Hamzah Ibrahim, Wartawan Penerjun Asal Gayo

oleh

Catatan: Iranda Novandi*

Sampul buku "Bila Maut Datang Menjemput, Antarkan Aku sebagai Wartawan"
Sampul buku “Bila Maut Datang Menjemput, Antarkan Aku sebagai Wartawan”

SIANG  itu, 19 Agustus 2013.  Handphone (HP) saya terus berdering. Seseorang yang tak dikenal mencoba menghubungi saya. Sekilas terlihat nomor hp yang asing bagi, pasalnya tak ada nama yang keluar dari panggilan tersebut. Itu artinya nomor itu belum tersimpan dalam hp saya.

Hanya saja, karena hari itu saya sedang disibukan sebagai kepala Sekolah pada Sekolah Jurnalisme Indinesia (SJI) Aceh yang baru dibuka oleh Wakil Gubernur Aceh Muzakir Manaf, deringan telepon dari orang tak dikenal tersebut saya abaikan saja dengan membiarkan hp terus bergetar.

Tetapi, si pemilik hp diseberang sana ternyata tak mau menyerah begitu saja, sudah lebih tiga kali dia menelpon masih saya abaikan. Akhirnya sayapun menyerah untuk menerima panggilan tersebut dengan terpaksa meninggalkan ruangan tersebut.

“Halo, Aku Hamzah Ibrahim. Ku beteh nomor mu ari Khalis (khalisuddin-Pemred Lintasgayo.co),” sapa sang penelpon dari seberang. Mendengar nama Hamzah Ibrahim, pikiran saya terus melayang, sehari sebelumnya saya melihat beritanya di Lintasgayo.co. seorang wartawan sepuh asal Gayo yang malangmelintang dalam dunia kewartawanan di Bandung, Jawa Barat.

“Iya Pak, maaf tadi saya tak bisa mengangkatnya. Lagi dampingi pengajar di SJI,” ujar saya yang masih belum PD berbahasa Gayo, meskipun dari seberang lawan bicara saya membuka sapa dengan bahasa Gayo.hamzah_ibrahim2

“Aku male munosah buku ken niko, selo ngok kite mudemu,” sambung Hamzah. “Ngok Pak, kase ike nge selese kuliah ni mudemu kite. Aku i PWI ni wa,” jawab saya membalas obrolan yang mulai menarik ini.

“Boh mi, aku ku Unsyiah mulo, ara keponakan wisuda,” ujar Hamzah. “Boh Pak, iyo kase kite mudemu,” ucap saya mengakhiri percakapan via jaringan selular tersebut.

Jelang sore, saya mencoba menghubungi Pak Hamzah Ibrahim kembali, namun lewat percakapan telepon ia menyatakan sudah kembali ke Takengon. Dua hari kemudian akan kembali ke Banda Aceh, sebelum bertolak ke Bandung.

Hanya saja, dua hari kemudian kamipun tak bisa ketemu. “Buku nge ku tetep ku Evi, demui ko kase we, peren murai buku ari aku,” ujarnya. “Boh mi Pak,” ujar saya singkat semberi menyampaikan permohonan maaf tak bisa ketemu.

***

Malam itu, 17 September 2013 sekitar pukul 20.00 WIB waktu Indonesia

Pin Wing PWI
Pin Wing PWI

bagian Tengah (Wita), saya bersama beberapa teman sedang duduk-duduk di depan hotel penginapan kontingen Pekan Olahraga wartawan Nasional (Porwanas) di Banjarmasin, Kalimantan Selatan (Kalsel).

Kebiasaan saya yang tak bisa ditinggalkan, kalau jalan-jalan mengikuti even nasional seperti ini, selalu “berburu” pin. Pin ini saya lekatkan di topi, sehingga ada teman-teman yang mengatakan, baru seminggu di Banjarmasin banyak yang sudah “kumat”, mungkin sindiran canda ini termasuk untuk saya diantaranya.

Salah satu yang diperbincangkan yakni tentang adanya pin yang berbentuk Wing yang dibagian atasnya tertulis PWI dan dibawahnya terbentang bendera merah putih. Dari banyaknya pin yang saya kenakan di topi, hanya satu yang saya kritisi, yakni pin yang berbentuk wing terbang. Bagi saya, pin berbentuk wing tersebut tak pantas dikenakan oleh wartawan apalagi PWI. Sebab, sepengetahuan saya, tak ada wartawan yang berjasa sudah melakukan penerjunan layaknya angkatan bersenjata.

Komentar tersebut ternyata dibantah langsung oleh seorang wartawan senior di Aceh Adnan NS yang juga Ketua Dewan Kehormatan Daerah (DKD) PWI Aceh. Menurut Adnan, ada wartawan yang melakukan penerjunan dan berjasa dalam misi ganyang Malaysia pada tahun 1963. Wartawan itu adalah putra Gayo, seorang wartawan di Bandung.

“Namanya, Hamzah Ibrahim. Apa kenal kamu,” sergah Adnan. Nama yang disebutkan Adnan tersebut langsung mengembalikan ingatan saya sebulan lalu. Tentang buku yang belum juga saya ambil.

Sepulang dari Banjarmasin, tekad saya mengambil buku tersebut semakin menggebu-gebu. Namun, apa boleh buat, tak juga terambil-ambil meskipun sudah cukup lama dititipkan. Keinginan mengambil buku itu kembali tertunda, sebab saya harus mengikuti Safari Jurnalistik ke Aceh Barat Daya (Abdya) dan Gayo Lues, hanya beberapa hari setelah kembali dari Banjarmasin.

***

“Nama dan foto kami sudah terpampang di Malaysia,” kisah Hamzah via telepon selular saat saya menghubungi beliau ketika buku “Bila Maut Datang Menjemput, Antarkan Aku Sebagai wartawan” sudah ada ditangan saya, Selasa 8 Oktober 2013.

Karikatur dari tulisan Hamzah Ibrahim yang melakukan penerjunan
Karikatur dari tulisan Hamzah Ibrahim yang melakukan penerjunan

Ternyata, sebelum Hamzah dan kawan-kawan wartawan Indonesia lainnya yang ikut dalam operasi Dwikora atau yang lebih dikenal operasi ganyang Malaysia itu, intelejen Malaysia melalui kepolisian besar sudah menyebar foto-foto mereka yang akan melakukan pernerjunan ke wilayah Malaysia.

Namun, karena tekad yang bulat dan semangat patriot Hamzah dan kawan-kawan tetap semangat dalam menjalankan misi tersebut hingga tuntas dan hingga saat ini maut belum juga menjemputnya. Karena hidup dan mati manusia itu, hanya Allah yang menentukannya.

Dalam buku setebal 379 dan memuat kisah Hamzah Ibrahim dimuat dihalaman 115 hingga 126 banyak mengisahkan tentang kehidupan seorang wartawan yang hidup pada masa pergolakan, terutama tahun 1963-1966.

Mulai dari operasi penyambungan tulang, pembebasan Irian Barat, Dwi Kora (Ganyang Malaysia), G.30 S/PKI dan sejumlah liputan menantang lainnya dilewati dengan penuh semangat dan penuh pengorbanan tentunya.

“Karena seringnya ikut operasi dan liputan perang seperti ini, kawan-kawan juluki saya sebagai wartawan perang,” ujar Hamzah.

Membaca sekelumit kisahnya, ingin rasanya saya bertemu langsung dengan Pak Hamzah Ibrahim ini. Rasanya saya sangat rugi, tempo hari tidak ketemu dengan seseorang wartawan yang kaya pengalaman. Sebab, bagi seorang wartawan itu, pengalaman adalah guru dan universitas terbaik di dunia.

Wartawan “miskin” pengalaman, maka sampai kapanpun dia tak akan berkembang. Terimakasih pak Hamzah, Saya bangga kenakan Wing PWI, apalagi wing wartawan itu diraih dari seorang wartawan berdarah GAYO.***

*Direktur Diklat PWI Aceh, asal Kampung Kung, Pegasing Aceh Tengah

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.