemilih yang terdidik dan tercerahkan, janji manis seperti yang dilontarkan oleh Alex Nurdin dan Foke, tidak langsung serta merta ditelan. Semanis apapun janji, tak akan mereka percayai kalau tak diikuti dengan penjelasan tentang strategi untuk mewujudkannya. Tanpa itu, bagi pemilih yang kritis seperti ini, janji hanya dianggap omong kosong belaka. Bagi pemilih jenis ini Retorika kosong semacam “saya berjuang untuk kesejahteraan rakyat”, “Saya akan memakmurkan daerah”, “Saya akan mewakafkan diri” dan sejenisnya takkan laku dijual. Rekam jejak dan pemaparan strategi yang masuk akal, jauh lebih menarik perhatian.
Lalu bagaimana dengan Gayo?
Sebagai pemilih, masyarakat Gayo, harus jujur kita akui belumlah sekritis pemilih di Jakarta, Bandung atau Surabaya. Kita di Gayo masih mudah terpukau oleh janji manis politisi. Di Gayo, karena masyarakatnya tidak kritis. Para politisi masih bisa bebas mengumbar janji tanpa merasa perlu untuk dipenuhi ketika mereka terpilih nanti. Sebab mereka tahu, masyarakat pemilih di Gayo masih mudah terpukau dengan janji manis, unsur-unsur feodal, kekerabatan atau politik uang. Bukan kualitas intelektual dan rekam jejak sang politisi.
Ini bisa kita baca dari janji-janji kampanye para politisi yang bertarung di Pemilu kali ini. Rata kita lihat dan baca, hampir semua dari mereka masih konsisten menampilkan retorika-retorika tanpa isi.
Dan yang lebih mengkhawatirkan adalah, ketika kita cermati latar belakang dari beberapa politisi yang bertarung di Pemilu kali ini.
Sebagaimana kita ketahui bersama, untuk saat ini, di Gayo. Hanya ada dua jenis usaha yang dapat menghasilkan uang dalam jumlah besar bagi pribadi pelaku usahanya. Perdagangan biji kopi dan rekanan pemerintah dalam pengadaan barang dan jasa.
Dengan wakil yang dipilih langsung, sebenarnya kita bisa berharap kalau para wakil yang terpilih mewakili rakyat Gayo ini bisa memacu tumbuhnya industri-industri baru sebagai alternatif lain untuk usaha yang menghasilkan pendapatan dalam skala yang lumayan. Dalam kapasitasnya sebagai anggota parlemen, mereka sebenarnya bisa mendesign peraturan-peraturan daerah yang merangsang pengusaha baik dari luar maupun dari Gayo sendiri untuk menciptakan industri. Entah itu industri pendidikan yang bisa menciptakan education tourism, bisnis kesehatan dan lain-lain. Atau yang paling mudah, mereka bisa mendukung industri yang sekarang sedang tumbuh subur di Gayp dengan sendirinya. Usaha roasting kopi. Dalam kapasitas mereka sebagai anggota dewan, demi merangsang tumbuhnya industri ini, misalnya dengan persyaratan tertentu mereka bisa memaksa bupati untuk memberikan kredit lunak bagi pelaku industri ini. Membantu dengan pelatihan dan pengadaan tenaga ahli, membantu segi branding. Dan sebagainya.
Tapi sejauh ini, kreatifitas semacam itu tidak terlihat sama sekali. Yang terjadi malah, orang berebut menjadi anggota dewan agar mendapat akses yang lebih mudah untuk menguasai sumber-sumber uang yang sudah ada. Indikasi dari fenomena ini dapat kita lihat, tidak sedikit dari politisi yang bertarung untuk mendapatkan kursi kekuasaan untuk lima tahun mendatang berlatar belakang kontraktor, yang selama ini mengais rejeki dengan menjadi rekanan bagi proyek-proyek pemerintah. Beberapa dari mereka, malah sebelumnya tidak memiliki rekam jejak di dunia politik.
Dengan mencermati fenomena ini, sambil berkaca pada hasil Pemilu sebelumnya dan bagaimana pola yang mengantarkan para politisi ini ke empuknya kursi DPRK. Mengharapkan Gayo untuk mendapatkan pemimpin sekelas Jokowi dan anggota parlemen yang benar-benar bisa diharapkan membawa aspirasi. Tampaknya masih jauh panggang dari api.
Yang bisa kita lakukan kali ini hanyalah memilih caleg terbaik dari stok yang ada, yang bisa meminimalisir dampak buruk Pemilu tahun 2014 ini bagi Gayo.
Sebab sebagaimana yang pernah diuraikan oleh Aristoteles 2500 tahun yang lalu, jauh sebelum Gayo memiliki sejarah tertulis yang bisa kita jadikan acuan untuk masa kini. Dengan situasi yang sedang kita hadapi saat ini, sebenarnya Gayo sudah berada pada posisi yang sangat rentan untuk terjatuh ke dalam dampak buruk dari demokrasi, yaitu PLUTOKRASI. Dimana kekuasaan dikangkangi oleh para pemodal.
—
*Pengamat sosial politik, anggota Dewan Adat Gayo