Silaturrahmi Politik

oleh

Oleh Johansyah*

 

PESTA demokrasi 2014 kian dekat. Para calon legislatif (caleg) terus melakukan beragam cara supaya mendapat dukungan dari publik. Mereka mengiklankan diri melalui spanduk, baliho, kelender, dan kartu nama. Tidak meresa cukup dengan iklan tulisan, sebagian ada juga yang menjadi penceramah dadakan, mulai rajin shalat berjamaah, dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan di masyarakat untuk membangun komunikasi yang baik.

Sekarang kalau ada yang mengadakan hajatan seperti sunat rasul, resepsi pernikahan, dan acara-acara lainnya, lalu mengundah calon legeslatif, saya yakin mereka akan datang. Bahkan mungkin tanpa diundang pun akan datang. Atau paling tidak dengan rasa kecewa dia mengatakan kepada kita mengapa dia tidak diundang? Begitulah terbukanya komunikasi publik dengan para calon wakil rakyat kita sekarang; mudah, familiar, dan terkesan senasip sepenanggungan.

Demi misi dan tujuannya, para calon akan menerobos pegunungan, menyeberangi sungai, melintasi jalan terjal sampai ke pelosok untuk mengunjungi penduduk yang  ada di sana tanpa kenal lelah. Di sela kunjungannya, mereka tidak akan alpa memberikan sumbangan kepada masyarakat kampung tersebut, misalnya uang untuk pembangunan masjid, memberikan tratak, atau fasilitas olah raga kepada pemuda, baju pengajian pada kaum ibu, dan bentuk bantuan lainnya.

Lucunya, ada juga calon yang sebenarnya alergi dengan peci, sarung dan baju safari, tetapi kini mereka terlihat sangat menyukainya. Mereka yang dulu tidak pernah hadir di saf depan masjid, kali ini justru jauh sebelum waktu azan memanggil sudah berada di dalam masjid sambil menggerakkan kasabah sebagai tanda bahwa dia sedang melakukan zikir.

Sikap yang diperlihatkan para caleg seperti ini pastilah tidak membuat kita heran. Saat ini memang waktunya untuk meraih simpati publik dan mendapat dukungan suara dari mereka. Inilah yang kita sebut silaturrahmi politik. Sebuah rancang bangun interaksi sosial yang disetting oleh masih-masing calon untuk menempatkan dirinya dalam ruang nurani rakyat, bagaimana agar namanya melekat dalam hati seseorang sehingga pada waktu pencoblosan orang akan menjatuhkan pilihan padanya.

Pertanyaan

Pertanyaan besarnya adalah akankah sikap keterbukaan, kesantunan, kedermawanan, dan sikap kekeluargaan para caleg kita akan tetap konsisten sekiranya mereka mendapat dukungan suara dari publik? Ataukah semua itu akan hanyut seperti sampah di sungai yang akan pergi mengikuti jalannya aliran air sungai?

Semua kita memiliki kesan dan pengalaman sendiri bahwa tampaknya pertanyaan pertama tadi masih kita ragukan dapat terwujud. Kondisi yang kemungkinan dialami masyarakat adalah pertanyaan kedua tadi, bahwa sikap keterbukaan, kedermawanan, kekeluargaan, serta sikap baik lainnya kemungkinan akan hilang secara perlahan ketika calon sudah memperoleh jatah kursi di dewan. Prediksi ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk membangun kesan buruk di hati masyarakat bagi para caleg, tetapi begitulah selama ini yang banyak dialami oleh masyarakat.

Dalam sebuah status facebook, saya pernah membaca; ‘kau yang dulu selalu menyebut namaku, kini tak lagi mengingatku. Kau yang dulu selalu memujiku, kini malah menghinaku. Kau yang dulu selalu mengejarku, kini menjauhiku. Kau yang dulu mengucapkan janji setiamu, kini pergi meninggalkanku’. Saya memahami kalimat ini adalah ungkapan kekecewaan seorang gadis kepada pria yang dulu mencintainya tetapi akhirnya meninggalkannya. Apa yang dialami oleh gadis ini, tidak mustahil juga akan dialami oleh masyarakat. Sekarang dibutuhkan, namun satu saat akan diabaikan.

Sebagai masyarakat, tentunya kita perlu menyikapi dengan cerdas kondisi ini, terutama dalam memberi penilaian baik atau tidak baiknya seorang calon sebelum menentukan pilihan, sebab nuansa religious yang dipertontonkan para calon tentunya berpengaruh terhadap cara pandang dan penilaian seseorang, sekaligus bisa jadi memikat hati mereka. Dengan kata lain, publik jangan terlalu capat percaya dengan tampilan-tampilan calon yang bergaya seperti ulama. Semua itu hanyalah simbul semu yang belum tentu memperlihatkan karakter aslinya.

Calon yang baik

Kita yakin walaupun tidak semua orang berpendidikan tinggi, namun secara umum mengetahui mana calon yang baik. Bahwa calon yang baik bukanlah tipe orang yang kemunculannya sporadis  di tengah-tengah masyarakat, hanya menjelang pemilihan saja. Calon yang baik adalah orang yang kehadirannya tidak pernah mengenal waktu dan tempat; bergotong royong ketika orang setempat melakukannya, berjama’ah ketika azan memanggil, bersadakah dengan ketulusan, ramah dan bergaul baik dengan orang sekitarnya, walau pun tidak sedang mencalonkan diri.

Kunjungan ke masyarakat dengan membawa bantuan dan sumbangan ke kampung-kampung bukanlah ukuran ideal bagi calon yang baik. Lebih dari itu, jika masyarakat ingin mengetahui calon yang religious, amanah dan baik, maka lihatlah rutinitas kesehariannya, apakah gemar jama’ah ke masjid, atau calon hanya rajin jama’ah ketika menjelang pemilu saja. Demikian halnya kunjungan musibah, atau resepsi nikah apakah hanya di waktu mencalonkan diri, atau jangan-jangan sebelumnya tidak pernah kelihatan, bagaimana kita bisa menilainya baik.

Calon yang baik juga bukanlah tipe orang yang suka merendahkan dan melecehkan saingannya ketika berceramah di depan jama’ah, dan hanya berusaha menunjukkan kebaikan sendiri. Atau tanpa sungkan mengaku bahwa pembangunan di wilayah tempat yang dikunjungi adalah berkat perjuangan dan usahanya. Sosok seperti ini jelas bukanlah sosok calon yang baik.

Tak kalah pentingnya, bahwa masyarakat juga harus membangun kesadaran bahwa selama ini mereka selalu diposisikan sebagai orang miskin yang nurani dan suara hatinya bisa dibeli dan ditukar dengan segantang dua gantang beras. Masyarakat juga harus sadar bahwa kualitas seseorang bukanlah diukur dengan seringnya ia memberi materi atau uang, apalagi memberinya menjelang naik jadi calon. Satu-satunya tolak ukur sederhana yang dapat digunakan untuk menilai seorang calon baik atau tidak adalah dengan melihat tingkat pengakuan publik secara umum apakah pola interaksi sosialnya baik dan diakui.

Harus juga disadari bahwa rakyat adalah objek kampanye, jika tidak ingin terjebak maka mereka harus lebih cerdas memilih dan jeli melihat semua calon. Kunjungan tanpa diundang, buka puasa bersama di bulan ramadhan, atau memberikan sumbangan belumlah cukup bagi kita untuk menyimpulkan bahwa mereka adalah pemimpin yang baik dan merakyat. Banyak hal yang harus kita teliti dan telusuri agar kita tidak salah memilih. Ingat, jangan sampai coblosan beberapa detik menjadi penyesalan selama lima tahun ke depan. Hadanallah wa iyyakum.

*Warga Bener Meriah. Email: johan.arka[at]yahoo.co.id

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.