Menyambut 1 Muharram 1435 Hijriyah
Oleh: Johansyah, MA*
PERPUTARAN waktu begitu cepat dan kembali mengantarkan kita pada tahun baru Islam, 1 Muharram 1435 Hijriyah. Sebagai umat Islam kita sejatinya mampu memaknai pergantian tahun ini dengan melakukan berbagai kegiatan-kegiatan positif dan menjadikannya sebagai ajang muhasabah atau evaluasi diri untuk memperbaiki serta meningkatkan kualitas amal.
Salah satu kegiatan positif yang mungkin baik kita lakukan adalah menggali kembali makna hijrah sebagai simbol utama dari tahun baru Islam. Untuk itu pula artikel ini akan coba menggali makna hijrah tersebut dengan melihatnya dari perspektif khazanah budaya Gayo. Jika ditelisik secara mendalam, banyak ungkapan-ungkapan dalam pepatah bahasa Gayo yang bermuatan nilai-nilai hijrah.
Dalam bahasa Gayo kita mengenal ungkapan sempit mu ngenaken lues. Kalimat ini adalah kalimat yang berkaitan dengan hijrah lahiriyah (fisik) dari satu tempat ke tempat lainnya. Awan anan kita dahulu sering melakukan ini. Mereka berpindah dari wilayah ke wilayah lain untuk mencari lahan baru (belang sigere berrpancang uten sigere bertene). Mereka pergi nebang dan munene (menebang hutan) karena di wilayah tempat dia tinggal, lahannya bertambah sempit seiring dengan jumlah penduduk yang terus bertambah.
Kegiatan beluh munebang atau munene uten yang dilakukan oleh para pendahulu kita dulu adalah kegiatan hijrah dengan harapan mereka akan dapat menghidupkan lahan baru dan dapat menggantungkan hidup dari lahan yang dikelolanya, baik untuk kebutuhan ekonomi maupun untuk menyekolahkan anak-anaknya.
Di sisi lain, barangkali ada sisi negatif dari budaya munebang ini, yakni orang Gayo terkesan tidak mampu bersaing dengan para pendatang yang terus memadati wilayah sentral Kota dengan hanya mengandalkan hidup dari berdagang. Sementara orang Gayo asik munebang. Ini pula yang digambarkan salah satu lagu Gayo yang sering kita dengan;“urang Aceh newei simpang, urang Gayo galep putetebang”.
Untuk zaman dulu, mungkin budaya munebang uten ini masih cocok dengan konteks zamannya, di mana lahan masih banyak dan belum adanya larangan untuk menebang hutan. Namun untuk saat ini rasanya konyol bagi orang Gayo bila hanya mengandalkan hidup dari kegiatan munene uten. Maka hijrah lahiriyah dalam bentuk inilah yang harus kita ubah ke depan.
Bahwa orang Gayo harus mampu bersaing dengan saudaranya yang lain yang pada awalnya hanya merantau ke Gayo. Untuk urusan ini, barangkali kita perlu banyak belajar dari mereka, terutama belajar tentang ilmu dagang serta tidak pernah menganggap mereka lagi koro jamu, karena dalam Islam sendiri siapapun yang berakhlak baik maka itulah yang menjadi saudaranya, tanpa melihat suku, warna kulit, keturunan, dan sebagainya.
Selanjutnya, muatan nilai hijrah dapat kita lihat dalam pepatah petitih Gayo, ike tingkis ulak ku bide, ike sesat ulak ku dene, genap nge si munge agih ne si belem’. Makna sederhana dari pepatah ini bahwa jika manusia khilaf dan menyimpang, maka kembalilah ke jalan yang benar dan jadikanlah masa lalu menjadi pelajaran dengan tidak mengulangi kesalahan tersebut di masa berikutnya. Ungkapan pepatah ini adalah hijrah batiniyah. Sebuah ajakan untuk kita agar kembali kepada kebenaran (taubat) dan mengubah perilaku buruk kepada perilaku yang baik, lebih baik, bahkan menjadi terbaik.
Hijrah perilaku atau hijrah akhlak adalah meliputi hijrah individual dan hijrah sosial. Hijrah akhlak secara individual adalah upaya diri kita masing-masing untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah dengan menjalin komunikasi yang baik dengan-Nya. Adapun hijrah dalam konteks sosial adalah upaya perbaikan kolektif yang kita lakukan, yakni dengan menyingkirkan praktik budaya-budaya negatif yang selama ini kita lakukan.
Terkait hijrah sosial ini, salah satu hijrah yang perlu dilakukan oleh orang Gayo adalah hijrah kultural dengan membuang budaya tidak baik dan mengisinya dengan budaya baik. Salah satu penyakit budaya orang Gayo yang paling kronis adalah penyakit yang diwariskan oleh perjajah Belanda dulu, yaitu penyakit uken toa. Walaupun sebagian tokoh kita selalu berpesan untuk tidak mengungkit-ungkin masalah ini, tapi dalam kenyataannya masih sangat kental dan terjadi, terutama di jajaran pemerintahan.
Masalah uken toa ini merupakan masalah yang mendatangkan kerugian besar bagi masyarakat Gayo. Orang Gayo terlalu konyol untuk membuat persaingan urang-urang karena mereka adalah kelompok minoritas, maka seharusnya dalam jumlah sedikit tersebut mereka bersatu padu. Memang kita harus menyadari, bahwa urang-urang tetap ada dan tidak mungkin dihilangkan karena di daerah lain hal yang sama juga terjadi.
Namun demikian, tentu lebih bermakna jika urang-urang ini disikapi secara profesional dan proporsional. Artinya siapapun layak menjadi Bupati, Kepala Dinas, dan Pejabat lainnya asalkan mampu dan memenuhi persyaratan. Ketika mereka menjabat, itu bukan karena pane mudelap, tim sukses dari seseorang, atau karena urang anu, tetapi karena dia dinilai mampu dan layak.
Makna hijrah lain yang dapat ditelusuri dari pepatah bahasa Gayo adalah mutik ruluh, bunge mala, bewente ulak kusi sara. Pepatah ini berkaitan dengan hijrah yang paling besar yaitu kematian. Bahwa semua manusia akan mengalami kematian entah kapan waktunya dan di mana akan terjadi. Mati tidak akan berkompromi dengan usia apakah masih muda, anak-anak, remaja, umur setengah baya, dan tua. Jika sampai waktunya manusia tidak dapa menghindar walau sembunyi di benteng besi yang kuat sekalipun. Hal ini tentu sesuai dengan salah satu firman-Nya; kullu nafsin dzaiqatul maut (setiap jiwa akan merasakan mati).
Ketika seseorang menghadapi mati, itu berarti ia berhijrah dan dihijrahkan oleh Allah dari alam dunia ke alam barzakh. Semua kekayaan harta, jabatan, keluarga akan ditinggalkan. Satu-satunya bekal yang melekat dan setia mengikuti kita adalah amal. Untuk itu para pendahulu kita selalu mengamanatkan agar murip ikandung edet, mate ikandung bumi, murep benar mate suci. Bahwa ketika kita hidup harus dilandasi nilai agama dan budaya agar ketika pulang ke hadirat-Nya dicatat menjadi orang yang baik.
Dalam ungkapan bahasa Gayo yang lain, kita juga mengenal kata-kata edet ken peger agama ken senuen. Ungkapan ini tentu berkaitan dengan ungkapan sebelumnya. Bahwa siapapun pun kita harus membekali diri dengan pengetahuan agama sebagai bekal hidup dan memperkuatnya dengan nilai-nilai budaya yang baik yang ada di sekitar kita. Ungkapan ini mengisyaratkan bahwa apabila kita hidup dengan dilandasi nilai-nilai agama dan budaya, maka jalan hidup kita akan penuh kemudahan dan ketika kita mati menjadi sosok pribadi yang selalu dikenang.
Inilah beberapa makna hijrah dalam perspektif khazanah budaya Gayo. Semoga tahun baru hijriyah ini dapat kita manfaatkan untuk memperbaiki diri, keluarga, dan masyarakat (Gayo) ke arah yang lebih baik. Amin!(johan.arka@yahoo.co.id)
*Kandidat Doktor Pendidikan Islam pada PPs UIN Ar-Raniry Banda Aceh.
Ikuti channel kami, jangan lupa like and subscribe :