Menulis Dalam Perang Meng-aksara-kan Kata, Meng-kata-kan Rasa*

oleh

Oleh:  Salman Yoga S

TEMA besar yang disodorkan panitia kepada saya adalah “Menulis Dalam Perang”. Tema besar tersebut tentu bukan ditujukan kepada seorang perajurit yang bertugas mencatat setiap kejadian, operasi mendadak dalam sebuah pertempuran (baca: konflik Aceh). Menulis secara pointer tentang lokasi, target dan apa-apa saja kebijakan/tindakan yang dilakukan oleh sang komandan untuk mencapai tujuan.

Kata perang dan konflik pada pemaknaannya mempunyai pengertian yang hampir sama. Dimata dan rasa seniman Aceh, yang terjadi di daerah mereka lebih dari sekedar peperangan. Karena peperangan lebih kepada adu kekuatan. Kawan dan musuh dapat dikenali secara jelas. Sementara konflik lebih kepada pertentangan dan perselisihan, bentuknya dapat berupa adu senjata dan propaganda. Ukurannya bukan menang atau kalah. Tetapi bertahan atau tidak. Tidak mempunyai musuh yang jelas tetapi siapapun dapat menjadi musuh. Sekecil apapun isue yang berkembang dapat dianggap sebuah serangan. Tentara berseragam atau tidak, masyarakat, tua, muda, lelaki dan perempuan atau bahkan anak-anak sekalipun adalah jelmaan perseteruan. Setidaknya keadaan inilah yang dialami oleh masyarakat Aceh selama puluhan tahun, terutama yang berada di pedalaman. Dan keadaan inipulalah yang menjadikan sejumlah penulis muda Aceh menjadi pahlawan bagi intensitas dirinya sendiri.

“Seorang gadis Aceh bernama Sumiati, berparas cantik dengan kaki pincang mencoba berlari sekuatnya untuk menghindari kejaran empat orang berseragam tentara. Karena yakin tidak dapat menghindar dari kejaran, dan untuk mempertahankan kehormatannya Sumiati memanjat pohon kelapa. Empat orang berseragam yang berada di bawah pohon itu melongok ke atas dan beronani, karena celana dalam Sumiati tampak jelas dari bawah”.

Kutipan pragraf di atas adalah merupakan narasi puisi yang diambil dari almbum Baca Puisi “Mencintai Aceh Dengan Asap Ganja” tahun 1999. Fakta tersebut tidak akan kita temui dalam daftar kasus pelanggaran HAM di Aceh selama berlangsungnya Daerah Oprasi Militer (DOM). Karena tidak ada media dan wartawan yang berani mempublikasikan kejadian itu kepada publik. Teriak Sumiati mempertahankan kehormatannya sebagai gadis Aceh, jerit Sumiati melindungi dirinya dari birahi jalang empat orang berseragam tentara telah melahirkan puisi. Desah yang terbata-bata dengan jeritan aaaaaa menjadikan puisi sebagai media transfer rasa dari Sumiati kepada kita hari ini dan kepada sejarah.

Bagaimana menulis dalam kondisi seperti ini ?

Tidak diragukan lagi karya tulis berperan sebagai media komunikasi antar waktu atau masa, tetapi  juga sebagai fakta dan bukti untuk menjelaskan kejadian yang pernah dan tengah terjadi. Metode dan teknik semacam ini kerap juga dijadikan oleh para sejarawan dan para peneliti untuk mendiskripsikan peradaban dan sistem sosial kehidupan suatu masyarakat pada masa atau pada zaman tertentu.

Semua jenis dan bentuk tulisan mempunyai fungsi komunikatif karena harus menyampaikan kepada para pemirsanya berbagai informasi dengan gaya dan teknik yang berbeda-beda, seperti misalnya pengaturan kata dan diksi. Kemudian fungsi induk sebuah tulisan terpecah menjadi fungsi lanjutan yang terbagi menjadi fungsi estetis semata-mata dan fungsi-fungsi para estetis. Fungsi para estetis sebagaimana dikatakan oleh Morawski adalah fungsi kesenian sebagai media, alat atau sarana untuk tujuan tertentu.

Demikian pula halnya menulis dalam kondisi konflik. Penulis ingin mengkomunikasikan kegelisahana dan kepiluannya atas realita yang ia hadapi.  Berbagai fakta dan kepiluan yang dialami masyarakat diaktualisasikan ke dunia luar, baik sebagai sebuah informasi dari segi isi, maupun sebagai bagian dari nilai estetisnya. Sebagai fakta yang tak yang terlupakan oleh media sekaligus sebagai rasa yang di-kata-kan oleh penulis.

Menulis merupakan sarana yang memungkinkan seseorang untuk menangkap dan mengapresiasikan keindahan sebagai anugerah tak terbatas dari Tuhan dan untuk mengalihkan keindahan itu kepada orang lain dalam rangka pengayaan spiritual. Tujuannnya adalah sebagai jalan dan sarana untuk mengingatkan sesama manusia, bahwa dibalik keindahan dunia masih ada keindahan lain yang justru lebih indah setelah kehidupan. Hal tersebut hanya dapat dinikmati oleh orang-orang yang menghargai keindahan dan mengabdi kepada yang Maha Indah.

Demikianpun dengan menulis dalam keadaan perang. Para penulis mencoba memindahkan realita, perasaan, ide dan lain sebagainya ke atas kertas sebagai upaya “kesaksian” dan sebuah pemberontakan. Salah satu contoh adalah Album Baca Pusi “Mencintai Aceh Dengan Asap Ganja”  tahun 1999, yang berisi sepuluh puisi panjang tentang keadaan dan kondisi ril masyarakat Aceh.

 Karena menulis sifatnya fungsional dan utilitarian tetapi tidak dalam pengertian terbatas kata-kata yang terkait dengan pandangan eksternal lahiriyah dan realita. Kegunaannyapun terkait langsung dengan manusia yang baginya pendokumentasian adalah suatu demensi kehidupan yang perlu bagi perubahan martabat manusia, membangkitkan rasa sebagai potensi dalam diri manusia untuk mentranformasikan kepada orang lain.

Apa yang dilakukan penulis dalam kondisi perang, konflik atau damai adalah menulis. Apa yang dilakukan penulis dalam keterasingan dan keterancaman adalah menulis. Menulis adalah mendialogkan pikiran dan rasa. Mengkomunikasikan apa yang dilihat dan apa yang didengar. Memindahkan realita kehidupan ke atas kertas. Atau bahkan memfaktakan daya imajinasi dan khayal ke dalam bentuk tulisan. Dengan demikian menulis dalam perang sama halnya dengan menulis dalam keadaan tidak perang.

Hal yang membedakannya kemudian adalah dari segi tema dan content tulisan. Dalam keadaan normal tema tulisan dapat lebih luas dengan pendekatan emosi yang tidak tertekan. Sementara isi tulisan baik cerpen, pusi dan berbagai jenis karya sastra lainnya dalam konflik Aceh mempunyai kesamaan tema, dengan nuansa psikologi yang berbeda. Cerminan tersebut dapat kita amati dari sejumlah karya tulis yang muncul sepuluh tahun terakhir.

Yang pasti keadaan, situasi dan lingkungan tertentu dapat menjadi presure yang mampu mendorong seseorang untuk menulis, meskipun sebenarnya orang tersebut bukanlah berprofesi sebagai penulis. Hal tersebut lebih umum terjadi dalam kedaan yang tidak normal.

Saya kemudian faham, bahwa yang dimaksudkan dengan tema “Menulis Dalam Perang” bukanlah teori atau kajian ilmiyah tentang menulis dalam kondisi yang tidak normal, tetapi lebih kepada pengalaman individual, usaha dan daya kreatif yang muncul kepermukaan pada saat orang lain tidak sempat untuk melakukannya. Atau kalaupun ada tulisan-tulisan yang lahir, justru tidak sempat terpublikasikan. Terutama bagi sejumlah seniman dan penulis yang hidup dan tinggal saat Aceh diselimuti konflik.

Tetapi tidak begitu banyak penulis yang muncul saat terjepit dalam konflik. Setidaknya ini dapat kita amati dari media. Namun sebuah  sebuah fakta dapat kita ketengahkan tentang kisah penulis muda M Nasir Age. Ia pernah menjadi target buruan tentara antara tahun 1998 dan 1999 karena salah satu cerpennya yang bercerita tentang pemasokan senjata oleh GAM ke Aceh melalui jalur laut dimuat di salah satu media terbitan Medan.

Ketidak munculan banyak penulis Aceh saat terjadinya konflik pada dasarnya dapat diidentifikasi berdasarkan beberapa masalah; di antaranya adalah

–          Menulis adalah lahan untuk mentaransfer realita kepada publik serhingga dianggap sebuah ancaman bagi kelancaran operasi militer saat itu.

–          Terancam dari segi jiwa telah menutup keinginan untuk menulis.

–          Memenuhi kebutuhan sehari-hari dan menjaga keselamatan diri dalam kondisi konflik adalah lebih penting ketimbang menulis dan mengirimkannya ke media.

Dari itu tidak heran banyak karya tulis beberapa kawan di daerah tidak terpublikasikan. Persoalan pertama budaya publikasi belum menjadi sesuatu yang penting bagi mereka. Kedua, dalam pempublikasianpun mereka masih diajak berperang (setidaknya berperang dengan diri sendiri) dan bersaing dengan karya penulis lainnya. Ketiga, dalam keadaan yang serba tidak menentu, sebagian besar media massa tidak menyediakan ruang secara proposional dan bahkan tidak mau mengambil resiko dengan memuat karya tulis yang agak keras dan bernuansa  pemberontakan.

Sejumlah tulisan tentang kondisi Aceh, kekerasan, dehumanisasi, intimidasi dan lain sebagainya justru muncul dalam bentuk buku yang diterbitkan oleh sejumlah pemerhati seni sastra di luar Aceh dan beberapa NGO. Sebut saja seperti buku “Aceh Mendesah Dalam Nafasku” terbitan Kasuha tahun 1999, ”Dalam Beku Waktu“ (Koalisi NGO HAM Aceh dan ICCO Jakarta, 2002), “Takdir-Takdir Fansuri” Dewan Kesenian Banda Aceh (DKB, 2002), “Selama Rencong Adalah Tanda Mata”  (Koalisi NGO HAM Aceh dan CSSP Jakarta, 2002) serta sejumlah buku lainnya.

Persoalan lainnya, penulis daerah dianggap tidak mempunyai kavabilitas karena tidak mempunyai kedekatan dengan penerbit, redaktur. Alasannya nama penulis belum dikenal, isi tidak memenuhi standar pemuatan, tidak sesuai dengan visi media dan lain sebagainya.

Hal yang sangat menggembirakan dalam dunia kepenulisan di Aceh adalah pasca konfik dan Tsunami dengan dibukanya ruang oleh komunitas Tikar Pandan berupa sayembara menulis. Keikut sertaan sejumlah penulis dari berbagai penjuru di Aceh sungguh sangat mencengangkan semua pihak. Karena tidak kurang 1242 puisi, 11 cerpen, 29 novel, 13 sandiwara radio dan 37 esei ikut bagian dalam sayembara tersebut. Ini membuktikan bahwa kepenulisan dalam konflik Aceh masih berjalan. Kesaksian-kesaksian dan sisa-sisa kepedihan rakyat terus diangkat dan diabadikan dalam karya tulis, hanya saja ruang untuk itu sangat sempit dan terbatas. Setidaknya bagi mereka yang tergolong pemula.

* Tulisan berbentuk malakalh ini dipersentasikan dalam Seminar Piasan Sastra Aceh di Gedung Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (UI) Jakarta Pada tanggal 12 Desember  2007.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.