Pacu Kuda Gayo, Bukan Sekedar Pertandingan

oleh

Bersama kuda hitamnya, joki cilik itu melesat bak peluru. Mereka yang sebelumnya menjadi cemohan, spontan menjadi pusat perhatian. Persis seperti sepasang kesatria yang menang dalam sebuah pertempuran.

Muna_2013-11-03_5730_ArdiPAGELARAN pacu kuda bukanlah menjadi hal yang asing lagi bagi saya sebagai anak Gayo. Karena memang, diwilayah Gayo baik di Kabupaten Aceh Tengah, Gayo Lues dan Bener Meriah secara turun temurun pacu kuda selalu digelar pada hari-hari besar seperti saat memperingati 17 Agustus atau pada ulang tahun daerah.

Sebelumnya, pacu kuda bagi saya adalah hanyalah sebuah pertandingan biasa yakni tentang berusaha menjadi juara, hadiah, dan piala. Namun itu dulu, sebelum saya mengalami pengalaman yang akan saya tulis disini.

Pengalaman yang membuat pikiran saya berubah 180 derajat itu berawal dari kampung saya sendiri di Gayo Lues. Pacuan kuda yang digelar beberapa bulan yang lalu mampu membuat saya dan bahkan puluhan ribu penonton lainnya takjub. Saat itu, tepat pada ajang semi final sebuah penampakkan aneh yang baru saya lihat yakni seekor kuda hitam yang tampak sulit untuk dibawa ke garis start. Sekitar 20 orang yang ikut membantu pemilik kuda besar hitum tersebut juga tak mampu menarik kuda tersebut untuk dibawa ke garis start.

Kejadian yang memakan waktu hingga setengah jam tersebut membuat puluhan ribu penonton geram. Hingga sang komentator ikut kesal dan meminta pemilik kuda hitam tersebut membawa kudanya keluar area. Namun tetap saja pemilik kuda tidak menyerah hingga akhirnya memang beberapa menit dari itu kuda tersebut akhirnya mau dibawa ke garis start, mesipun dengan cara dipaksa. Tampak kuda tersebut merintih kesakitan akibat puluhan orang yang menariknya dengan cara paksa.

Pertandingan segera dimulai, penonton bertambah riuh menyoraki kuda dukungannya masing-masing. Pertandingan dengan dua kali putaran tersebut mampu menghipnotis puluhan ribu penonton serta teriakan keras dari komentator melalui sejumlah speaker yang dipasang di sudut-sudut lapangan Buntul Nege.

Pertandingan dimulai, 4 kuda tampak melesat kencang dengan jokinya yang amatan saya rata-rata masih duduk di bangku SMP. Oh iya, sebelumnya saya ingin ceritakan, pagelaran pesta rakyat ini memang dominan ditunggangi joki-joki cilik dan uniknya lagi, dari dulu biasa joki itu biasa menunggangi kudanya tanpa pelengkap pacu seperti helem, pelana, dan lain-lain.

Kita lanjutkan kembali, sejak dilepasnya 4 kuda pacu tampak kuda hitam yang sebelumnya sulit untuk dibawa kegaris start tampak tertinggal jauh. Namun entah apa yang adal dalam pikiran saya, saya lebih memilih memperhatikan kuda hitam tersebut dibandingan penonton lainnya yang nampak terhibur menyaksikan adu gesek dan kecepatan antara 3 kuda didepan. Hingga lap kedua, kuda hitam masih tertinggal dibelakang.

Namun sebuah pertunjukan hebat terjadi, kuda hitam yang sebelumnya tertinggal jauh melesat kencang. Satu persatu kuda yang memimpin didepan tertinggal, semuanya berbalik hingga akhirnya joki cilik itu berhasil menjadi sang juara.

Saya dan penonton lainnya sempat terdiam seakan tak percaya dengan pertunjukan yang baru saja terjadi. Bersama kuda hitamnya, joki cilik itu melesat bak peluru. Mereka yang sebelumnya menjadi cemohan, spontan menjadi pusat perhatian. Persis seperti sepasang kesatria yang menang dalam sebuah pertempuran.

Ternyata pertunjukan luar biasa itu belum selesai. Saya yang kebetulan berada di ujung garis finish pada itu melihat jelas gagahnya kuda hitam yang baru saja menjadi juara. Saya sempat terkagum-kagum. Bersama teman-teman saya yang lain juga sejumlah penonton lainnya, saya ikut mendekati kuda hitam itu. Saya kembali tersentak melihat joki cilik itu ternyata sedang menangis sambil memeluk leher kudanya. Sedangkan kudanya yang sebelumnya tampak sangat liar saat didekati orang banyak malah nampak diam tanpa gerak sambil tertunduk. Seakan-akan kuda tersebut ikut mengerti dengan perasaan sang penunggangnya. Sulit bagi saya menceritakan, namun yang jelas saya ikut terlarut dan teharu melihat kejadian itu yang dramatis itu.

Kuda hitam itu akhirnya memberikan yang terbaik. Seakan kuda hitam itu takut megecewakan jokinya. Saya betul-betul terlarut dengan kejadian tersebut. Semuanya terjadi secara alami tanpa direkayasa, namun mampu membuat saya dan mungkin penonton lainnya paham begitulah rasa kasih sayang yang terjadi antara kuda dan jokinya.

“Hati mereka seakan menyatu dan ingin membuktikan kepada orang banyak bahwa mereka tidak pantas untuk dicemohkan. Dan kuda itu sudah membuktikannya” kata salah satau kawan saya dengan matanya yang tampak berbinar melihat kuda hitam yang tampak kecapekan.

Akibat pengalaman tersebut  membuat persepsi saya tentang pacu kuda yang saya pikir selama ini lebih identik tentang merebut hadiah, piala atau tentang perjudian dan lain-lain berubah total.

Entahlah, saya sendiri bingung cerita apa yang saya lihat itu. Yang jelas mulai saat itu saya berfikir pacu kuda Gayo bukanlah sekedar pertandingan saja. Dalam hati, saya tak hentinya-hentinya berucap, mungkin inilah yang dinamakan Resam (Kebiasaan) di Gayo. (Supri Ariu)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.