REDELONG – LintasGayo.co: Hujan abu vulkanik akibat erupsi Gunung Sinabung di Tanah Karo, Sumut, menyebabkan berkurangnya produksi hortikultura di kawasan itu, sehingga pasokannya ke Aceh minim. Seiring dengan itu, permintaan hortikultura dari Dataran Tinggi Gayo (Bener Meriah dan Aceh Tengah) justru meningkat. Bukan saja untuk kebutuhan konsumen di Aceh, tapi bahkan dipasok ke Sumut untuk menutupi kekurangan produksi dari sentra-sentra hortikultura di kawasan Sinabung.
Wakil Ketua Asosiasi Pedagang Sayur Bener Meriah (APSBM) dan juga pemilik UD Mahtuah, Simpang Tiga, Bener Meriah, Sabardi, Senin (3/2) mengatakan, sejak aktivitas vulkanis Sinabung meningkat, permintaan sayur dari Bener Meriah oleh pedagang di Banda Aceh, Lhokseumawe, Bireuen, dan Pantonlabu, termasuk Medan, mengalami peningkatan.
“Bila sebelumnya setiap pedagang pengumpul memasok sekitar satu ton sayuran, tapi selama erupsi Sinabung, satu pedagang pengumpul di Bener Meriah, bisa memasok 10 ton aneka sayuran ke beberapa daerah di Aceh dan Medan,” ungkap Sabardi.
Menurutnya, meski permintaan sayuran dari beberapa daerah meningkat, tapi harganya belum begitu naik lantaran produksinya banyak sehingga harganya masih stabil. Hortikultura yang dihasilkan petani Bener Meriah saat ini berupa cabai, kentang, tomat, kol, wortel.
Di sisi lain, meski permintaan dari Medan kini banyak, tapi pedagang di Bener Meriah lebih suka menjual sayuran untuk kebutuhan lokal di Aceh. “Kalau dikirim ke Medan kami kalah di biaya angkut,” ujarnya.
Ia tambahkan, sayur-mayur yang dipasok dari Bener Meriah ke beberapa daerah di Aceh dan Sumatera Utara, setiap harinya bisa mencapai 100 ton. Itu pun dihitung dari jumlah anggota APSBM sebanyak 100 orang yang tersebar di empat kecamatan: Bukit, Bandar, Permata, dan Wih Pesam. “Seratus ton per hari itu merupakan jumlah minimal. Jika satu pedagang mengirim lebih dari tiga ton, bisa mencapai 300 ton per harinya,” ungkap Sabardi.
Sementara itu, Kadis Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Bener Meriah, Ir Rusman mengatakan, erupsi Sinabung di Karo berdampak pada terjadinya perbedaan harga di Bener Meriah. Beberapa jenis hortikultura harganya justru meningkat. “Animo masyarakat juga meningkat untuk menanam hortikultura. Lahan telantar kini mulai diolah lagi untuk ditanam sayuran,” kata Ir Rusman.
Kebun makin luas
Fenomena serupa juga terjadi di Aceh Tengah, sentra hortikultura terbesar di Aceh bersama Bener Meriah. Seiring dengan makin parahnya dampak hujan abu vulkanik di kawasan Sinabung terhadap kebun-kebun rakyat di sana, kini para petani di Aceh Tengah justru semakin terpacu untuk bercocok tanam. Diperkirakan, luas lahan pertanian di Aceh Tengah meningkat dua kali lipat pada tahun 2014, khususnya untuk jenis sayuran.
Informasi itu diperoleh dari sejumlah petani, pedagang, dan Kabid Produksi Dinas Pertanian Aceh Tengah, Busra Aradi MP, Senin (3/2).
Jika sebelumnya hanya sekira 600 ha, kini meningkat dua kali lipat. Hal ini karena sugesti harga jual hasil panen yang tinggi. Dari sisi produksi, pada tahun 2013, jumlah produksi pertanian berbagai jenis hortikultura di Aceh Tengah berjumlah 97.724 kuintal. Jumlah ini diperkirakan meningkat jika cuaca bagus dan produksi maksimal.
Beberapa petani yang dijumpai Serambi di Aceh Tengah kemarin mengaku makin semangat menanam tomat, kol, kentang, cabai, bawang merah, dan lainnya karena dalam tiga bulan terakhir, harga hasil-hasil pertanian cukup menjanjikan bagi petani.
Contohnya tomat, harganya sempat naik jadi Rp 8.000/kg. Sebelum erupsi Sinabung harganya justru cuma Rp 500 hingga 2.500/kg.
“Saya mulai rajin menanam tomat karena saya perhatikan harganya cukup menggiurkan. Saat ini saya manfaatkan lahan kebun kopi yang kosong untuk menanam tomat dan cabai,” kata Aman Has, warga Desa Kelitu, Kecamatan Bintang, Aceh Tengah.
“Dengan meningkatnya luas lahan, petani dan pemerintah harus memperhatikan mutu produksi. Jika tidak, saat over produksi, harga akan anjlok jika hasil tani hanya untuk kebutuhan lokal Aceh. Dengan demikian, petani dan pemerintah harus bekerja sama agar hasil produksi berkualitas ekspor,” kata Busra.
Dari Medan dilaporkan, erupsi panjang Gunung Sinabung sejak September 2013 berdampak langsung pada menurunnya produksi komoditas sayur-mayur. Padahal, Kabupaten Karo selama ini menjadi tulang punggung penyelia komoditas ini untuk Sumut dan Aceh.
Ribuan hektare areal pertanian dipastikan rusak tertimpa abu vulkanik. Seluruh tanaman yang berada di dalam radius 5 kilometer, seperti di Desa Sukameriah, Kutarakyat, dan Berastepu mati dalam kondisi gosong. Warga pun belum berani memulai aktivitas pertanian karena khawatir bibit baru itu bakal menemui nasib serupa.
Saat ini terdapat tiga desa yang tergolong produktif menghasilkan sayur-mayur, yaitu Desa Tiganderket, Desa Kutambaru, dan Desa Tanjungmerawa. Bahkan selama di pengungsian, warga tiga desa yang masuk Kecamatan Tiganderket itu setiap harinya pulang hanya sekadar merawat tanaman. Menjelang sore, mereka kembali ke pengungsian yang memakan waktu tempuh 1 jam menggunakan sepeda motor.
“Ibaratnya kami cuma numpang tidur saja di pengungsian,” lanjutnya.
Adi Guna, warga Tiganderket menambahkan, hampir setiap malam aktivitas pengiriman hasil tanaman selalu dilakukan dari Tiganderket. Namun, mereka mengaku tidak tahu ke mana komoditas seperti bawang, cabai, kol, dan wortel dikirim. Sebab proses pengiriman itu melibatkan banyak pihak, dan dalam kasus ini para petani hanya berurusan dengan tauke (juragan). “Kita kasih sayur sama tauke, dia timbang. Kita tunggulah uangnya setelah dia jumpa agen,” beber Adi.
Kawasan lain yang masih menghasilkan komoditas pertanian ialah Cimbang, Ujungpayung, Rimokayu, dan Batukarang yang masuk bagian Kecamatan Payung. Selanjutnya Jeraya, Pintubesi, Tigapancur di Kecamatan Simpangempat, dan Naman, Kutambelin, Kabayaken, Gungpinto, dan Sukandebi di Kecamatan Namanteran. Seluruh kawasan ini tertolong oleh faktor angin yang tidak condong ke arah permukiman, sehingga tanaman tak terkena langsung abu Sinabung.(c35/gun/mad)
sumber: tribunnews