Banda Aceh – LintasGayo : Benteng terakhir bangsa sudah runtuh, lalu kemana lagi mencari safaat untuk keadilan, ketika dewi justisia sudah membuang timbangan dan pedangnya kelaut lepas, dan berkolaborasi dengan dewa penyamun yang sudah jelas tidak berperikemanusiaan, maka negeri ini kian nyata retaknya.
Satu persatu tokoh negeri ini di gugat, satu persatu mereka terjerat, satu persatu mereka tidak lagi keramat dan satu persatu dari mereka berkhianat. Barangkali ini lantaran terlalu banyak kerja menjadi pengamat, dalam keimanan yang hanya tersirat, sampai tidak tahu mana yang baik mana yang sesat. Uang memang telah menjadi ajimat, apapun urusan bisa di ikat dengan perjanjian yang memikat, semuanya bisa terasa nikmat jika semua aparatur negara ikut andil dan ikutan menjadi para penyikat.
Iwan Fals melalui syairnya Negeriku ngeriku “berceloteh” tentang bobroknya negeri ini yang terus di gerogoti para koruptor, Iwan berharap negeri ini bersih dari para “pencoleng”, namun syair lagu ini agaknya kurang di dengar oleh para pejabat, padahal iwan sudah mengisyaratkan bahwa negeri ini merupakan negeri para penipu.
Berikut petikan syairnya; Bersih bersih bersih bersihlah negeriku/Malu malu malu malulah hati/Kotornya teramat gawat ya kotornya sangat/Inilah amanat yang menjadi keramat//Bersih bersih bersih bersihlah diri/Sebelum menyapu sampah dan debu debu/Nyanyian berkarat sampai ke liang lahat/Atas nama rakyat yang berwajah pucat//Negeriku negeri para penipuTerkenal kesegala penjuru/Tentu saja bagi yang tak tahu malu/Inilah sorga sorganya sorgaNegeriku ngeriku//Busuk busuk busuk busuk bangkai tikus/Yang mati karena dihakimi rakyat/Adakah akhirat menerima dirinya/Adakah disana yang masih bisa bercanda dengan rakus//Negeriku negeri para penipu/Terkenal kesegala penjuru/Tentu saja bagi yang tak tahu malu/Inilah sorga sorganya sorga/Negeriku ngeriku//Bersih bersih bersih bersihlah negeriku//
Suara seniman seperti matahari yang menyinar namun hanya sampai pada tataran akar rumput, para pejabat semestinya mengilhami suara-suara budaya ini agar selamat dalam menjalankan maksud dan tujuan dalam berbangsa dan bernegara.
Alm. Franky Sahilatua juga menanggapi berbagai kasus tentang negeri ini dalam Perahu Retak; Perahu negeriku, perahu bangsaku/menyusuri gelombang/semangat rakyatku, kibar benderaku/menyeruak lautan/langit membentang cakrawala di depan/melambaikan tantangan//di atas tanahku, dari dalam air/kutumbuh kebahagiaan/di sawah kampungku, di jalan kotaku/terbit kesejahteraan//tapi kuheran di tengah perjalanan/muncullah ketimpangan//aku heran, aku heran/yang salah dipertahankan/aku heran, aku heran/yang benar disingkirkan//perahu negeriku, perahu bangsaku/jangan retak dindingmu/semangat rakyatku, derap kaki tekad/mujangan terantuk batu//tanah pertiwi anugerah ilahi/jangan ambil sendiri/tanah pertiwi anugerah ilahi/jangan makan sendiri//aku heran, aku heran/satu kenyang, seribu kelaparanaku heran, aku heran/keserakahan diagungkan//.
Ini baru sebagian teguran bagi aparatur negara, masih banyak lagi celoteh seniman di berbagai media ungkap seni lainnya yang tidak tersentuh media , namun dua lagu ini mencerminkan bahwa seniman peduli terhadap nasib bangsa ini, bahkan seniman terus mencatat berbagai hal tentang keberlangsungan bangsa ini secara seni yang mereka miliki, namun para penyelenggara negara kurang menempatkan fungsi dasar seniman sebagai pencatat sejarah, mereka lebih menempatkan seniman sebagai “biang” hiburan atau badut-badut lucu yang selalu tersenyum dan terlihat lucu dalam gerak-geriknya, bahkan yang lebih parah lagi seniman di berbagai daerah masih dianggap sebagai pengacau stabilitas perkantoran karena selalu membawa proposal dan minta uang receh bila ingin membuat sebuah acara.
(Rahmad Sanjaya/aceharts.com)