Yusradi Usman al-Gayoni*
“Tiga bulan” menjelang pelaksanaan pemilu legislatif (pileg), politik uang (money politics) atau politik materi semakin menguat di Takengon, Kabupaten Aceh Tengah. Misalnya, dengan memberikan uang, mulai 50 ribu sampai 200 ribu per kepala. Kemungkinan, ada yang lebih. Juga, ada yang dalam bentuk materi. Sebagai contoh, pemberian telur ayam untuk kue lembaran, pupuk, mulsa, jilbab, piring, payung, seragam pengajian buat ibu-ibu di kampung-kampung, dan lain-lain. Pemberian itu bertujuan untuk menyogok masyarakat. Dengan harapan, mendapat simpati dan bakal dipilih masyarakat.
Agen Caleg
“Pesta demokrasi” di seluruh wilayah Indonesia, dan juga di Takengon turut menyumbang pemasukan bagi banyak pihak, seperti konsultan/marketer politik dan pihak percetakan. Termasuk, bagi “agen-agen caleg.” Caranya, ada yang langsung, dengan menawarkan jasa ke calon anggota legislatif (caleg) yang maju. Agen-agen inilah nantinya yang menjadi perantara dalam penyaluran uang atau materi dari caleg tersebut.
Cara kedua, langsung ditunjuk/bentuk caleg yang bersangkutan baik dari keluarga maupun nonkeluarga. Syarat utama, harus mendapat kepercayaan dan bisa memegang rahasia supaya tidak tercium penyelenggara pemilu di Takengon: Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh Tengah dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Aceh Tengah. Apalagi, sampai tertangkap tangan oleh Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Aceh Tengah. Kalau sampai ketahuan, ‘bisa gawat,’ bisa-bisa didiskualifikasi.
Hukum
Apakah pemberian money politics “penyogokan” itu dibenarkan? Dilihat dari sudut pandang apa pun, politik uang/materi jelas melanggar peraturan. Dalam Pasal 32 Ayat 1 huruf j PP KPU No 15/2013, misalnya, mengatur larangan pelaksana, peserta, dan petugas untuk menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampaye. Jelas, money politics sudah masuk ranah pidana.
Selanjutnya, dari sisi agama pun demikian. Baik yang memberi, memfasilitasi maupun yang menerima, sama hukumnya. Di dalam Al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui [Al-Baqarah : 188]
Dalam ,menafsirkan ayat di atas, al Haitsami rahimahullah berkata : “Janganlah kalian ulurkan kepada hakim pemberian kalian, yaitu dengan cara mengambil muka dan menyuap mereka, dengan harapan mereka akan memberikan hak orang lain kepada kalian, sedangkan kalian mngetahui hal itu tidak halal bagi kalian”.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِن تَوَلَّيْتُمْ أَن تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَىٰ أَبْصَارَهُمْ
Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan. Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah don ditulikanNya telinga mereka dan dibutakanNya penglihatan mereka [Muhammad : 22-23]
Abul ‘Aliyah rahimahullah berkata, “Membuat kerusakan di permukaan bumi dengan suap dan sogok.”[7]. Dalam mensifati orang-orang Yahudi, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ
Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. [Al-Maidah : 42]
Tentang ayat ini, Hasan dan Said bin Jubair rahimahullah menyebutkan di dalam tafsirnya, bahwa yang dimaksud adalah pemakan uang suap, dan beliau berkata: “Jika seorang Qodi (hakim) menerima suap, tentu akan membawanya kepada kekufuran”
Sedangkan dari Sunnah.
عَنْ عُمَر عَبْدِ اللهِ بْنِ قاَلَ : لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ الرَاشِى، وُاْلمُرْتَشَىِ
Dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhu , ia berkata : “Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melaknat yang memberi suap dan yang menerima suap”.[HR At-Tirmidzi, 1/250; Ibnu Majah, 2313 dan Hakim, 4/102-103; dan Ahmad 2/164,190. Syaikh Al-Albani berkata,”Shahih.” Lihat Irwa’ Ghalil 8/244]
Dalam riwayat Tsauban, terdapat tambahan hadits: “Arroisy” (…dan perantara transaksi suap)”. [HR Ahmad, 5/279 dalam sanadnya ada Laits bin Abi Salim, hafalannya bercampur, dan Syaikhnya, Abul Khattab majhul]
Hadits ini menunjukkan, bahwa suap termasuk dosa besar, karena ancamannya adalah Laknat. Yaitu terjauhkan dari rahmat Allah. Al Haitsami rahimahullah memasukkan suap kepada dosa besar yang ke-32.
Sedangkan menurut Ijma’, telah tenjadi kesepakatan umat tentang haramnya suap secara global, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qudamah, Ibnul Atsir, Shan’ani rahimahullah (sumber: http://almanhaj.or.id/content/2283/slash/0/hukum-seputar-suap-dan-hadiah/, diakses 26/12/2013)
Selain itu, dari sisi sosial-budaya. Dalam masyarakat Gayo, terdapat budaya kemel (malu). Nilai malu inilah yang “tidak ada lagi.” Terutama, oleh partai politik atau caleg yang melakukan tindak penyuapan masyarakat tadi. Dalam kaitan itu, caleg yang maju tidak memberikan ketauladanan yang baik (gere mu kemel). Malah, cenderung membodoh-bodohi masyarakat.
Menghinakan Masyarakat
Padahal, kalau dihitung-hitung, berapa lah nilai “kekuatan” uang 200 ribu selama lima tahun? Tidak lebih dari Rp. 108 (100 ribu= Rp. 54). Itulah nilai yang dihargai caleg. Lantas, dimanakah harga diri masyarakat? Lalu, layak kah caleg-caleg seperti itu dipilih? Apalagi, jilbab atau baju pengajian. Bila dibeli kodian di Pasar Sambu Medan atau Pusat Perbelanjaan Tanah Abang Jakarta, nilainya kurang dari 200 ribu. Jadi, lebih rendah “hina” lagi. Dengan kata lain, caleg-caleg pemoney politics sudah merendahkan harga diri “menghinakan” masyarakat.
Yang jadi pertanyaan, dari mana kah sumber uang tersebut? Bisa saja, dari dana aspirasi (khususnya, petahana—anggota dewan yang masih aktif). Katakanlah, 800 juta sampai 1 milyar per anggota dewan selama setahun. Berarti, ada 4-5 milyar selama lima tahun. Kemungkinan besar, hasrat untuk mendapatkan dana aspirasi ini pula yang mendorong caleg untuk ‘berbondong-bondong’ nyaleg (soal etika, moral, kemampuan, dan kualitas, tidak penting).
Jikalau benar dari dana aspirasi, anggota dewan sama halnya mengembalikan hak masyarakat yang selama ini—lima tahun menjabat—“tidak pernah” diberikan. Pasalnya, tidak ada keterbukaan kepada masyarakat (konstituen); berapa dana yang diterima, berapa/dalam bentuk fisik apa, dan kemana diperuntukkan? Ketidakterbukaan itu disebabkan karena, mereka (anggota dewan) harus mengembalikan modal politik pada pileg sebelumnya. Saat yang bersamaan, bisa mengayakan diri. Juga, berbagi ke partai politik, kerabat, tim sukses, dan ‘agen’ tadi.
Pengembaliannya, macam-macam. Seperti dijelaskan, bisa dalam bentuk uang atau materi. Lantas, bagaimana dengan caleg pendatang baru? Kalau dana kampayenya dinilai tidak wajar; tinggal, melihat latar belakang caleg. Berapa penghasilan mereka per bulan? Bagaimana perekonomian mereka selama ini? Apa wajar demikian? Apakah mereka dekat dengan kekuasaan atau tidak? Bahkan, siapa pendukung di belakangan mereka (pejabat, pengusaha, birokrat, tokoh masyarakat atau “preman sipil’ yang bermodal)?
Kalau 200 ribu dikali 2000 orang saja yang “dibeli” suaranya, sudah 400 juta. Jika nilai yang dibeli lebih besar, jumlahnya pastinya lebih banyak. Belum lagi, buat pulus ke partai, tes kesehatan, atribut, operasional di lapangan, dan lain-lain. Barangkali, kalau ditaksir bisa mencapai 800 juta. Bahkan, 1-2 milyar. Lagi-lagi, wajar kah pengeluaran dengan nilai seperti itu? Lebih-lebih, buat caleg yang maju di tingkat kabupaten (bukan ke propinsi atau pusat).
“Besitegahen”
Namun, masalah klasik “money politics” ini harus diberantas. Sayangnya, demokrasi di Indonesia berkembang saat masyarakatnya “masih lapar.” Tak heran, kalau pemilih uang atau materi menempati urutan pertama (baru pemilih keluarga dan pemilih cerdas). Kesempatan ini—money politics—tidak dilewatkan pula oleh caleg-caleg yang bermoney politics. Karena, keterpilihan dan duduknya mereka ke dewan (parlemen) hanya dengan mengandalkan kekuatan uang atau materi, dan “dekat atau berafilisasi dengan kekuasaan.” Lagi-lagi, terkait etika, moral, kemampuan, dan kualitas, urusan belakangan.
Oleh karena itu, upaya menghapuskan atau minimal mengurangi money politics ini jadi tanggung jawab semua pihak yang ada di Takengon. Mulai dari partai politik, caleg itu sendiri untuk tidak bermoney politics, muspida plus (bupati/wakil bupati, ketua DPRD, kapolres, dandim, kepala kejaksaan, dan kepala pengadilan), akademisi, tengku (Majelis Permusyawaratan Ulama), pers, mahasiswa, dan “lembaga swadaya masyarakat (LSM).” Lebih khusus lagi, penyelenggara pemilu, yaitu Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh Tengah dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Aceh Tengah.
Tentu, persoalan money politics ini jadi ujian sekaligus tantangan berat bagi penyelenggara pemilu. Soalnya, anggota dewan (+kepala daerah—bupati/wakil bupati) yang jujur, bersih, mampu, amanah, dan berkualitas tidak terlepas dari andil penyelenggara pemilu. Dengan demikian, diperlukan pula penyelenggara pemilu yang jujur, bersih, adil, fair, dan terbuka (selain penentu akhir ada di masyarakat). Yang jadi soal, seberapa besar will dari penyelenggara pemilu di Takengon untuk membersihkan caleg-caleg pemoney politics dan menggerakan masyarakat untuk menolak money politics (+tidak memilih caleg pemoney politics)?
*Penggagas Jaringan Masyarakat Pemilih Cerdas