Oleh Johansyah*
BEBERAPA hari yang lalu, menjelang pergantian tahun 2013 ke 2014, banyak teman yang menulis di status facebooknya, “selamat tahun baru 2014, semoga hari esok kita lebih baik lagi”. Lebih kurang demikian bunyinya. Ungkapan selamat tahun baru tersebut agaknya tidak berkesan lagi ketika ada rencana PT Pertamina menaikkan Elpiji mulai 1 Januari 2014. Ya, bagaimana kondisi kita, dan umumnya rakyat Indonesia bisa lebih baik pada masa mendatang kalau harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan elpiji sering naik?
Sebagaimana ulasan di Compas.com (02/01), yang memberitakan bahwa PT Pertamina (Persero) per 1 Januari 2014 menaikkan harga elpiji nonsubsidi tabung 12 kg sebesar 68 persen. Pertamina memberlakukan harga baru elpiji nonsubsidi 12 kg secara serentak di seluruh Indonesia dengan rata-rata kenaikan di tingkat konsumen sebesar Rp 3.959 per kg. Dengan kenaikan Rp 3.959 per kg tersebut, maka kenaikan harga per tabung elpiji 12 kg mencapai Rp 47.508. Sebelum kenaikan, harga elpiji 12 kg adalah Rp 5.850 per kg atau Rp 70.200 per kg, yang berlaku sejak 2009. Dengan demikian, harga elpiji 12 kg akan menjadi Rp 117.708 per tabung.
Saya yakin, rencana menaikkan harga elpiji ini sangat mengganggu optimisme kita yang mengupayakan hari esok yang lebih baik. Secara tidak langsung pemerintah telah menghadiahi rakyatnya kado kesengsaraan di tahun baru 2014 karena bagaimana pun hal ini berdampak buruk terhadap stabilitas ekonomi rakyat. Jangankan untuk keluarga yang hidupnya pas-pasan, untuk mereka yang tingkat ekonomi menegah saja rasanya sudah berat.
Untuk wilayah seperti Bener Meriah dan Aceh Tengah, tentu harga elpiji bukan lagi Rp. 117.708 per tabung, tapi jauh melambung tinggi karena pengaruh letak wilayah yang jauh di pedalaman. Seperti berita di Lintasgayo.co (04/02), bahwa harga gas 12 kg dua hari terakhir di seputar Bener Meriah tiba-tiba melambung tinggi, yakni menjadi Rp160.000 per tabung. Padahal sebelumnya hanya Rp.110.000 per tabung. Hal ini jelas menjadi beban baru bagi rakyat.
Apapun alasan menaikkan harga elpiji, pasti rakyatlah yang selalu menanggung deritanya. Apakah kita pernah melihat bagaimana seekor rusa dikepung oleh kawanan singa? Sang rusa tidak dapat melakukan perlawanan dan membiarkan dirinya disantap oleh kawanan singa dengan buas dan sadis. Alasan kawanan singa ini hanya satu, bahwa mereka lapar dan butuh santapan untuk mengenyangkan perut mereka. Seperti itulah nasib rakyat, bagaikan rusa yang dimangsa oleh singa. Mereka lemah, tidak berdaya, dan tidak dapat melakukan perlawanan.
Bagi mereka yang berprofesi sebagai pebisnis atau pedagang, mungkin tidak terlalu ambil pusing dengan kenaikan harga elpiji ini, sebab mereka tinggal menaikkan harga dagangannya sehingga tidak merugi. Misalkan saja tukang jual nasi di warung atau cafee, jika selama ini mereka menjual nasi seharga Rp. 10.000, maka tinggal menaikkannya menjadi Rp. 15.000, atau mungkin lebih dari itu.
Sementara bagi mereka yang berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) biasa, hal ini kurang berdampak baik. Gaji yang dinaikkan pemerintah beberapa persen pada waktu yang lalu ternyata seperti doping, hanya dapat menenangkan sesaat, tetapi setelah itu pikiran orang kacau kembali. Kenaikan gaji sungguh tidak sebanding dengan kenaikan semua harga barang. Maka tidak berlebihan jika banyak yang mengatakan bahwa naik gaji sia-sia, kerana yang banyak hanya nominal sementara nilainya tidak ada. Bukan berarti para PNS tidak bersukur, tapi memang demikian kenyataannya.
Lalu bagaimana dengan keluarga yang tidak punya penghasilan tetap? Bagaimana dengan mereka yang hanya menggantungkan hidup dari pekerjaan sebagai kuli, buruh kasar bangunan, atau petani dan nelayan yang berpenghasilan pas-pasan? Yang jelas, mereka inilah yang banyak menjadi korban. Lalu sampai kapan ini akan terus terjadi? Ya, selama penguasa kita bermental seperti saat ini, maka selama itu pulalah kondisi ini kita alami.
Bencana susulan
Bagi masyarakat di Gayo, kenaikan harga elpiji bisa dikatakan bencana susulan, karena pada pada pertengahan 2013 lalu Gayo diguncang oleh gempa yang mengakibatkan orang-orang kehilangan harta bendanya, bahkan beberapa nyawa melayang. Sebelumnya peristiwa gempa, pemerintah telah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang berimbas pada kenaikan semua harga barang. Nasib rakyat sekarang seperti ungkapan pribahasa; “sudah jatuh ketimpa tangga”.
Dalam kondisi seperti ini, siapa yang peduli terhadap nasib rakyat? Apakah Pemerintah? Memang, tetapi itu kebanyakan hanya sebatas lisan. Presiden, menteri, dan semua pejabat negara selalu berbicara pembangunan dan kesejahteraan. Namun dalam kenyataannya itu semua sulit dibuktikan. Masih jauh panggang dari api.
Atau para wakil rakyat kita di legislatif? Mungkin, tetapi jujur saja, berapa orang dari wakil rakyat kita yang merasakan kegetiran dan penderitaan rakyat dan berapa banyak dari mereka yang memperjuangkan secara serius hak-hak rakyat? Terkadang kita takut juga menyalahkan mereka, karena wakil yang duduk di legislatif sebenarnya adalah wakil partai, bukan wakil rakyat. Mereka dicalonkan partainya bukan dicalonkan oleh rakyat.
Mencari solusi
Jika pemerintah dan wakil rakyat di daerah ini memang peduli dengan nasib rakyatnya, maka kita berharap kepada mereka agar dapat mencari solusi yang membelit rakyat saat ini. Apapun ceritanya sudah terlanjur basah, elpiji dan harga barang semuanya naik. Berharap akan adanya upaya pemerintah pusat untuk menurunkan kembali harga elpiji dan harga barang, rasanya sebuah langkah yang sia-sia. Turun ke jalan menuntut pemerintah pusat agar membuat kebijakan baru terkait hal ini rasanya juga tidak berguna. Hanya suara yang parau.
Maka untuk itu, dalam mengatasi persoalan sosial yang membelit masyarakat, khususnya di Gayo, agar pemerintah daerah mengupayakan secara serius dan kontinyu supaya harga kopi Gayo bisa stabil dan terus mengalami kenaikan sehingga kesulitan masyarakat di bidang ekonomi sedikit teratasi. Selama ini, petani kopi kita belum bisa menggantungkan hidup sepenuhnya dan berharap banyak pada tanaman kopi dikarenakan harganya yang sering anjlok. Harga kopi anjlok biasanya lebih lama dari pada naiknya. Begitulah kenyataan selama ini.
Akhirnya, kesejahteraan rakyat di negeri ini masih omong kosong, ornamen kalimat para calon pemimpin yang mengincar kursi kekuasaan, atau mungkin penghias bibir para calon wakil rakyat yang ingin ‘berteduh’ di dewan. Kesejahteraan rakyah hanyalah utopia, sebuah mimpi yang sulit diwujudkan. Semoga para pemimpin dan wakil rakyat (partai) kita merasa resah dengan kondisi rakyat sekarang ini dan mau melakukan tindakan nyata.
*Warga Lampahan, Bener Meriah. Email: Johan.arka@yahoo.co.id





