Oleh : Zuliana Ibrahim
Seperti wajahmu Bar, aku diliput gemetar waktu yang menusuk-nusuk debar jantung. Sketsa yang kau kirim, persis! Itu adalah kau, namun keraguanku tak membatas. Ada yang aneh, sangat aneh.
***
Berkali-kali senada dengan kecemasanku, langit membelah di halaman rumah. Lagi, tak ada yang berani memulai pembicaraan tentang –yang kuanggap- kedekatan kita. Aku selayak dedaun yang tinggal menunggu gugur. Haus kabar dari derit pintu, jadi tunggu. Masihkah kau ingat aku, Bar?
Bar, aku seperti mencari matahari di kepala langit. Aku tawarkan rindu sekejap, namun kau tepis tak berkesudahan. Kembali aku pulang membawa kabar, acuh tak acuh kau masih diam seribu bahasa. Aku yakin, sangat yakin itu kau!
Pagi dengan kicau sahut-sahutan, kini lelaki itu sudah ada di hadapanku. Ia tak menegur, sama sekali! Aku tak mau pula menyapa duluan, selagi aku menerka biarlah kita bersedikap diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Pernahkah kau kenal gadis berparas buah pir?” Suatu ketika, aku memberanikan diri menyambangimu. Kau tersenyum, hanya sekilas. Aku menunggu jawab, namun kau kembali hanya diam.
“Diam bukan jawab yang kuinginkan!” aku protes. Benar-benar kau buatku haus jawab.
“Mohon, beri kejelasan padaku! setidaknya aku merasa pernah mengenalmu.” Aku mengiba, beberapa saat menunggu desah nafasmu, berharap kau lafalkan sebuah kalimat. Tik-tok! Lantas kesalku bertubi, aku pun memutuskan pergi.
***
Ini minggu ke empat, ketika kau menetapi rumah yang berjarak sekitar sepuluh meter dari rumahku. Aku ingin saja mengelak untuk tidak bertemu denganmu, namun jalan depan rumahmu adalah satu-satunya jalan yang bisa kulalui untuk berangkat ke kantor. Ah, sungguh Bar! Ini buatku harus semakin menjadi-jadi mencari tahu tentangmu.
Sekitar beberapa bulan lalu, tepatnya bulan Juni. Bar, itu lah nama yang kau perkenalkan padaku. katamu, “Itu panggilanku.” Perkenalan kita yang berawal dari tanpa kesengajaan, bersapa lewat pesan singkat. Bersebab kesalahanku suatu ketika keliru menekan salah satu nomor yang sebenarnya ingin kutuju. Sejak itu, entah mengapa kita menemu akrab. Saling mengirim pesan singkat, terus berlanjut kita lakukan hingga seakan-akan antara kita telah lama mengenal. Namun anehnya, kala kutelepon kau selalu tak pernah ingin menerimanya. Bar! Pesan singkat darimu sungguh masih sangat kutunggu. Aku yakin, kau adalah pemuda yang baik.
Berawal dari rasa penasaranku tentangmu. Suatu pagi, aku kirimkan pesan singkat ke nomor telepon genggammu. Aku ingin bertemu! Kutunggu balasan darimu, menit ke menit hingga jam ke jam. Tak habis pikirku, hingga beberapa kali kukirimkan pesan yang sama. Berhari-hari pula aku menunggu balasan darimu, tak jua hadir.
Balaslah pesan singkatku!
Kau sedang apa?
Apa kabarmu?
Pesan-pesanku menggantung di daun jendela, di langit-langit biru, di gundukan batu, di sepi waktu. Terdiam.
* * *
Pagi yang kesekian, begitu gigil. Belum ada, tanda-tanda darimu untuk menyapa. Sama halnya denganku, tak lagi berbasa-basi untuk hanya sekadar memastikan bahwa sebenarnya kau adalah Bar, lelaki yang selama ini merupakan orang terbaik bagiku. Seperti biasa, aku melewati rumahmu, berangkat kerja. Sosok itu ternyata sedang duduk pula dengan hidangan teh di hadapannya. Kau tersenyum padaku! Seperti ingin menghentikan langkahku. Aku hampir terpedaya, namun kuputuskan untuk terus melajukan kendaraan roda duaku.
Sungguh Bar, kesan itu pun membayang saja di benakku. Apa maksud senyumanmu? Apakah kau sudah mengakui keberadaanku sebagai gadis berparas buah pir? Atau senyum itu pun hanya sekadar sapa bahwa aku adalah tetanggamu? Bagaimana aku bisa mencari tahu, Bar? Sedang beberapa kali kuajak kau berbicara, kau tak pernah membalas kata-kata atau pertanyaanku. Begitu pula sebaliknya kuminta nomor telepon terbarumu, kau hanya tawarkan senyum sekenanya. Konon ketika aku ingin menginjak pintu rumahmu, kau selalu terlebih dahulu memalingkan wajah di depan pintu. Maka, entah mengapa pagi ini. Senyum itu? Senyum yang kau tawarkan. Adakah ia sebuah petanda?
Pagi-pagi selanjutnya, kau tak pernah lagi tampak. Padahal aku begitu ingin sekali bertemu. Sketsa itu! Ya, sketsa yang sempat hilang ketika aku pindah rumah. Kini telah kutemui, aku ingin menanyaimu perihal sketsa itu.
Seperti wajahmu Bar, aku diliput gemetar waktu yang menusuk-nusuk debar jantung. Sketsa yang kau kirim, persis! Itu adalah kau, namun keraguanku tak membatas. Ada yang aneh, sangat aneh. Kau tak tahu, selama ini. Sketsa yang kau kirimkanlah sebagai senjataku, untuk memastikan bahwa kau adalah Bar. Lelaki yang sangat ingin kutatap wajahnya langsung, lebih dekat.
Aku menemukan sketsamu, sketsa yang kau kirim.
Di mana kau sekarang?
Kumohon, balaslah pesanku ini. Aku hampir putus asa, sama dengan sebelumnya kau tak pernah membalas pesanku.
Itu, bukan aku. Itu kekasihku. Di mana lelaki itu sekarang?
Tolong segera beritahu aku, terima kasih (Ambar).
Sebuah pesan, masuk ke telepon genggamku.
KOMPAK Gayo, Desember 2013
.
Zuliana Ibrahim, beberapa karyanya berupa puisi dan cerpen terbit di harian Medan Bisnis, Analisa, Mimbar Umum, Serambi Indonesia, Sinar Harapan, Majalah teropong UMSU dan Majalah LPM Dinamika IAIN. Selain itu, juga terangkum dalam beberapa sejumlah buku antologi. Merupakan dewan ahli di Komunitas Penulis Anak Kampus (KOMPAK) Sumatera Utara.