Bupati Aceh Tengah, KIP, & Pelanggaran UUPA

oleh

Oleh : Abza Karanesa

ilustrasi_paluHINGGA kini Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh Tengah belum dilantik, padahal Gubernur Aceh sudah member ultimatum kepada Bupati Aceh Tengah untuk segera melantik. Padahal Surat Keputusan KPU  Nomor 706/Kpts/Kpu/2013 sudah diterbikan pemilu legis;atif tinggal 61 hari lagi. Politisi yang akan bertarung memperebutkan kursi legislatif Aceh Tengah mulai resah dengan kepastian pelaksanaan pemilu akibat sikap Bupati Aceh Nasaruddin .yang belum juga melantik komisioner KIP Aceh Tengah.

“Bukan saya tidak mau melantik KIP. Namun kita menunggu kepastian hukum. 50 persen jumlah anggota DPRK dan 7 Parpol mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta, sehubungan dengan keluarnya  SK KPU yang menetapkan 5 personil KIP di Aceh Tengah,” ungkap Bupati Aceh Tengah dalam pernyataannya mengenai KIP Aceh Tengah di media beberapa waktu lalu.

Sebelumnya kasus KIP Aceh Tengah ini sempat  masuk Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)  Banda Aceh, pada saat itu hasil gugatan tersebut dalam Putusan hakim dengan nomor: 17/G/2013/PTUN-BNA,  pada pokoknya menolak gugatan yang diajukan penggugat (Baca: Segera Lantik KIP Aceh Tengah dan Putusan PTUN nomor : 17/G/2013/PTUN-BNA). Namun gugatan kembali diajukan ke PTUN Jakarta dengan Objek gugatan yang berbeda yakni mengenai SK KPU Nomor 706/Kpts/Kpu/2013 yang masih dalam tahap proses persidangan.

Terkait hal tersebut diatas, terlepas dari kepentingan politik juga anggota KIP yang terpilih atau hal-hal lainnya. Secara Kacamata hukum, adapun yang menjadi landasan dasar mengapa Bupati wajib meresmikan anggota KIP Kabupaten/Kota terdapat dalam pasal 56 pada ayat (5) UUPA Nomor 11 tahun 2006 tentang Penyelenggara pemilihan. dijelaskan bahwa:

(5) anggota KIP Kabupaten/Kota diusulkan oleh DPRK ditetapkan Oleh KPU dan diresmikan oleh Bipati/Walikota
Berdasarkan pasal tersebut, pada hakikatnya Bupati stempat telah mempunyai kewajiban untuk segera melantik anggota KIP Kabupaten/Kota berdasarkan Surat Keputusan yang diterbitkan oleh KPU tentang pemberhentian dan pengangkatan anggota KIP sebagaimana diamanahkan dalam pasal 17 ayat 4, Qanun Nomor 7 tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum Di Aceh.

(4) Bupati/Walikota meresmikan/melantik anggota KIP kabupaten/kota yang bersangkutan paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah keputusan KPU sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterima secara resmi.

Namun pada realitasnya Ir. Nasarudin MM. telah melanggar kewajibannya sebagai Bupati Aceh Tengah dan mengangkangi Undang- Undang Pemerintahan Aceh yang berlaku unruk melaksanakan kewajibanya tersebut sebagaimana dengan alasan beliau mengenai belum dilantiknya anggota KIP yang pernah dimuat di media “Kita inginkan tidak ada perpecahan dalam mengambil kebijakan. Semua elemen kita pertimbangkan. Yang mengajukan gugatan 50 persen jumlah anggota DPRK dan 7 Parpol, ini kan juga bagian dari rakyat Aceh Tengah.  Kita tunggu fatwa MA, apakah kita dapat melaksanakan keputusan KPU yang sekarang digugat, atau menunggu proses peradilan yang sedang berlangung,”ungkap Bupati Aceh Tengah.

Pernyataan Bupati di atas menurut pandangan salah satu dosen Hukum Tata Negara di Universitas Syiah Kuala menyatakan bahwa ”Bupati atau pejabat negara tidak mempunyai kewenangan sama sekali untuk menilai atau memberi pernyataan mengenai sah atau tidaknya surat yang diterbitkan oleh lembaga negara, karena yang dapat menyatakan sah atau tidak surat yang diterbitkan oleh lembaga negara adalah Pengadilan berdasarkan barang bukti yang sah secara hukum.” Ungkap Zainal Abidin S.H., M.HUM  yang juga mantan komisioner KIP Provinsi Aceh pada priode yang lalu.

Terkait kasus sikap Bupati yang urung mengabaikan kewajibannya melantik KIP Aceh Tengah, Zainal mengungkapkan kembali bahwa ”Sebenarnya SK yang diterbitkan oleh suatu lembaga  negara wajib hukumnya untuk dilaksanakan berdasarkan amanah undang-undang,  apabila terjadi Gugatan, maka Gugatan yang diajukan ke PTUN tidak dapat menghalangi sama sekali tugas negara yang diterbitkan oleh lembaga negara tersebut sebelum adanya keputusan Hakim, meskipn masih dalam proses gugatan.

Pandangan yang disampaikan oleh Dosen Hukum Tata Negara di atas telah sesuai dengan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang  Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara “Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara.”sedangkan tugas dan wewenang Bupati telah diatur dalam pasal 42,43,44 dan 45 Undang-Undang Pemerintahan Aceh Nomor 11 Tahun 2006  pada pokoknya Bupati hanya menjalankan tugas dan wewenang yang bersifat eksekutif selaku penyelenggaraan pemerintahan bukan memutuskan atau menilai sah atau tidaknya keabsahan hukum mengenai surat yang diterbitkan oleh lembaga negara lalu kemudian dapat meninggalkan kewajiban yang diamanahkan undang-undang kepadanya.
Berdasarkan buku yang ditulis oleh Rozali Abdullah S.H. “Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara” pada halaman 49-50 dijelaskan bahwa:

“Diajukannya suatu gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara pada prinsipnya tidak menunda atau menghalangi dilaksankannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat, serta tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, ketentuan ini didasarkan kepada semacam asas seperti yang berlaku di dalam Hukum Acara Pidana, yaitu asas praduga tak Bersalah (Presemtion of innocent). Selama Keputusan Tata Usaha Negara tersebut belum dinyatakan tidak sah (melawan hukum) dengan keputusan hakim yang telah meempunyai ketetapan hukum tetap, maka ketetapan ini tetap dianggap sah(tidak melawan hukum) sehingga harus tetap dilaksanakan. Namun, Penggugat dapat mengajukan permohonan agar pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara itu ditunda selama pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara sedang berjalan, sampai ada putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap. Permohonan mengenai hal ini dapat diajukan sekaligus dalam gugatan dan dapat di putus terlebih dahulu dari pokok sengketanya”.
Dari penjelasan diatas dapat kita tarik 2 kesimpulan bahwa:

1.Diajukannya suatu gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara pada prinsipnya tidak menunda atau menghalangi dilaksankannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat, serta tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat.

2.Penggugat juga dapat mengajukan permohonan agar pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara itu ditunda selama pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara sedang berjalan, sampai ada putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap. Permohonan mengenai hal ini dapat diajukan sekaligus dalam gugatan dan dapat diputus terlebih dahulu dari pokok sengketanya.

Berdasarkan realitasnya meskipun pihak penggugat telah menyatakan agar Bupati Aceh Tengah dapat menangguhkan pelantikan anggota KIP hingga adanya putusan Hakim PTUN Jakarta guna mendapati kepastian hukum yang ada, namun hingga saat ini putusan hakim PTUN Jakarta belum mengeluarkan keputusan apapun mengenai apakah pelantikan  KIP Aceh Tengah dapat ditunda atau ditangguhkan kepada Bupati sampai adanya putusan hakim secara final (Incraht), diluar dari pada putusan pokok sengketa gugatan.

Terkait mengenai pengalihan sementara tugas KIP Kabupaten kepada KIP Provinsi seperti yang diatur dalam Pasal 127 pada ayat (3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilu:
(3) Apabila terjadi hal-hal yang mengakibatkan KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota tidak dapat menjalankan tugasnya, tahapan penyelenggaraan Pemilu untuk sementara dilaksanakan oleh KPU setingkat di atasnya.

Menurut pandangan Darmawan S.H., M.Hum selaku dosen Senior di Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala menyatakan bahwa” Pasal tersebut hanya berlaku pada kasus yang pernah menimpa Bener Meriah yang lalu, yakni dimana SK KPU belum diterbitkan oleh KPU pusat sehingga anggota KIP belum dapat dilantik atau di daerah yang dinyatakan tidak ada sama sekali lembaga KIP/KPU akibat tidak dilakukanya rekrutmen anggota KIP, beda halnya Kasus Aceh Tengah, SK KPU sudah diterbitkan namun Bupati Aceh Tengah belum juga melantiknya, Bagaimana mungkin anggota KIP dinyatakan tidak dapat menjalankan tugasnya sedangkan anggota KIP belum dilantik dan belum melaksanakan tugasnya?.”

Berdasarkan pernyataan di atas jika merujuk Pasal 127 tersebut maka yang dimaksud“hal hal yang mengakibatkan KPU Kabupaten /Kota tidak dapat menjalankan tugasnya” hanya berlaku jika KPU (di Aceh KIP) telah dilantik kemudian telah menjalankan tugasnya pada tahapan penyelenggaraan pemilihan namun di tengah proses  pelaksanaanya KPU/KIP tersebut tidak dapat lagi menjalankan tugasnya dikarenakan alasan tertentu sebagaimana telah dijelaskan di dalam pasal 26,27,28 dan 29 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Pemilu, mengenai hal hal menyebabkan diberhentinya anggota KIP.

“Pada prinsipnya Bupati tidak mempunyai konsekuensi hukum apapun, apabila melantik KIP AT, dan seandainya keputusan hakim tentang SK KPU dibatalkan oleh PTUN maka Bupati tidak mendapat sanksi hukum apapun karena yang berwenang membatalkan SK KPU adalah KPU bukan Bupati, namun Jika kasusnya Bupati yang tidak melaksanakan amanah pasal 17 ayat (4), Qanun Nomor 7 tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, maka kita dapat berpedoman kembali pada pasal 25 ayat (3) mengenai sumpah atau janji, Undang Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum yakni: (3) Pelantikan KPU Kabupaten/ Kota dilantik oleh KPU Provinsi” ungkap Darmawan S.H.,M.Hum mengenai solusi yang dapat diambil untuk pelantikan KIP Aceh Tengah.

Apabila Anggota KIP terpilih tidak segera dilantik maka Bupati dan Wakil bupati telah melakukan pelanggaran sebagaimana aturan tentang larangan bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam pasal 28 huruf a Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah yakni:

Kepala daerah dan wakil kepala daerah dilarang:
a. membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi diri sendiri, anggota keluarga, krooni, golongan tertentu, atau sekelompok politiknya yang bertentangan dengan peraturan perundang undangan , merugikan kepentingan umum, dan meresahkan sekelompok masyarakat atau mendiskriminasikan warga negara atau golongan masyarakat lain.

Tindakan bupati yang tidak melaksankan kewajibannya maka dapat diberhentikan/ dicopot dari jabatannya sebagai kepala daerah/wakil kepala daerah sebagaimana dijelaskan didalam pasal selanjutnya yakni pasal 29 ayat 4 huruf a :

(4) pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah diusulkan kepada presiden berdasarkan putusan Mahkamah Agung atas pendapat DPRD bahwa kepala daerah dan wakil daerah tidak lagi memenuhi syaat, melanggar sumpah/janji jabatan, tidak melaksanakan kewajiban dan atau melangggar larangan

Terkait mengenai usualan DPRA yang menyatakan Gubernur dapat mengambil alih pelantikan KIP Kabupaten Aceh Tengah, menurut mantan komisioner KIP Provinsi Aceh menyatakan bahwa” Tindakan Gubernur untuk mengambil alih pelantikan KIP Kabupaten Aceh Tengah sudahlah tepat, karena realita saat ini Bupati setempat tidak juga mau melantik KIP Aceh Tengah, disini telah terjadi kebuntuan hukum mengenai Bupati yang pada hakekatnya memiliki kewajiban untuk melantik KIP Kabupaten, namun Bupati tidak mampu melaksanakannya, maka Gubernur selaku pihak eksekutif Provinsi wajib mencari penemuan hukum baru sebagai solusi, karena di dalam hukum tidak boleh terjadi kebuntuan atau kekosongan hukum sama sekali”ungkap Zainal Dosen HTN Fakultas Hukum Unsyiah.

Kini persoalannya hanya pada Bupati/Wakil Bupati terlepas dari masalah kepentingan politik, anggota KIP yang terpilih atau hal-hal lainnya, apakah Bupati mau atau tidak melantik KIP Aceh Tengah sebagaimana amanah dalam pasal 17 ayat(4), Qanun Nomor 7 tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum Di Aceh, karena belum ada sampai saat ini Putusan Hakim PTUN Jakarta yang menyatakan Bupati dapat menangguhkan pelantikan KIP Aceh tengah hingga mendapat ketetapan hukum tetap dari Putusan Hakim (incraht) diluar gugatan pokok yang sedang diajukan saat ini sebagai alasan hukum tidak melantik KIP Aceh Tengah. Apabila KIP Aceh Tengah tidak juga dilantik hingga Pileg 9 April 2014 maka dikhawatirkan pemilu nantinya tidak berlangsung secara mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib, kepentingan umum, keterbukaan, proposionaltas, profesionalitas, akuntabilitas, efesiensi dan efektivitas, Jika pelaksanaan Pemilu Legislatif diselenggarakan oleh KIP Aceh Tengah yang anggotanya adalah asli putra daerah  maka akan berbeda kesan kepercayaan yang ditimbulkan dibanding  pelaksana wasit Pesta Demokrasi Aceh Tengah nantinya  beranggotakan bukan asli putra daerah.

*Abza Karanesa, Ketua Devisi Hukum dan Politik Law Community of Gayo(LCG) dan Mahasiswa Fakultas Hukum Syiah Kuala, Banda Aceh

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.