Do’a untuk Ibu

oleh

Oleh. Drs. Jamhuri Ungel,  MA

ibu3Selamah Binti Zainal Abidin, itulah nama ibu kami kini beliau tinggal di Desa Blang Ara kabupaten Bener Meriah, tiidak tau kapan ia lahir, karena ia hanya memberi isyarat kepada kami bahwa ia sudah ingat bagaimana keberadaan  jepang di Indonesia, ia juga selalu bercerita tentang kesusahannya ketika di awal kemerdekaan, karena setelah kemerdekaan pergerakan berlanjut dengan pergolakan-pergolakan yang silih beranti, namun beliau selalu bilang kepada kami sebagai anak-anak untuk keluar dari semua pengalaman yang dihadapinya.

Beliau juga tidak pernah bercerita kepada kami tentang kapan ia menikah dengan almarhum bapak yang telah meniggal pada tahun 2000, kami hanya tau bahwa bapak berasal dari kampung kenawat (Takengon) dan beliau sendiri berasal dari Gunung Teritit yang mempunyai silsilah jalur ibu dari Gunun Kebayakan dan bapak (alik) dari Rikit Gaib Belang Kejeren.

Ibu kami punya anak lima orang, empat orang sempat mengecap pendidikan di Perguruan Tinggi,  yang kuliah sampai selesai dua orang dan dua lagi harus putus di tengah jalan karena alasan ekonomi, sedang yang nomor dua hanya tamatan PGAN. Kendati tidak semua sempat selesai kuliah, anak-anak tidak pernah menyalahkan beliau karena semua anak-anaknya tau bahwa beliau tidak pernah berhenti untuk berusaha.

Berbeda dengan bapak (alm) yang pernah mengecam pendidikan sampai tamat Sekolah Pertanian (STM), beliau tidak pernah menyebut bahwa ia tamat sekolah, tetapi yang jelas beliau sering bercerita bagaimana ia ketika sekolah di SR dengan guru-guru yang sangat tegas dalam mengajar setiap mata pelajaran, beliau sangat cerdas dalam mata pelajaran berhitung (matematika) sebab pernah sekali ketika menjual kopi dalam jumlah yang lumayan banyak, si toke menghitung dengan menggunakan kalkulator dan ia dengan mengandalkan kekuatan hafalannya menghitung harga dan terbukti hasil pengetahuannya lebih akurat.

Ibu mempunyai dua orang saudara laki-laki, abangnya yang tertua Aman Abu dan adiknya Aman Suar. Kami tidak hafal betul siapa nama keduanya karena merupakan adat di dalam masyarakat Gayo yang tidak layak menanyakan siapa nama orang tua, kami hanya memaggilnya denga panggilan Pun Abu dan Pun Suar (panggilan untuk saudara ibu), Kedua Pun ini menjadi inspirasi besar bagi saya betapa tidak, karena keduanya tidak bisa membaca al-Qur’an (mengaji) tapi ibadahnya sangat rajin, bacaan dalam salat dan bacaan-bacaan di luar salat bersumber dari pengetahuan yang didengar dari orang lain ketida menjadi makmum di belakang orang lain, tetapi ketika hal ini saya pelajarai sehingga menyadarkan saya bahwa al-Qur’an itu pada mulanya tidaklah berbentuk tulisan tetapi dalam bentuk hafalan.

Ketika sedang bekerja di kebun dan di sawah beliau selalu memberi motivasi kepada kami sebagai anak-anaknya untuk belajar yang rajin, karena hidup bertani sebagaimana yang mereka lakoni tidak enak dan tidak mudah, lebih banyak tenaga yang dikeluarkan dari pada hasil yang didapat. Karenanya beliau rela menjual harta yang diwarisi dari orang tuanya untuk menyekolahkan anak-anaknya dan tidak cukup dengan itu beliau rela bekerja di kebun orang untuk mencari uang demi menyekolahkan kami, alhamdulillah hasilnya ada walaupun tidak maksimal sebagaimana kami sebutkan bahwa semua anaknya sampai tamat SLTA semuanya malah dua orang sampai sarjana.

Entah karena terlalu keras dan lelah perjalanan hidupnya kini beliau tidak lagi sanggup berjalan bahkan merangkak, bahkan sekarang beliau hanya bisa tidur dan duduk kalau ada yang membantunya. Sudah setahun juga ia tidak sanggup mengeluarkan suara dan kalau berbicara suaranya sangat kecil dan sulit untuk didengar.

Melalui peringatan hari ibu ini kami sebutkan salah satu firman Allah “Wa qul Rabbi ar-hamhuma kama Rabbayani shaghira” dan do’a “Allahummaghfirli waliwalidayya warhamhuma kama rabbayani shaghira

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.