
MUDIK alias pulang kampung merupakan tradisi warga perkotaan untuk berlebaran di kampung halamannya. Tradisi mudik menjadi wahana silaturrahmi warga perantauan dengan sanak keluarganya. Warga meninggalkan ibukota menggunakan berbagai alat transportasi, termasuk sepeda motor. Akibatnya, jalanan di Jakarta dan kota-kota besar lainnya menjadi lengang, sementara jalanan ke daerah menjadi padat. Sebaliknya, pasca mudik membuat Jakarta bagai kota mati yang tak berpenghuni.
Lantas, bagaimana makna mudik bagi warga korban gempa di Kabupaten Aceh Tengah? Sebelum gempa menghancurkan Desa Serempah di Kecamatan Ketol Aceh Tengah, sebenarnya mereka tidak pernah mengenal tradisi mudik. Namun setelah permukiman mereka ambles ke dasar jurang akibat terjangan gempa 6,2 SR tanggal 2 Juli 2013 lalu, warga Desa Serempah mengungsi ke lapangan sepakbola di Desa Kute Gelime Kecamatan Ketol, sekitar 5 Km dari desanya.
Di lokasi pengungsian, warga Desa Serempah tinggal dibawah tenda dengan pakaian seadanya yang bisa mereka selamatkan. Memang semua kebutuhan sehari-hari selama di lokasi pengungsian tercukupi, termasuk tambahan pakaian, dan air bersih yang selalu dipasok oleh PDAM Tirta Tawar. Waktu berjalan begitu cepat, tanpa terasa sudah sepertiga bulan ramadhan mereka jalani dibawah tenda BNPB berwarna biru dongker itu.
Para pengungsi itu menyatakan bahwa hidup dibawah tenda berbeda dengan hidup di rumah sendiri. Hidup dibawah tenda harus banyak menenggang orang lain, terkadang jadi tidak sabaran. Mereka jadi gerah, gelisah bahkan cenderung emosional. Mereka khawatir, kelamaan dibawah tenda bisa berujung kepada pertikaian antar warga.
Tanda-tanda depresi makin kentara. Akhirnya mereka bersepakat untuk mudik ke desanya, tepatnya ke lahan yang menjadi lokasi baru mereka. Lokasi baru untuk permukiman warga Desa Serempah itu bernama Kute Alam yang terletak sekitar 3 Km dari desa lama. Letaknya tepat di atas bukit dari lokasi Desa Serempah yang sudah ambles itu. Lokasi itu belum ada fasilitas apapun, termasuk rumah dan air bersih. Di tempat itu hanya terhampar lahan kosong yang dipenuhi dengan ilalang.
Namun, mereka tetap bersikeras untuk mudik meskipun harus tinggal di alam terbuka. Apabila penanggung jawab posko pengungsian tidak bersedia mengantar mereka ke lokasi dimaksud, maka mereka akan long march untuk mudik ke desanya. “Yang penting, kami bisa berlebaran di kampung sendiri, lebaran akan lebih bermakna,” kata Mude Jemat, salah seorang tokoh masyarakat Serempah, Minggu (4/8/2013) di Kute Alam, lahan relokasi Desa Serempah.
Demikian tingginya semangat mudik warga di pengungsian itu menyebabkan petugas penanggulangan bencana Kabupaten Aceh Tengah menurunkan semua personilnya untuk menyiapkan pematangan lahan dan menyediakan air bersih. Semua alat berat yang dikoordinir oleh Akmal, karyawan Dinas PU Aceh Tengah diturunkan ke lokasi itu. Waktu yang disediakan untuk menyiapkan lokasi baru dari Desa Serempah itu hanya seminggu, tentu sangat singkat. Kerja keras Akmal dan timnya yang bekerja siang malam, akhirnya targetpun tercapai meski belum sempurna.
Untungnya, karena semangat mudik yang demikian tinggi, warga Serempah bersedia bergotong royong membangun saluran air bersih yang sumbernya terletak sekitar 2,5 Km dari lokasi itu. Dalam waktu seminggu lahan relokasi Desa Serempah dapat disiapkan. Warga Desa Serempah dapat tersenyum meski harus tinggal ditempat yang sangat sederhana. “Senyum warga Desa Serempah itu sesungguhnya makna mudik,” kata Akmal.
Hari ini, Minggu 4 Agustus 2013, seluruh warga Serempah sudah seluruhnya mudik ke Kute Alam. Tidak ada lagi yang tinggal di posko pengungsian, Desa Kute Gelime. Walaupun masih tergolong pengungsi, namun mereka terlihat sangat gembira. Lebih-lebih air bersih dari sumber mata air sudah mengucur melalui paralon berukuran 2,5 inci. Anak-anak dengan baju yang masih melekat dibadannya mandi di pancuran air itu dengan riang gembira.
Semangat mudik memang melahirkan energi luar biasa. Buktinya, dengan pengetahuan memasang tenda yang cukup terbatas, toh akhirnya mereka berhasil mendirikan sendiri tenda BNPB berwarna biru itu. Kemudian, beberapa warga melanjutkan membuat bedeng sederhana sebagai tempat tinggalnya bersama anak isterinya. Disudut lain, terlihat sejumlah warga sedang mendirikan bedeng panjang sebagai lokasi sekolah untuk anak-anak mereka.
Salah seorang ibu rumah tangga yang ditanyai perihal kesiapannya menyambut lebaran, mengaku tidak menyiapkan apapun, tidak ada kue lebaran. Menurut ibu yang dipanggil Inen Win (50) itu, sangat bersyukur dapat mudik ke Kute Alam. Lebaran tahun ini, tegas Inen Win, harus mereka jalani dengan berbagai keterbatasan karena harta bendanya sudah habis bersama amblesnya desa mereka. “Masih diberi kesempatan hidup dan sehat sampai hari ini, itu sudah luar biasa bagi saya,” pungkasnya. (Muhammad Syukri | Sumber : Kompasiana)