Pandangan A. Teeuw Terhadap Kesenian

oleh

Seniman dan Kesenian (bag.2)

Oleh :  SN Ahmad Kamal Abdullah*

Ahmad Kamal AbdullahBAGI A. Teeuw kesusasteraan boleh didekai dari sudut Seni Bahasa dan  Keseniannya. Dari situlah dapat dilihat pertentangannya dengan aspek seni yang lain.    Ilmu Sastera dapat membawa kita mendekati ilmu seni  (estetik).  Bahasa sebelum digunakan seniman sudah membentuk sistem tanda dengan sistem makna yang mendasari ciptaan seniman.

Begitu juga peneliti sastera dihadapkan kepada masalah kebahasaan sebagai dasar  penelitian karya atau system  sastera. Bahasa bagi Lotman adalah system primer yang membentuk model sebagai dasar bagi sastera sebagai sistem skunder bagi  membentuk model pula.

Pendekatan semiotik  adalah dasar yang baik bagi mendekati seni estetik dalam karya sastera.  Di Barat masalah estetik sama tua usianya dengan masalah falsafah.  Plato dalam falsafahnya banyak membicarakan persoalan estetik.

Dunia Ilahi menurut Plato tidak dapat dijangkau oleh akal manusia.   Ahli falsafah mungkin mencapai dunia idea-idea yang indah itu.  Seniman masih terikat kepada dunia nyata yang dikatakan sebagai “sangat rendah nilainya” menurut Plato.  Tapi dia sedar seni ada hubungannya dengan hakikat benda-benda.

Tapi dia yakin bahwa “Seni sejati berusaha mengatasi dunia kenyataan: dalam baying-bayanag yang hina diusahakannya nenyarankan sesuatu dari dunia yang lebih tinggi, yang juga terbayang dalam kenyataan fenomena. Dalam seni sejati kemiripan tidak mengacu kepada kenyataan sehari-hari, melainkan kepada keindahan ideal.”

Jausz menulis tentang Keindahan Estetik  dalam bukunya berjudul Aesthetische Erfahrung und literarsiche Hermeneutik (1977a). Seni estetik dilihat dari sudut persatuan mutlak yang benar, baik dan indah  dengan konsekuen pengabdian seni kepada falsafah teologi dan etik.  Yang baik dan benar sahaja bersifat indah.   Yang bercanggah tak mungkin menejadi indah. Ciri lain ialah imitatio (naturae) meneladani alam ciptaan Tuhan.

Seniman abad pertengahan menteladani The Great Model  (Lewis)  sebagai bahan yang tak kunjung habis.  Charles Baudelaire mencipta puisi Les Fleurs du Mal:  Bunga Seni (keindahan) yang tumbuh daripada kejahatan.

Alam dalam karya penyair, alam yang buruk dan jahat. Seninya bukan sebagai penyuluh bagi umat manusia atau mempunyai tanggungjawab kepada masyarakatnya.  Dia mencipta puisi kerana puisi itu sendiri. Yang timbul adalah tragic kehidupan manusia itu sendiri.  Adorno seniman lain menyatakan bahwa masyarakat  liberal-borjuis, yang alinasi, tersisih  tak mungkin melahirkan seni estetik dia yakin bahwa “jurang antara kenyataan social diukur kepada  sejauh mana kekuatan negativity dalam karya”. Dia menulis  Aesthetik der Negativitat.  

A.Teeuw mengutip kajian V.I. Braginsky tiga aspek tentang  Keindahan Melayu:  aspek ontologis: keindahan puisi sebagai bayangan kebesaran Tuhan, Keindahan Mutlak Tuhan (al-Jamal, Yang Maha Elok) terbayang kepada keindahan dunia (husn=indah), hal ini terkesan pada karya seni dan sastera.

Wujudnya kata-kata imanen yang indah  seperti kata-kata ajaib, gharib, temasya pada alam dan ciptaan manusia.   Konsep indah Melayu juga berkaitan pada efeknya: aspek psikologis (pragmatic), efek kepada pembaca yang hairan, berahi, leka, lupa, hilang peribadi kerana mabuk, dimabuk warna, keanekaragaman seperti dalam penglipur lara.

Dengan begitu kata A.Teeuw dekat dengan teori estetik Arab, masih bergantung kepada pergantungan kepada Tuhan yakni katanya sama kedudukannya dengan dalam Abad Pertengahan di Barat.

Zoetmulder  (1974) dalam Religio Poetae selepas meniliti puluhan teks kakawin (puisi epik Jawa kuno)  mencapai kesimpulan bahwa puisi bagi sang penyair (kawi) adalah semacam yoga: sang penyair itu sendiri adalah yogin (pelaku yoga, latihan rohani).

Yoga satu usaha untuk menyatu dengan sang dewa bagi mencapai moksa,  pelepasan, pembebasan akhir daripada rantai eksistensi dan juga pengabdian (tapa, puasa, talaah, brata, samadi, sajian; puisi menjadi perantara antara sang kawi dengan Dewanya.   Keindahan menjadi kalangwan, jalan atau tarekat bagi mencapai tujuan itu.    Pada tempat yang lain puisi itu disebut candi, sebagai wadah  (yantra) tempat  pertemuan  antara penyair dengan Tuhannya. Bersambung…

*Guru Besar di University Putra Malaysia (UPM), alumnus Universitas Iowa USA. Saat ini tinggal di Singapura dan menjabat sebagai Presiden Nusantara Melayu Raya (Numera).

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.