Ramuan Panjang Umur dari Gayo Writers Camp

oleh

Catatan Perjalanan : Fauziah*

Wahai jiwa, teguhkan jemarimu karena tulisanmu diberi jatah hidup lebih lama.

Demikian kira-kira maksud petuah dari Dr Joni MN M.Pd BI, salah satu pemateri dalam acara Gayo Writers Camp (GWC).

“Panjang umur adalah pinta manusia, padahal umur sudah ditentukan akhir kisahnya, maka menulislah, pesan Pak Jon, sapa kami kepada beliau. Penulis dan pembaca akan tetap merasakan manfaat dari tulisan walaupun penulis sudah tutup usia.

Manfaat bisa dirasakan banyak orang apabila pesan dalam tulisan sudah tersampaikan dengan baik kepada pembaca. Banyak penulis yang menangguhkan kerampungan tulisan mereka karena ingin menghasilkan karya yang sempurna. Ada yang kekurangan ide, ada yang kelebihan ide.

Barangsiapa bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar (2). Dan memberinya rezeki dari arah yang tak disangka dan barangsiapa bertawaqal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya.. firman Allah, surat At-Thalaq (65) ayat ke 2-3. Salah satu keperluan seorang penulis adalah ide atau gagasan. Keperluan ini akan dicukupkan oleh Tuhan apabila kita berserah diri kepadaNya dalam proses penulisan. Maka menulislah dan menjadi terkenal untuk mengenalkan Allah, bukan mengenalkan Allah untuk menjadi terkenal. Luruskan niat sebab Allah benci jiwa yang mendua.

Banyak ide belum tentu masalah selesai. Keperluan seorang penulis bukan hanya ide tetapi juga keteguhan hati. Hal ini terbukti dari curhatan seorang anggota FLP Aceh Tengah kepada Ibu Himmah Tirmikoara. Beliau mengaku mengoleksi folder berisi banyak gagasan yang sudah diramu menjadi beberapa tulisan yang tanggung alias belum rampung.

Beliau merasa takut kehilangan gagasan yang biasa mendadak beterbangan dalam benak sehingga merasa perlu untuk segera mengurung mereka dalam sangkar yang disebut dengan istilah new folder. Calon pembaca beliau ibarat anak yang merasa lapar tetapi belum juga bisa merasakan hidangan seorang ibu. Ibu atau penulis ini hanya senang meracik bumbu lalu membeli bahan baru untuk dijadikan racikan bumbu yang baru, bumbu yang diracik hanya tersimpan di dalam banyak toples, tidak diolah menjadi makanan penambal perut.

Saya melihat beliau menyimpan gagasan tidak hanya di dalam folder tetapi juga di dalam kepala. Ini terlihat dari karakter beliau yang sama seperti Pandji Pragiwaksono, stand up komedian dengan delivery yang mengalir deras. Ide yang begitu banyak mungkin menyulitkan beliau memprioritaskan tulisan mana yang harus diselesaikan terlebih dahulu.

Saya menduga, pesan yang ingin beliau sampaikan tidak begitu perlu untuk segera disampaikan kepada pembaca sehingga beliau merasa nyaman meracik bumbu karena beliau merasa tidak ada yang menunggu hidangan beliau.

Saya menyarankan untuk menulis tentang Tuhan dan keagungan karya Tuhan, bahkan budaya yang merupakan hasil karya manusia juga berasal dari karya Tuhan berupa ilmu dan kreatifitas. Tulisan bertema spiritual sebaiknya diprioritaskan untuk segera dirampungkan sebab dalam surat Adz-Dzariat (51) ayat 56, Allah berfirman Tidak kuciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu. Ini artinya, setiap kata, kalimat baik secara lisan maupun tulisan, setiap langkah, setiap helaan nafas seharusnya dijadikan sarana untuk mengabdi kepada Allah.

Dia menghancurkan masa kini sambil mengkhawatirkan masa depan, tapi menangis di masa depan dengan mengingat masa lalunya. (Sayyidina Ali bin Abi Thalib). Berhenti resah dan menulislah sampai kisah menemukan hilirnya sehingga pesan diterima dan sempat diamalkan oleh pembaca.

Dr Joni MN MPd BI menambahkan, tulisan sangat berpengaruh dalam mengubah sikap dan perilaku. Salah satu bacaan yang mengubah sikap saya adalah buku berjudul Dalam Dekapan Ukhuwah. Tulisan Salim A. Fillah dalam buku ini mengubah tafsiran saya terhadap ungkapan “Katakan yang benar meskipun pahit”. Saya dulu berpikir bahwa kebenaran harus tetap disampaikan meskipun pahit bagi orang yang mendengarkan.

Ternyata, konteks ungkapan ini membuktikan bahwa pahit yang dimaksud adalah pahit bagi penutur, bukan bagi pendengar.
‘Katakan yang benar, begitu Rasulullah bersabda dalam riwayat Al-Baihaqi dari Abu Dzar Al-Ghiffari, meskipun pahit. Beberapa ulama fiqih memasukkan hadits ini dalam pembahasan Kitaabut Tijarah, kitab perdagangan. Khususnya bab tentang para pedagang. Konteksnya adalah, agar para pedagang berlaku jujur dan terbuka terkait keadaan barang dagangannya (Salim A.Fillah, 2011: 116).

Kami menyantap hidangan dan kopi hangat khas Gayo yang disediakan tim GWC sembari terus menyimak nasehat Dr Joni MN MPd BI. Telinga kami belum bosan mendengar petuah beliau sebab mata kami masih dimanjakan oleh keteduhan danau Lut Tawar dan jiwa kami pun terasa hangat .

Untuk mengubah sikap dan perilaku manusia, penulis harus mempertimbangkan nilai-nilai, baik yang terkandung dalam agraba/hadis maja/kata-kata bijak maupun dalam produk dari hadis maja itu sendiri, seperti kebijakan lokal atau aturan yang berlaku dalam masyarakat.

Saya membayangkan apabila saya menjadi penulis sebelum saya mengerti dan mempertimbangkan nilai dari ungkapan “Katakan yang benar meskipun pahit”, maka bukan kebenaran tapi pembenaran diri pembaca yang akan tampak.

Pembenaran diri ini justru akan berakibat fatal. Kebenaran yang sebenarnya sudah dipahami akan ditolak/disanggah oleh pembaca sebab merasa harga dirinya terluka.

Orang-orang yang mendengar itu merasakan bahwa kita bukan membawakan kebenaran bagi mereka. Kita hanya menunjukkan diri sebagai yang paling benar, mengungkit-ungkit salah mereka, merasa bangga sebab memenangkan hujjah, dan kadang juga kita serasa mempermalukan mereka (Salim A.Fillah, 2011 : 119-120).

Bayangan suram tentang pembaca yang terluka harga dirinya buyar ketika Misna, ketua panitia GWC menanyakan cara yang tepat untuk mengkritik sebuah tulisan. Saya mengingat Bapak Joni menjawab pertanyaan ini dengan tiga poin.

Pertama, kritikan harus disertai solusi. Orang akan tersinggung apabila kita hanya mengkritik, tanpa masukan atau solusi. Solusi tersebut tidak harus tepat tapi minimal kita menunjukkan niat bahwa kita berupaya untuk memperbaiki kesalahan dari penulis tersebut.

Kedua, bahasa majas/tamsilan bisa digunakan untuk mengkritik secara tidak langsung. Majas adalah salah satu cara untuk mengurangi resiko sakit hati bagi orang yang dikritik sebab kritikan ini akan dibaca banyak orang. “Nasehat di depan banyak manusia terasa bagai hinaan yang membuat hatiku luka, (Assyafii) .

Salah satu perspektif yang dicontohkan Dr Joni adalah ayat dalam Al-Quran. Apabila kita bermaksud mengkritik sebuah tulisan yang bisa menyulut permusuhan, kita bisa menyisipkan ayat 125 dari surat Annahl atau ayat ke 34 dari surat 41. Allah berfirman dalam surat Fusshilat (41) ayat ke 34, .Tolaklah kejahatan dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang diantaramu dan antara dia ada permusuhan, seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.

Dr Joni menyingkap rahasia bahwa beliau senantiasa membawa kertas dan pulpen sehingga gagasan yang mendadak ada dalam benak beliau akan langsung direkam menjadi satu kalimat bahkan satu kata.

Catatan ini menjadi kerangka pikiran. Beliau kelak akan mengembangkan kerangka pikiran dalam catatan tersebut menjadi sebuah karya tulis. Beliau juga mengumpulkan sumber data dari beragam disiplin ilmu yang beliau sebut dengan istilah kapita selekta. Pesan terakhir Dr.Joni adalah penulis harus memiliki karakter sendiri.

Karakter/cirikhas adalah hal penting yang menarik minat pembaca. Karakter ini bisa dibentuk dengan cara memperjelas tujuan dari sebuah tulisan.

Materi kedua disampaikan oleh Ibu Himmah Tirmikoara. Beliau mengungkapkan beberapa kebiasaan beliau dalam menulis, yaitu berkomitmen untuk selalu menghasilkan satu tulisan setiap menyelesaikan satu bacaan.

Dulu, beliau banyak mendapatkan ide setiap selesai membaca komik, seperti ide tentang latar tempat dan latar suasana. Selain itu, beliau berpesan agar penulis tidak meremehkan pengeditan mandiri.

Materi ketiga disampaikan oleh Bapak Win Ruhdi Bathin. Beliau membangkitkan komitmen dan konsistensi dalam menulis. Pesan beliau adalah penulis sebaiknya mendisiplinkan diri dan menjadwal waktu untuk menulis.

Setiap orang pasti mengetahui kapan waktu luang masing-masing. Manfaatkan dan tetapkan waktu tersebut untuk menulis. Perbanyak membaca buku sehingga kita akan kaya dengan diksi. Biasakan mencatat kosakata atau diksi baru setiap selesai membaca.

Ketiga materi sangat berkesan. Khususnya, pesan yang disampaikan Dr Joni bahwa doa panjang umur ternyata bisa dikabulkan apabila kita menjadi seorang penulis. Ini disebabkan manfaat dari sebuah tulisan akan tetap dirasakan oleh pembaca maupun penulis yang sudah meninggal dunia.

Danau Lut Tawar mulai bersembunyi di dalam selimut malam. Perut mulai lapar. Kami membantai ikan dengan jeruk nipis, cabe rawit, bara api dan bara semangat untuk menyimak cara menerbitkan buki dari bang Riazul Pauleta.

Saya beruntung menjadi salah satu peserta Gayo Writers Camp sebab saya bisa bertemu dengan orang-orang hebat, penulis dan calon penulis yang berhasil menularkan semangat mereka untuk menghasilkan karya.

Saya juga bisa bermalam di bawah tenda untuk pertama kali, tidur menyatu dengan tanah Gayo sambil mendengar lantunan senandung dari danau Lut Tawar, saya merasa aman dan nyaman karena api unggun yang terjaga sampai pagi.

Pagi menyapa, tersibak wangi jagung bakar dari luar tenda. Pandangan pertama jatuh kepada bungkusan manusia (sleepingbag) yang terkapar di atas tikar. Mereka tertidur tanpa tenda diguyur gerimis. Tim GWC menjaga kami sampai pagi. Saya kagum.

*Penulis adalah anggota Forum Lingkar Pena (FLP) Banda Aceh, lahir di Banda Aceh tahun 1989, alumni Fakultas Ilmu Budaya UNPAD, Bandung.

Tulisan ini merupakan hasil dari kegiatan Gayo Writers Camp (GWC) yang diadakan oleh Forum Lingkar Pena (FLP) Takengon pada 22-23 November 2019.

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.