Catatan Riazul Iqbal*
Saya ke Takengon dalam rangka menghadiri Gayo Writers Camp (GWC) yang berlangsung selama dua hari satu malam, 22-23 November 2019, yang digelar oleh Forum Lingkar Pena Cabang Takengon. Tema yang diangkat adalah “Membudayakan Menulis dan Menuliskan Budaya”.
Di hari pertama, kami diberikan materi “Mengapa Budaya Harus Ditulis” oleh pemateri yang merupakan pakar sejarah Gayo, Dr. Joni, MN, M.Pd.B.I. Kemudian dilanjutkan materi kedua oleh Himmah Tirmikoara, dan yang terakhir disampaikan oleh Win Ruhdi Batin.
Setelah cukup dengan teori, hari kedua kami diajak untuk bertemu dengan saksi sejarah. Kami peserta GWC yang berasal dari Banda Aceh, Bener Meriah dan Pidie, diajak melihat cagar budaya peninggalan Reje Baluntara di Dataran Tinggi Gayo, keturunan keempat dari Reje Bukit, bernama Reje Syeh Syamsudin di rumah peninggalan kakeknya.
Kami disambut ramah dan beliau bercerita bahwa dulu ada empat kerajaan besar di negeri di atas awan ini. Termasuk Kerajaan Linge, Kerajaan Bukit, Kerajaan Syiah Utama dan Kerajaan Patiamang, sekarang Blangkejeren. Kakeknya keturunan Reje Bukit dulu yang memimpin wilayah sekitar danau Lut Tawar. Kakeknya berjuluk Reje Baluntara yang berarti raja hutan belantara.
Rumah raja yang disebut umah pitu ruang (rumah adat Gayo dengan 7 ruangan) milik Reje Baluntara ini berlokasi di Kampung Toweren, Kecamatan Lut Tawar. Bisa dikatakan satu-satunya peninggalan rumah Urang Gayo yang masih berdiri tegak dalam usianya yang diperkirakan lebih dari 100 tahun.
Salah satu keistimewaan Umah Reje Baluntara yang kerap dijadikan lokasi pengambilan gambar oleh stasiun televisi ini adalah hiasan ornamen kerawang Gayo dengan berbagai bentuk yang menghias beberapa bagiannya.
Rumah ini menjadi daya tarik wisata dan sudah dijadikan cagar budaya oleh Dinas Kebudayaan setempat. Syeh Syamsudin mengatakan rumah raja ini memiliki tujuh ruang, terdiri dari empat kamar dan tiga ruangan untuk melayani rakyat. Rumah yang dibangun tahun 1860 ini masih tegak berdiri menghadap Danau Lut Tawar.
Konstruksi rumah panggung berbahan kayu dengan ukuran 9 X 12 meter ini memiliki empat kamar, dua ruang keluarga dan beranda yang dibangun menurut pola tradisional dengan tiang kayu berukuran besar dan diberi pasak.
Rumah adat ini didirikan penuh dengan filosofi pada ukiran dindingnya. Pemahat didatangkan dari Jawa dan Cina, untuk memahat ukiran yang melambangkan keseharian masyarakat Toweren saat itu.
Ada ukiran yang sering kita lihat di rumah adat Aceh yang berbentuk rantai, melambangkan hubungan antar warga yang akur. Ada ukiran ikan dan ayam yang melambangkan mata pencaharian warga selain bertani di daerah subur ini.
Masyarakat setempat juga mencari ikan dan berternak di sekitar danau terluas di Aceh ini. Yang sangat unik adalah ukiran naga sebagai binatang reptil paling ditakuti di masa itu. Naga ini menurut pengakuannya tak pernah dilihat langsung oleh Pak Syamsuddin. Akan tetapi beliau menyebutkan bahwa dulu naga dipercaya sebagai penjaga danau dan akan muncul kalau orang-orang tak patuh pada peraturan adat.
Menurut legenda lain ada dua naga besar di daratan ini, yaitu naga jantan dan betina yang diusir dari daratan Cina karena tidak punya keturunan. Naga tersebut pernah bertarung dengan Tuan Tapa dan daerah pertarungan itu sekarang menjadi Tapaktuan sampai dibuatkan patung naga yang sekarang menjadi daya tarik wisata di sana. Juga ada legenda lain yang mengisahkan bahwa naga di dinding rumah Reje Toweren ini adalah naga hulu yang bertarung dengan naga hilir dari Sungai Peusangan.

Ketika kami bertanya tentang sejarah penamaan Kampung Toweren ini, Reje Syeh Syamsudin menyatakan bahwa ada yang bilang asal usul orang di kampung ini berasal dari Iran. Toweren adalah logat di Gayo klasik dari nama Teheran, ibukota Iran. Ada juga yang bilang dari kata ‘terheran’, karena keturunan keluarga kerajaan Baluntara benar-benar terpilih dari segi fisik. Bahkan untuk menikahi putri-putri raja dipastikan harus putra mahkota juga, sehingga putri raja yang lahir begitu cantik dan membuat orang yang melihatnya terheran-heran (terpesona).
Pemilihan keluarga baru ini dimaksudkan agar raja selanjutnya terpilih tidak asal-asalan. Putri tetap harus menerima pilihan ayahnya, sang raja, yang mencarikan pangeran terbaik untuk dinikahkan dengan putrinya.
Rumah adat ini dibangun dengan kayu Jempa, kayu yang terkuat. Masih dijaga agar tetap seperti pertama dibangun tanpa pengecatan. Hanya bagian atap saja yang aslinya dari ijuk diganti dengan seng tebal karena takut mudah terbakar di masa konflik.
Rumah ini pernah dikunjungi oleh mahasiswa Universitas Indonesia bersama profesor mereka. Ratusan mahasiswa ini mengatakan bahwa istana raja ini masih seperti sediakala, sama seperti buku referensi mereka yang mereka dapatkan dari perpustakaan di Amsterdam, Belanda.
Ternyata rumah ini sudah pernah diteliti dan didokumentasi Belanda saat menjajah Indonesia ratusan tahun lalu. Tapi dalam foto di buku kolonial itu terdapat bagunan satu lagi di belakang rumah yang dimanfaatkan sebagai dapur.
Sayangnya sudah dirobohkan dan bangunan dapur ini sudah tidak ada lagi. Tinggal tiang-tiangnya saja disimpan di bawah rumah panggung ini. Dibuku itu pula, ada sebuah lukisan ditemukan Reje Baluntara juga memakai kopiah Aceh, sama seperti yang dipakai oleh Teuku Umar.
Peninggalan rumah adat Gayo asli ini menjadi tempat wisata sejarah sampai sekarang. Rumah Reje Baluntara ini menjadi rujukan bagi masyarakat maupun pengiat wisata purbakala yang ingin melihat bagaimana rumah adat Gayo yang masih asli.
*Penulis adalah ketua Forum Libgkar Pena (FLP) Aceh. Tulisan ini merupakan hasil dari kegiatan Gayo Writers Camp yang diadakan oleh Forum Lingkar Pena (FLP) Takengon pada 22-23 November 2019.