
DIDONG semalam suntuk yang dilaksanakan oleh Keluarga Negeri Antara dalam rangka halal bihalal dan tepung tawar jama’ah Haji Sabtu (14/9/2013) silam di Taman Budaya Banda Aceh. Acara dikemas dalam acara tausiah oleh guru besar IAIN Ar-Raniry Prof. Al-Yasa’ Abu Bakar dan Didong Jalu semalam suntuk antara Teruna Jaya dan Biak Cacak.
Gedung telah dipenuhi oleh ratusan atau bahkan ribuan manusia, tak sanggup lah aku untuk menghitungnya satu-persatu.
Aku duduk di barisan keempat tepat di belakang para tamu undangan. Maklumlah kerinduan anak rantau akan kesenian tempat lahirnya menuntut untuk duduk sedekat mungkin dengan panggung. Pengharapan untuk mengobati rindu inipun begitu memuncak. Serangkaian acara telah ditampilkan termasuk tari guel dari sanggar Rembune serta pertunjukan musik garapan dan musikalisasi puisipun menghipnotis semua penonton yang memenuhi gedung taman budaya ini.
Setelah tausiah disampaikan oleh guru besar IAIN Ar-Raniry, Prof. Dr. Al-yasa’ Abu Bakar. Tidak lama kemudian, dipandu oleh dua orang pembawa acara masing-masing grup Didong dipersilahkan untuk menaiki panggung untuk bertarung dengan syair-syair yang mereka miliki. Teruna Jaya telah bersiap dengan memakai baju putih dan Biak Cacak tidak ingin kalah dengan baju birunya. Telah ada dua dewan juri yaitu Aman Peteri Punce dan Salman Yoga S yang telah siap menilai keindahan syair dan tepukan dari dua grup ini.
Dihadapanku seseorang yang terus bertanya ketika Didong telah dimulai, sesekali ia gerakkan badannya mengikuti syair dan tepukan Didong dan terus bertanya kepada salah seorang dewan juri, Salman Yoga S. Jika penonton telah bergelak tawa atau bersurak saat syair-syair Teruna Jaya dengan kata-kata “tukul” yang dilantunkan iapun sesekali menoleh menyaksikan ekspresi para penonton yang bersurak.
Djailani namanya, seorang akademisi dibidang musik yang berasal dari Bandung. Menurutnya, Didong jalu bukan untuk saling menjatuhkan dan mengalahkan tapi saling berbagi peran, berbagi irama dan berbagi syair. “lihat saja penonton juga ikut terbawa perasaan dengan syair yang dilantunkan mereka” katanya sambil lebih mengeraskan suaranya ditengah gemuruh suara penonton karena “tukul” dari ceh Biak Cacak.

Ketertarikan Djailani pada Didong Jalu karena pola interaktif yang dihasilkan dari satu kelompok dengan kelompok lain, bahkan penonton juga dapat imbasnya dengan surak-surak mereka.
Untuk irama yang dihasilkan dari tepukan, ia menyarankan untuk lebih dieksplorasi dan sering-sering berlatih karena menurutnya setiap grup harus punya irama yang khas yang menjadi ciri khas masing-masing kelompok tanpa meninggalkan kekhasan Didong itu sendiri.
Kepulan asap rokok telah memenuhi ruangan, seakan sedang berada di negeri di atas awan dengan kabut paginya. Untuk ini bukan kabut pagi di kota dingin itu tapi kabut yang dihasilkan kepulan asap rokok. Tidak ingin semakin menyiksa paru-paru aku putuskan untuk langsung pulang meski masih ingin rasanya menonton pertunjukan ini. Namun apa yang ingin dikata, memang sering kali kaum hawa didiskriminasi dengan kepulan embun malam ini. (Zuhra Ruhmi Binti Zain)