Gempa Gayo (bagian 9)
Catatan: Aman ZaiZa

ADA dua momen bersejarah bagi negeri ini dalam dua hari ini. Pertama 15 Agustus yang merupakan tanggal bersejarah bagi perdamaian Aceh, setelah 30 tahun terjadi konflik bersenjata yang menelan korban jiwa dan harta benda.
Pada tanggal 15 Agustus ini, disepakati perjanjian damai (MoU) antara Pemerintah Pusat dengan pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di sebuah Negara di Eropa Timur, tepatnya di Helsinki, Finlandia.
Berjanjian damai yang kini telah berusia satu windu (delapan tahun) itu telah banyak membawa perubahan di Aceh, terutama tidak ada lagi letusan senjata api dan korban sia-sia dari konflik bersenjata tersebut.
Mungkin bagi kita yang tinggal di Aceh, bisa bayangkan bagaimana mencekamnya Aceh pra MoU tercipta jika jelang 17 Agustus seperti sekarang ini. Desingan peluru dan letusan bom atau granat kerab menjadi orchestra music menjelang tidur.
“Rasanya belum enak tidur di malam hari, jika belum mendengar suara ledakan,”. Begitulah anekdot yang muncul di tengah masyarakat jika menjelang malam tiba, saat konflik tersebut masih berkecamuk di provinsi paling ujung barat pulau Sumatera Indonesia ini.
Satu lagi, tanggal yang teramat bersejarah bagi negeri ini yakni 17 Agustus. Sebuah tanggal yang amat sakral, sebab di tanggal itulah republik ini di proklamirkan oleh dua proklamator kita Soekarno-Muhammad Hatta.
Dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Aceh ini, banyak pahlawan yang berasal dari Gayo, salah satunya Aman Dimot yang hingga kini belum juga dijadikan pahlawan nasional di republik ini.
Disamping itu, dari Gayo pulalah Indonesia ini masih diakui dunia lewat Radio Rimba Raya (RRR). Sebagaimana yang saya utarakan dalam tulisan catatan gempa Gayo bagian pertama, dimana dari bumi Gayo ini, Indonesia yang saat ini ada. Ini bisa dilihat dari Radio Rimba Raya merupakan saksi sejarah era kemerdekaan yang memberitakan tentang proklamasi Indonesia, ketika melawan Belanda tahun 1945. Pada saat itu Belanda telah menguasai ibu kota pemerintahan Indonesia. Mereka (Belanda) mengumumkan lewat radio Hilversum (milik Belanda) kepada dunia, bahwa Negara Indonesia tidak ada lagi.
Tapi dengan suara yang sayup lantang dari Dataran Tinggi Tanah Gayo, Radio Rimba Raya membatalkan berita tersebut dan mengatakan Indonesia masih ada. Siaran itu dapat ditangkap jelas oleh sejumlah radio di Semenanjung Melayu (Malaysia), Singapura, Saigon (Vietnam), Manila (Filipina) bahkan Australia dan Eropa.
Akhirnya, akibat berita yang disuarakan itu, banyak negara dunia dengan serta merta mengakui kemerdekaan Indonesia. Berita yang disiarkan Radio Rimba Raya merupakan pukulan “KO” bagi Pemerintahan Belanda.(https://lintasgayo.co/2013/07/18/gempa-gayo-bagian-i)
Bagi Gayo, yang notabene merupakan salah satu wilayah yang setia sejak zaman dulu dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan di Gayo ini juga tak ada bendera lain selain dwi warna Merah Putih.

Melihat besarnya peran Gayo bagi negeri ini, sudah selayaknya pula harus mendapat perhatian serius. Daerah yang 2 Juli lalu telah mengubur 48 syuhada gempa, dimana lima diantaranya masih belum diketahui dimana makamnya, setelah hilang bersama bumi Serempah di Kecamatan Ketol Aceh Tengah, butuh kepastian.
‘Haram’ bila nenggeri Gayo ini di diamkan begini saja, tanpa ada kepastian. Geliat pembangunan pascagempa yang terlihat saat ini secara kasat mata, masih dilakukan para darmawan yang menaruh perhatian besar Gayo. Ironisnya lagi, itupun lebih domonan dilakukan oleh kalangan yang memiliki aliran darah dan sukuisme ke Gayo an.
Selayaknya setelah lebih 40 hari berlalu, cerita pilu dan duka nestapa itu tak terdengar lagi. Namun apa lacur, cerita it uterus terdengar dan mengiang-ngiang dengan polah manusia yang tak berempati dan tak memiliki nurani berbasis bencana.
Buktinya, hingga saat ini masih ada jeritan korban gempa yang kekurangan pangan, kekurangan sandang dan banyak kekurangan lagi ditengah bantuan yang menurut kabar amat berlimpah pascagempa terjadi.
Sungguh sangat menyedihkan, bila hal itu dilakukan oleh sebuah lembaga Negara yang bonafit di negeri ini. Laksana sebuah ‘penjajahan’ bagi anak bangsa yang telah memerdekan republik ini, lewat RRR nya, sehingga lembaga Negara tersebut bisa tumbuh dan berkembang besar seperti saat ini.
Kredibilitas lembaga Negara yang bernama Badan Urusan Logistik (Bulog) terutama di Aceh Tengah sangat layak dipertanyakan dengan adanya temuan yang dilalakukan sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ‘Cinta Bangsa’ yang menemukan penyaluran beras tak layak konsumsi bagi korban gempa.
Seperti yang diberitakan sebuah media online di Gayo, leuserantara.com pada 12 Agustus 2013, dimana LSM ‘Cinta Bangsa’ tersebut menemukan beras yang tidak berkualitas atau tidak layak konsumsi di Kampung Lukup Sabun, Kecamatan Kute Panang, Kabupaten Aceh Tengah.
Ketua LSM Cinta Bangsa, Sejahtera, menjelaskan berdasarkan pemantauan yang mereka dilakukan di daerah Kute Panang terdapat lebih kurang 1.755 kg beras tidak layak konsumsi. Beras tidak layak kosumsi tersebut, masing-masing berada di Kampung Lukup Sabun Induk sebanyak 1.110 kg dan Lukup Sabun Tengah lebih kurang 645 Kg.
Sejahtera, menyayangkan pendistribusian yang diduga berasal dari Bulog Aceh Tengah tidak selakyaknya didistribusikan kepada masyarakat korban gempa itu. Seharusnya, setiap beras yang keluar dari Bulog, mestinya berkoordinasi dengan pihak-pihak yang berkompeten dalam hal pengawasan makanan. Layak atau tidak beras tersebut tersebut.
Ketua LSM Cinta Bangsa ini juga menambahkan, dengan bantuan seperti itu di khawatirkan beras tersebut tidak bisa dikonsumsi “niat ingin membantu, malah masyarakat kecewa,” ujar Sejahtera sebagaiaman dilansir leuserantara.com.
Ini baru satu kasus yang kita lihat, dari banyak kasus yang terjadi pascagempa Gayo. seharusnya, siapapun dia, dari lembaga manapun dia harus memikirkan dan memiliki rasa yang empati bagi korban gempa, bahwa yang korban itu adalah saudara sedaerah, sebangsa dan setanah air. Bahkan mungkin sanak family mereka juga.
Kiranya, dengan semangat hari kemerdekaan ini, semua pihak, termasuk kita semua harus bisa ‘memerdekan’ Gayo dari penderitaan pascagempa, bukan malah membuat mereka menjadi bersedih, seakan hidup bagaikan yatim piatu yang dihinakan.
Sekali lagi, mari ‘merdeka-kan’ Gayo dari penderitaan pascagempa. Dan untuk ini, bukan hanya tugas dan kewajiban pemerintah semata, namun semua pihak dari seluruh lapisan masyarakat di nusantara ini.
Dan ingat, dari Gayo ini pulalah Indonesia Raya masih terus berkumandang dan berkibar hingga saat ini. Karena itu, damaikan jiwanya merdekakan hatinya.bersambung…
* * *