
Ismi Niara Bina,M.Psi, Psikolog
KALAU boleh jujur dan objektif, perilaku dan pola pikir masyarakat Gayo dalam keseharian masih jauh dari teladan para pahlawan bangsa ini. Pengorbanan pahlawan bukanlah sekedar kepentingan pribadi dan golongan, tetapi juga nyawa. Berbeda dengan keadaan sekarang yang kerapkali mengorbankan kepentingan orang banyak demi kepentingan memenuhi ego pribadi.
Pahlawan bangsa ini yang telah mendahului kita adalah cermin bagi orang-orang yang memiliki cita-cita dan visi yang melampaui masanya, mereka meyakini bahwa kemerdekaan bangsa patut diperjuangkan meski nyawa sebagai taruhannya, itu patriotisme sejati.
Berbeda dengan semangat sekarang ini, bila diingatkan tentang pentingnya sikap patriotisme itu, seringkali orang memberi argumen kalau situasi adalah masa lampau berbeda dengan situasi saat ini. Kita tidak lagi berperang melawan penjajahan. Kita seolah-olah lupa penjajahan bukan hanya penindasan secara kasat mata, kita terlena dan tidak menyadari bahwa penjajahan bisa juga hadir dalam format kapitalisme dan globalisasi.
Barangkali, Hari pahlawan yang di peringati setiap tanggal 10 November, mungkin hanya sekedar peringatan saja, namun hari pahlawan bisa dijadikan momentum mengenang jasa-jasa pendahulu kita, sekaligus meingat-ingat apa yang telah kita perbuat untuk bangsa ini.
Orang muda prisnsipnya adalah energi terbesar dari sebuah bangsa, artinya kita memiliki potensi yang luar biasa untuk melakukan sesuatu dan menggerakkan bangsa ini kearah yang kita inginkan. Apakah kita cukup sebagai bangsa yang menjadi konsumen dan pangsa pasar dari negara-negara lain yang berlomba-lomba untuk menguasai dunia melalui pengembangan berbagai sektor, atau adakah keinginan kita untuk melakukan karya agar kita juga mampu bersaing dan bersanding dengan mereka yang kita anggap lebih maju.
Sekali lagi, keinginan kita untuk maju seringkali dikalahkan oleh sikap pesimis dan pemikiran dangkal. “Ah..kita hanya orang Gayo, apa yang bisa kita lakukan?”
Tentu, kita tidak melupakan sosok Aman Dimot, yang semangat dan kisah perjuangannya masih terus menginspirasi sampai saat ini. Atau pahlawan emansipasi Qurata Aini yang lebih dikenal dengan panggilan Datu Beru. Bayangkan berabad-abad lampau sudah ada seorang perempuan yang menjadi Qadi malikul adil, penasehat kehormatan raja Samudra pasai, yang pendapatnya kerap menjadi pertimbangan penting bagi raja penguasa sebelum mengambil keputusan, yang kehadirannya selalu dinantikan pada setiap sidang tahunan. Dia adalah seorang perempuan Gayo, dan yang terpenting lagi dia berasal dari Gayo.
Jika pada masa itu saja orang Gayo sudah diperhitungkan, kenapa justru sekarang kita harus gentar?.[]