Kejujuran Masyarakat Pulo Aceh

oleh

Oleh : Fauzan Azima*

Ketika pertama kali tim Dinas Sosial Aceh menginjakan kaki di Pulo Aceh, tepatnya di Gampong Laping, Kemukiman Pulo Breuh Utara, pada pertengahan Maret 2019 kami disambut hangat oleh inlander di sana. Semula kami mengira sikap itu hanya modus untuk kepentingan sesaat atau mereka menyembunyikan sesuatu dengan keramahtamahan.

Waktu terus berjalan, tidak ada yang berubah dari mereka. Cerita mereka lepas, seolah sudah mengenal kami bertahun-tahun. Mereka membantu mewujudkan apa yang kami butuhkan. Bahkan pada malam hari mereka rela mencari ikan di laut dan madu hutan untuk disuguhkan kepada kami. Sungguh “adat geutanyoe peumulia jamee” telah menjadi tradisi real di Pulo Aceh, pulau paling barat Indonesia.

Pada Ahad, 17 Nopember 2019 kami ke Pulau Nasi, pulau di sebelah selatan Pulau Breuh. Sikap masyarakat di sana sama seperti penduduk Gampong Laping, juga ramah dan bersahabat. Tidak ada kesulitan bagi kami mendapatkan data dan maping rencana pelaksanaan Hari Lanjut Usia Nasional (HALUN) pada 8 Desember 2019 mendatang.

Membangun suasana akrab bukan saja kepada kami tim Pemerintah Aceh, tetapi juga kepada orang lainpun demikian, bahkan warga negara asing sekalipun sikap mereka tetap ramah. Hanya mungkin keseganan mereka tidak cakap dalam berbahasa Inggris saja yang menghambat komunikasi. Sekali lagi tidak hendak tidak menghormati tamu.

Tidak hanya keramahtamahan yang menjadi karakter masyarakat Pulo Aceh, tetapi yang lebih penting adalah sikap jujur yang menjadi pesan bersambung antar mereka. Saling mengingatkan tentang makna kejujuran adalah modal hidup mereka.

Apa yang berlaku bagi masyarakat Pulo Aceh sendiri, begitu juga bagi pendatang. Kalau harga satu botol Aqua Rp 5 ribu, maka bagi pendatangpun demikian. Mereka tidak ada niat “aji mumpung” kebetulan orang asing datang, kesempatan untuk “memerasnya.” Masyarakat Pulo Aceh jauh dari sifat itu.

Jujur dalam perkataan, sikap dan perbuatan telah terpatri dalam diri masyarakat Pulo Aceh. Sikap “gleh ate” telah memperpanjang usia harapan hidup mereka. Dari 5000 jiwa, lebih dari 300 orang lanjut usia di sana. Rasanya memang sangat tepat acara HALUN dilaksanakan di Pulo Aceh, dalam rangka memuliakan lansia.

Kejujuran memang bukan berbentuk materi, tetapi bisa sebagai magnet menghasilkan materi. Bali misalnya, masyarakatnya juga terkenal jujur, yang menjadi berkah bagi negerinya. Terlepas mereka mengijinkan “tamunya” bertelanjang, tetapi kalau kita baca sejarah panjang kemajuan negeri mereka tidak lepas dari karakter jujur.

Kita jangan berkecil hati dengan ungkapan, “Bali yang telanjang, Aceh yang tsunami.” Pasti ada sesuatu dibalik sesuatu yang merupakan rahasia Allah SWT, kecuali sedikit manusia yang dicerahkan. Pada intinya kita wajib selalu berprasangka baik kepada Allah SWT dan percaya seratus persen atas Kemahaadilannya.

Perbuatan dosa bisa terhalang oleh kejujuran. Salah seorang ahli maksiat; penzina, penjudi dan pemabuk, mendatangi Rasulullah SAW sekali gus minta izin untuk meneruskan perbuatan dosanya. Rasulullah menjawab, “Silahkan! Asal dengan syarat engkau jujur,” tetapi dengan syarat yang begitu mudah itulah “sang pendosa” itu kembali mendatangi Rasulullah untuk menyatakan pertobatannya. Begitulah prilaku jujur bisa sebagai benteng dari perbuatan maksiat.

Kita patut terharu dengan kebaikan masyarakat Pulo Aceh, meskipun mereka hidup tidak beruntung secara ekonomi, terpencil dan terisolir, akan tetapi mereka tidak akan mengarang cerita kesedihan untuk dibelaskasihani. Inilah negeri harapan kebaikan seperti cahaya di ujung lorong yang gelap gulita dengan keburukan.

Pulo Aceh bisa menjadi arah “kiblat” kebaikan manusia di masa depan. Tidaklah berlebihan rasanya, kalau kita nyatakan, siapapun Anda, belajarlah adab keramahtamahan dan kejujuran kepada masyarakat Pulo Aceh yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.

(Pulo Aceh, 17 November 2019)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.