Merdeka-kan Lut Tawar

oleh
Serakan sampah di Ujung Baro Lut Tawar. (Kha A Zaghlul)
Serakan sampah di Ujung Baro Lut Tawar. (Kha A Zaghlul)
Serakan sampah di Ujung Baro Lut Tawar. (Khalisuddin)

BELUM saatnya lelah untuk menyuarakan kegelisahan melihat kondisi kerusakan Danau Lut Tawar. Walau suaranya begitu kecil volumenya, nyaris tak terdengar oleh pemangku kepentingan dan khalayak diseputar danau karena hanya melalui tulisan di sebuah media online kecil yang tidak sekeras volume media cetak ternama, terlebih untuk Tanoh Gayo yang jaringan internetnya masih megap-megap, lelet dan kerap malah tak hidup.

Sabtu, 17 Agustus 2013 saat detik-detik proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia (RI) diperingati diseluruh penjuru nusantara dan di Gayo seperti judul berita sebuah media cetak ternama di Aceh “Dari Dasar Danau hingga Puncak Gunung” bendera merah putih berkibar dengan semaraknya.

Peringati detik-detik proklamasi, mendapat undangan bersamaan dari berbagai pihak, namun memilih turut bersama tim penyelam Gayo Diving Club (GDC) yang mengibarkan merah putih di dalam air danau Lut Tawar, ini yang pertama dalam sejarah. Terlebih ada prosesi penelusuran jejak penjajah Belanda yang meninggal peralatan perang di dalam air Tanyor Nunguk, sisi selatan Ujung Baro tempat hotel Renggali berdiri. Walau tak bisa menyelam, namun ingin menjadi orang-orang pertama yang melihat rekaman video atau foto-foto bawah airnya.

Prosesi demi prosesi pengibaran merah putih di dalam air danau dilakukan, para penyelam berada di dalam danau. Ada waktu luang, iseng mencoba berjalan mengitari bibir danau Lut Tawar Ujung Baro dan Tanyor Nunguk yang terjal. Sepengetahuanku, lokasi itu bisa dilalui dengan berjalan kaki, tak ada ruang terhampar untuk berjalan karena air danau biasanya hingga tebing terjal. Namun ternyata kondisinya tidak seperti itu, ada hamparan untuk injakkan kaki tanpa khawatir basah dan tanpa ragu aku turun berjalan disela-sela tumpukan sampah plastik dan kaleng yang “terlempar” dari hotel ternama tersebut.

Seng bekas, gubuk pemaing ikan dan keramba jari apung dengan latar gunung setelah terbakar. (Kha A Zaghlul)
Seng bekas, gubuk pemaing ikan dan keramba jari apung dengan latar gunung setelah terbakar. (Khalisuddin)

Serakan sampah plastik, botol bekas, dan kaleng berserakan. Sempat terkejut saat melintasi tepi danau yang agak ditengahnya ada beberapa Keramba Jaring Apung (KJA) milik beberapa warga, ada bunyi asing, ternyata lalat ijo beterbangan yang mengerubungi bangkai ayam mati, jorok sekali.

Di sisi lain, terlihat tebing bebatuan dengan garis-garis bekas air danau dengan garis tertinggi lebih dari 1 meter dari atas permukaan air. Itu tanda jika air danau sempat setinggi itu untuk waktu yang lama sehingga meninggal bekas.

Beberapa foto aku ambil dengan kamera DSLR “mahal” yang semula  di beli karena ingin jadi fotografer handal di seputar Lut Tawar 5 tahun silam. Serakan sampah, penyusutan air danau, gunung terbakar, aktivitas warga di keramba hingga aktivitas para penyelam mempersiapkan pengibaran bendera merah putih.

Saat melintas di beranda utama hotel, berpapasan dengan 2 wisatawan asing yang mengenalkan diri bernama Chris dan Sarah asal Inggris. “Warga disini ramah-ramah sekali, panorama alamnya bagus dan bisa menikmati kopi arabika,” begitu kata Chris yang cepat akrab.

Saat bersama keduanya, ada panggilan jika menu makan siang sudah tersedia. Aku masih ingin mengobrol dengan bule-bule itu. Ragu-ragu kuajak keduanya bergabung dengan tim GDC. Ragu karena rasa malu dan khawatir melihat raut muka bule itu merasa jijik atau kesal melihat kejorokan Danau Lut Tawar.

Garis warna batu tanda tinggi air Danau Lut Tawar dengan latar bangunan yang diduga tanpa dilengkapi dokumen Izin Mendirikan Bangunan (IMB). (Kha A Zaghlul)
Garis warna batu tanda tinggi air Danau Lut Tawar setelah alami penyustan dengan latar bangunan yang diduga tanpa dilengkapi dokumen Izin Mendirikan Bangunan (IMB). (Khalisuddin)

Benar saja, keduanya tidak berlama-lama bergabung, keramahan mereka seperti berkurang, keduanya minta izin untuk internetan di teras hotel itu, walau itu mungkin perasaanku saja.

Risau sekali, sepertinya berbagai upaya untuk membangkitkan kesadaran peyelamatan danau Lut Tawar mentok. Kesadaran tidak membuang sampah ke danau seperti tidak berubah walau berbagai kampanye sudah dilakukan. Keinginan sebagian warga mencaplok bagian danau juga tidak terhentikan. Bagian danau makin mengecil akibat timbunan-timbunan yang kemudian dijadikan objek wisata atau tempat tinggal.

Hutan disekeliling danau juga tak henti dibakar saat musim kemarau. Penanaman pohon oleh elemen sipil pecinta lingkungan juga seperti tidak membuahkan hasil. Malah pohon-pohon pinus sepertinya lebih suka tumbuh dengan sendirinya tanpa campur tangan manusia.

Konsep pengembangan wisata oleh Pemerintah setempat untuk mengurangi ekploitasi warga sekitar terhadap danau dan hutan disekitarnya juga kelihatan mentok karena kurangnya pemahaman para pihak terkait. di tahun 2013, ada program gerakan pembersihan danau secara massal yang diikuti dengan lomba desa Sapta Pesona (Aman, Tertib, Bersih, Sejuk, Indah, Ramah, dan Kenangan) diseputar Danau Lut Tawar, entahlah, apa bisa berlanjut tahun 2014.

Event budaya dan wisata yang digelar mulai direspon oleh warga sekitar danau Lut Tawar karena bisa menghasilkan uang dari perparkiran, penjualan makanan, tiket masuk lokasi wisata dan lain-lain. Namun ternyata tidak diikuti dengan kesadaran tidak membuang sampah sembarang, oleh pengunjung atau pemilik lokasi wisata. Eksesnya, sampah bertaburan seperti yang terjadi di Panye Menye Kecamatan Bintang setelah digelarnya event pacuan kuda dan lomba dayung perahu tradisional pertengahan tahun 2013 lalu.

Wisatawan asal Inggris, Sarah di Ujung Baro. (ist)
Wisatawan asal Inggris, Sarah di Ujung Baro. (ist)

Mestinya, program yang digulirkan saling bersinerji antar pihak terkait. Pihak A menggelar event, maka pihak B membantu kebersihan, pihak C bantu ketertiban lalu lintas kenderaan dan pihak D mengingatkan agar tidak terjadi pelanggaran Syari’at Islam dan adat budaya setempat, pihak E mengurusi agar pencarian lokasi dengan internet (google map-red) bisa terang benderang, begitu seterusnya.

Alokasi dana untuk kelestarian danau nyaris tak terdengar. Yang ada hanya program merusak berdalih kebutuhan masyarakat dengan program pembukaan jalan ke hutan-hutan disekitarnya yang tentu membuka peluang luas dilakukannya penebangan hutan untuk areal perkebunan.

Ada terdengar, regulasi tata ruang yang belum kelar yang berakibat tidak terbangunnya sinerjisitas program di Danau Lut Tawar, termasuk Takengon, kota wisata, ibukota Aceh Tengah. Namun jikapun ada masih pesimis, toh tidak bisa diterapkan juga, contohnya Izin Mendirikan Bangunan (IMB) sudah jelas-jelas mesti diterapkan ternyata tidak berlaku seperti di kawasan One-One Kecamatan Lut Tawar. Walau tak ada IMB, bangunan rumah warga berdiri juga hingga tepi danau.

Pengibaran bendera merah putih di bawah air danau Lut Tawar, sulit dilakukan karena air danau keruh mengurangi jarak pandang. (Muna Ardi
Pengibaran bendera merah putih di bawah air danau Lut Tawar, sulit dilakukan karena air danau keruh mengurangi jarak pandang. (Muna Ardi

Risau dan pesimis, namun tetap mencoba menyuarakan, berharap difahami dan di follow up sesegera mungkin sehingga Danau Lut Tawar merdeka dari perilaku manusia yang cenderung merusaknya.

Danau Lut Tawar sumbu peradaban manusia di Gayo dan sekitarnya dengan ditemukannya bukti kehidupan pra sejarah manusia sekitar 7500 tahun lalu. Juga ada ikan endemik Depik (Rasbora tawarensis) menjadi ikon Gayo Lut Tawar serta nikmatnya citarasa kopi Arabika yang menjadi sebab penjajah Belanda gila, bahkan membuka jalan dari Bireuen habiskan waktu hingga 20 tahun lebih, mereka gila dan ingin berlama-lama di ketinggian Tanoh Gayo dengan Lut Tawar, pinus dan kopi-nya. (Khalisuddin)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.