Oleh. Drs. Jamhuri, MA[*]
Shalat tarawih merupakan shalat sunat yang dikerjakan setelah shalat isya di bulan ramadhan, kendati ada petunjuk dari Nabi untuk melaksanakan shalat tarawin ini di waktu menjelang akhir malam sampai menjelang waktu subuh, namun sudah menjadi kebiasaan atau tradisi khususnya dalam masyarakat kita untuk melaksanakan selesai shalat isya secara berjamaah. Shalat ini dilakukan dengan rakaat yang beragam, ada yang melaksanakannya 11 rakaat dan ada juga yang melaksanakannya 23 rakaat.
Keberagaman ini seharusnya membawa rahmat bagi semua orang Islam namun yang banyaknya membawa laknat, karena keberagaman ini disikapi dengan perbedaan yang pertentangan dan saling memfonisnya dengan sah dan tidak sah. Mereka yang mengamalkan 11 rakaat mengatakan yang 23 rakaat tidak sah dan mereka yang mengamalkan 23 rakaat mengatakan yang 11 rakaat tidak sah.
Ketika saling memfonis antara mereka yang mengatakan shalat mereka sah dan shalat orang lain tidk sah, mereka tidak menggunakan dalil atau hanya mengetahui dalil dari apa yang mereka amalkan dengan tidak memperdulikan apakan amalan orang punya dalil atau tidak. Tulisan ini mencoba memberi informasi tentang shalat tarawih dengan menggunakan metode tanawwu’ al-ibadah (keberagaman dalam beribadah), metode ini pernah dikembangkan oleh Ibn Taimiyah.
Contoh ibadah seperti ini banyak, disamping shalat tarawih juga cara whudu’ rasul. Rasulullah pernah berwudhuk satu-satu kali, dua-dua kali dan juga pernah tiga-tiga kali dalam membasuh dan menyapu anggota wudhu’nya. Ketiga riwayat ini shahih dan ketiganya merupakan hadis fi’li Rasul, artinya sahabat melihat Rasul beramal satu kali, dua kali dan juga tiga kali. Tidak ada ungkapan dari Nabi yang mengatakan lebih baik satu, dua atau tiga kali tetapi ketiganya pernah dilakukan Nabi, untuk ini juga tidak dapat kita katakan bahwa mereka yang melakukan tiga kali berarti telah melakukan satu atau dua kali, demikian juga dengan mereka yang telah melakukan dua kali berarti telah melakukan satu kali dan belum melakukan tiga kali, hal ini dipahami karena ketiganya mempunyai dalil masing-masing.
Sedang untuk shalat tarawih Rasulullah SAW bersabda :
Shalat Tarawih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam : Dari Abu Salamah bin ‘Abdirrahman, dia mengabarkan bahwa dia pernah bertanya pada ‘Aisyah r. a., “Bagaimana shalat malam Rasulullah SAW. di bulan Ramadhan?”. ‘Aisyah mengatakan,
مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah jumlah raka’at dalam shalat malam di bulan Ramadhan dan tidak pula dalam shalat lainnya lebih dari 11 raka’at.” (HR. Bukhari no. 1147 dan Muslim no. 738)
Dari Jabir bin ‘Abdillah r.a., beliau menuturkan, “Rasulullah SAW pernah shalat bersama kami di bulan Ramadhan sebanyak 8 raka’at lalu beliau berwitir. Pada malam berikutnya, kami pun berkumpul di masjid sambil berharap beliau akan keluar. Kami terus menantikan beliau di situ hingga datang waktu fajar. Kemudian kami menemui beliau dan bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami menunggumu tadi malam, dengan harapan engkau akan shalat bersama kami.” Beliau SAW menjawab, “Sesungguhnya aku khawatir kalau akhirnya shalat tersebut menjadi wajib bagimu.” (HR. Ath Thabrani, Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa derajat hadits ini hasan. Lihat Shalat At Tarawih, hlm. 21)
Menurut Ibnu Hajar Al Haitsamiy mengatakan, “Tidak ada satu hadits shahih pun yang menjelaskan bahwa Nabi SAW. melaksanakan shalat tarawih 20 raka’at. Adapun hadits yang mengatakan “Nabi SAW. biasa melaksanakan shalat (tarawih) 20 raka’at”, ini adalah hadits yang sangat-sangat lemah.” (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Quwaitiyyah, 2/9635)
Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Adapun yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari hadits Ibnu ‘Abbas bahwa Rasulullah SAW shalat di bulan Ramadhan 20 raka’at ditambah witir, sanad hadits itu adalah dho’if. Hadits ‘Aisyah di atas yang mengatakan bahwa shalat Nabi tidak lebih dari 11 raka’at juga bertentangan dengan hadits Ibnu Abi Syaibah ini. Padahal ‘Aisyah sendiri lebih mengetahui seluk-beluk kehidupan Rasulullah SAW. pada waktu malam daripada yang lainnya. Wallahu a’lam.” (Fathul Bari, 6/295)
Dalam hadis yang lain Nabi bersabda :
كَانَ صَلاَةُ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً . يَعْنِى بِاللَّيْلِ
“Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di malam hari adalah 13 raka’at.” (HR. Bukhari no. 1138 dan Muslim no. 764). Sebagian ulama mengatakan bahwa shalat malam yang dilakukan Nabi SAW. adalah 11 raka’at. Adapun dua raka’at lainnya adalah dua raka’at ringan yang dikerjakan oleh Nabi SAW. sebagai pembuka melaksanakan shalat malam, sebagaimana hal ini dikatakan oleh Ibnu Hajar dalamFathul Bari (4/123, Asy Syamilah).
Selanjutnya bolehkah menambah rakaat shalat selain dari yang disebutkan di atas yaitu 11 rakaat ?
Mayoritas ulama berpendapat boleh boleh menambah raka’at dari yang dilakukan oleh Nabi SAW. menurut Ibnu ‘Abdil Barr, “Sesungguhnya shalat malam tidak memiliki batasan jumlah raka’at tertentu. Shalat malam adalah shalat nafilah (yang dianjurkan), termasuk amalan dan perbuatan baik. Siapa saja boleh mengerjakan sedikit raka’at. Siapa yang mau juga boleh mengerjakan banyak.” (At Tamhid, 21/70)
Yang membenarkan pendapat ini adalah dalil-dalil berikut.
Pertama, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خِفْتَ الصُّبْحَ فَأَوْتِرْ بِوَاحِدَةٍ
“Shalat malam adalah dua raka’at dua raka’at. Jika engkau khawatir masuk waktu shubuh, lakukanlah shalat witir satu raka’at.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Berbagai Pendapat Mengenai Jumlah Raka’at Shalat Tarawih
Jadi, shalat tarawih 11 atau 13 raka’at yang dilakukan oleh Nabi SAW. bukanlah pembatasan. Sehingga para ulama dalam pembatasan jumlah raka’at shalat tarawih ada beberapa pendapat.
Pendapat pertama, yang membatasi hanya sebelas raka’at. Alasannya karena inilah yang dilakukan oleh Nabi SAW. Inilah pendapat Syaikh Al Albani dalam kitab beliau Shalatut Tarawaih.
Pendapat kedua, shakat tarawih 20 rakaat (belum termasuk witir). Inilah pendapat mayoritas ulama seperti Ats Tsur, al-Mubarak, Asy-Syafi’i, Ash-Haabur ra’yi, juga diriwayatkan dari Umar, Ali dan sahabat lainnya. Al-Kasani mengatakan, Umar pernah mengumpulkan para sahabat untuk melaksanakan qiyam Ramadhan lalu diimami oleh Ubay bin Kaab r. a. Lalu shalat tersebut dilaksanakan 20 rakaat. Tidak ada seorangpun yang mengingkarinya sehingga pendapat ini menjadi ijma’ atau kesepakat para sahabat. ‘Ali As Sanhuriy mengatakan, “Jumlah 20 raka’at inilah yang menjadi amalan manusia dan terus menerus dilakukan hingga sekarang ini di berbagai negeri.”
Al Hanabilah mengatakan, “Shalat tarawih 20 raka’at inilah yang dilakukan dan dihadiri banyak sahabat. Sehingga hal ini menjadi ijma’ atau kesepakatan sahabat. Dalil yang menunjukkan hal ini amatlah banyak.” (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9636)
Pendapat ketiga, shalat tarawih adalah 39 raka’at dan sudah termasuk witir. Inilah pendapat Imam Malik. Beliau memiliki dalil dari riwayat Daud bin Qois, dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan riwayatnya shahih. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/419)
Pendapat keempat, shalat tarawih adalah 40 raka’at dan belum termasuk witir. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh ‘Abdurrahman bin Al Aswad shalat malam sebanyak 40 raka’at dan beliau witir 7 raka’at. Bahkan Imam Ahmad bin Hambal melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan tanpa batasan bilangan sebagaimana dikatakan oleh ‘Abdullah. (Lihat Kasyaful Qona’ ‘an Matnil Iqna’, 3/267)
Yang Paling Bagus adalah Yang Panjang Bacaannya
Setelah penjelasan di atas, tidak ada masalah untuk mengerjakan shalat 11 atau 23 raka’at. Namun yang terbaik adalah yang dilakukan oleh Nabi SAW., namun berdirinya agak lama. Dan boleh juga melakukan shalat tarawih dengan 23 raka’at dengan berdiri yang lebih ringan sebagaimana banyak dipilih oleh mayoritas ulama.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ الصَّلاَةِ طُولُ الْقُنُوتِ
“Sebaik-baik shalat adalah yang lama berdirinya.” (HR. Muslim no. 756)
Dari Abu Hurairah, beliau berkata,
عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ نَهَى أَنْ يُصَلِّىَ الرَّجُلُ مُخْتَصِرًا
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang shalat mukhtashiron.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ibnu Hajar –rahimahullah- membawakan hadits di atas dalam kitab beliau Bulughul Marom, Bab “Dorongan agar khusu’ dalam shalat.” Sebagian ulama menafsirkan ikhtishor (mukhtashiron) dalam hadits di atas adalah shalat yang ringkas (terburu-buru), tidak ada thuma’ninah ketika membaca surat, ruku’ dan sujud. (Lihat Syarh Bulughul Marom, Syaikh ‘Athiyah Muhammad Salim, 49/3, Asy Syamilah)
Oleh karena itu, tidak tepat jika shalat 23 raka’at dilakukan dengan kebut-kebutan, bacaan Al Fatihah pun kadang dibaca dengan satu nafas. Bahkan kadang pula shalat 23 raka’at yang dilakukan lebih cepat selesai dari yang 11 raka’at. Ini sungguh suatu kekeliruan. Seharusnya shalat tarawih dilakukan dengan penuh khusyu’ dan thuma’ninah, bukan dengan kebut-kebutan. Semoga Allah memberi taufik dan hidayah.