Sutan Takdir Alisyahbana Khawatir terhadap Seniman Individualistis

oleh

Seniman dan Kesenian (habis)

Oleh :  SN Ahmad Kamal Abdullah*

Ahmad Kamal AbdullahSUTAN Takdir Alisyahbana merasa khawatir bahwa seniman atau sasterawan yang asyik menegakkan seni individualistisnya, seni kerana seni semata akan tersisih daripada kelompok kemanusiaan. Ini berbahaya “si seniman (akan) kehilangan tempatnya dalam alam semesta mahupun dalam masyarakat manusia yang lebih luas, sehingga hidupnya menjadi permaianan perasaan dan fantasinya belaka.”

Begitu juga dia mengkritik situasi seni dalam rejim komunisme yang totaliter kaum seniman akan kehilangan peribadinya, kehilangan kesungguhannya, kehilangan  kejujuran dan kespontanannya.    Hasil seni akan menjadi propaganda dan hilang nilai seninya.

Tapi seniman modern juga tak kurang kontradiksinya, dia juga ada kecewnderungan menolak isi atau perutusan mesejnya, idealisme,  lenyap tanggungjawab terhadap masyarakat dan kebudayaan, kerana semuanya itu disebut propaganda belaka.

Kekecilan yang timbul ialah kerana berlakunya imitasi, tidak berfikir, tiada imaginasi, pada seniman yang sebenarnya adalah bergabungnya perasaan, imaginasi, renungan, pemikiran dan kepercayaan berpadu  dalam ekspresi sehingga kepercayaan dan pikiran itu terangkat menjadi sebuah kesekhayalnian yang bernilai.

Ada sesuatu yang salah apabila seorang individualis itu atau seniman itu menyangka bahawa dirinya itu peribadi yang besar dan terlepas dari gerak masyarakat dan kebudayaan di sekitarnya. Takdir Alisyahbana mengutip Daniel Bell:

Seperti kelihatan kepada kita 100 tahun terakhir ini  kita menyaksikan suatu usaha oleh kebudayaan anti-borjuis untuk mencapai autonomi dari struktur masyarakat, pertama dengan mengingkari nilai-nilai burjuis di lapangan seni dan kedua dengan memisahkan tempat-tempat di mana kaum bohemia dan avant garde dapat hidup dengan gaya menentang hidup.

Pada waktu pertukaran abad golongan avant garde berhasil menciptakan lapangan hidup mereka sendiri dan dalam tahun 1910-1930 mereka menyerang kehidupan tradisi.  Dalam kedua ajaran dan gaya hidup itu sikap anti-burjui menang.  Kemenangan ini berarti bahwa dalam kebudayaan berkuasa antirasio dan sikap anti-kelembagaan.

Dalam lapangan seni pada tingkat teori estetik hanya sedikitlah orang yang menentang experimen yang tidak berhingga, tentang kebebasan yang tidak terbatas, tentang kepekaan perasaan yang tidak ditahan-tahan, akan rangsangan meraa diri lebih berharga dari ketertiban dan aturan, akan khayal   yang imun terhadap kritik yang hanya berifat rasio.

Taklah ada lagi avant garde sebab dalam kebudayaan postmodern ini tak seorang pun memihak kepada ketertiban dan aturan atau tradisi. Yang ada hanya satu keinginan untuk yang baru dan kebosanan dengan yang lama dan yang baru.”  (Takdir  1985:135).

Sudah pastilah jalan tengah harus dicari, nilai-nilai estetik, pertanggungjawaban kesenian dan cipta seni atau cipta sastera kepada pengarang, sasterawan dan seniman pada setiap zaman adalah kepada keseniannya dan juga terhadap zaman dan sejarahnya.

Mesej atau isi tetap penting untuk kemanusiaan.  Sang sasterawan atau seniman takmungkin tinggal di gua-gua purba dengan kesombongan, seninya harus dimanfaat oleh masyarakat tetapi asal saja khalayaknya jangan sampai membrondong harkat kesenimanannya.

Dia mempunyai bakat dan dunia yang dianugerahi Tuhan.  Dan sudah  pastilah jangan sampai dia kehilangan wajah dan peribadinya sebagai sasterawan, pegarang atau seniman hingga karyanya bukan lagi sebuah seni tapi berubah menjadi propaganda murahan!***

*Guru Besar di University Putra Malaysia (UPM), alumnus Universitas Iowa USA. Saat ini tinggal di Singapura dan menjabat sebagai Presiden Nusantara Melayu Raya (NUMERA).

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.