Maulida
SAYA seorang mahasiswi jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, yang sedang menyusun skripsi. Tinggal di asrama IPPAT Putri sudah hampir empat tahun. Asrama itu tepatnya di jalan Al-Huda Kampung Laksana yang ditinggali kurang lebih berjumlah tujuh puluh mahasiswi. Di asrama tersebut ada yang namanya organisasi pengurus, dan kebetulan saya di percayai sebagai wakil sekretaris.
Setiap ada peringatan Maulid Nabi besar Muhammad SAW, kami selalu mengadakan acara yang lumayan mewah. Sebelum hari H nya kami selalu bergotong royong bersama, masing-masing membersihkan tugasnya yang sudah di tentukan oleh bidang kebersihan.
Suatu siang pada hari sabtu ketika membersihkan asrama, kami memotong pohon-pohon yang sudah rapuh. Kami bingung bagaimana jika mobil yang biasanya datang memungut sampah tidak datang di siang itu. Salah seorang ibu tetangga kami menyaut:
“Kenapa nak ribut-ribut?”
“Ini bu”, jawab salah seorang.
“Sampahnya banyak sekali lagi pula pohonnya besar-besar”.
“Ooo… itu, coba suruh sama kakek yang biasanya pungut-pungut sampah yang memakai becak gerobak tarik. Nanti kasih saja uang seikhlasnya”, jawab sang ibu. Lalu kami menunggu kakek itu, tak lama kemudian kakek itu pun muncul dan memanggilnya.
Dari sekilas kami melihat tubuh si kakek yang sudah agak tua itu, rasanya kami tidak tega untuk menyuruhya. Lalu saya berkata
“Kakek ini sampah kami besar-besar tapi kek, sanggupkah kakek membawanya?
“InsyaAllah sanggup”, jawab sang kakek.
“Tapi kalian siap membantu kakek?”
Kami dengan segera menjawab “sanggup kek!”.
“Nah kalau sanggup mari bantu kakek angkat pohon yang besar ini ke atas gerobak”, perintahnya
Dengan senang hati kami bertiga membantu kakek untuk mengangkat pohon itu ke atas gerobak kakek. Selain pohon-pohon itu ada lagi beras yang sudah lama di simpan oleh kawan-kawan di asrama. Beras itu bisa di katakan tidak layak lagi untuk dimakan. Tiba-tiba kakek itu mengambil sekantong beras itu, dan berkata
“Ini beras kok di buang nak? kalian harus tau nak, di kota ini susah cari beras. Sayangilah orang tua di kampung sana yang mencari rezeki”, kata kakek itu sambil mengikat kantong beras itu di besi gerobaknya.
“Beras ini untuk kakek nak ya!”.
“Ia kek”, jawab saya. Saya sangat terkesan dengan kata-kata kakek, bahwasanya kita selama ini, banyak yang kurang sadar bahwa orang tua kita disana bersusah payah dalam mencari nafkah untuk kita untuk bisa hidup di perantauan orang.
Setelah kejadian itu setiap pukul satu malam saya sering terjaga, mendengar suara kerasak-kerusuk di depan pagar asrama. Lalu saya mengintipnya, ternyata ada seorang bapak-bapak sedang mengutip sampah. Kemudian saya duduk dan merenungkannya, air mata pun menetes dan terbesit dalam hati, beginilah seorang ayah dalam membesarkan anak-anaknya, tidak mengenal waktu dalam mencari sesuap nasi untuk si buah hatinya.
Aku berpikir beginilah cerminan para orang tua dalam membiayai kuliah anak-anaknya, janganlah sekali-kali menyia-nyiakan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain. Termasuk penggunaan waktu, karena orang tua mengharapkan anak-anaknya kelak akan berhasil dan menjadi kebanggaan orang tua. (Kurator: LG-007)
–
Maulida, lahir pada tanggal 23 September 1991 di Aceh Timur. Saat ini masih tercatat sebagai mahasiswi pada Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam. Gadis manis ini mempunyai motto “Hidup ini sementara, maka jangan sia-siakan waktu anda, terus maju pantang mundur”.