Jatuhnya Benteng Pëparik (Bagian 3) ; Kegalauan Sang Rëjë Ciq

oleh

Oleh : Win Wan Nur*

Rëjë Ciq Pëparik membuka sampul surat dengan segel terbuka dan membaca kembali isinya. Sesungging senyum tampak di wajahnya. Matanya menatap langit lalu menghela nafas panjang.

Kertas itu adalah surat dari van Daalen yang meminta rëjë- rëjë Gayo untuk menyerah dan tunduk pada kekuasaan Belanda. Dirinya bersama rëjë- rëjë Gayo yang lain menolak untuk tunduk. Sultan memang sudah tertangkap tapi dulu amanat kerajaan Aceh sudah diberikan kepada Tengku Chik di Tiro Muhammad Saman, sebelum dirinya gugur karena diracun lebih dari satu dasawarsa yang lalu.

Rëjë Ciq Pëparik mengingat bagaimana dulu di masa hidupnya Tengku Chik di Tiro Muhammad Saman berkeliling ke seluruh wilayah Aceh untuk menggelorakan semangat Perang Sabil. Meski dirinya kini telah gugur, tapi semangat perang suci ini begitu menggelora di dada rakyat Aceh, termasuk dalam dirinya dan seluruh rakyat Pëparik.

Di mata Rëjë Ciq Pëparik , Tengku Chik di Tiro Muhammad Saman adalah jenis pemimpin yang sebenar-benarnya pemimpin. Dia bukan hanya berani mengorbankan pengikut dan melindungi keluarganya sendiri. Justru sebaliknya, keluarganyalah yang menjadi contoh paling nyata dari gelora semangat perang sabil.

Ketika ulama ini gugur, perjuangannya tidak terhenti. Anak-anaknya yang juga menyandang gelar Tengku Chik Di Tiro secara bergantian melanjutkan perjuangannya dan satu persatu gugur sebagai syuhada. Saat ini, tiga anak Tengku Chik di Tiro Muhammad Saman yakni Teungku Muhammad Amin Bin Muhammad Saman, Teungku Abdussalam Bin Muhammad Saman dan Teungku Sulaiman Bin Muhammad Saman yang secara bergantian mengambil alih posisi ayahnya sebagai Wali Negara Aceh juga sudah gugur menyusul sang ulama kharismatis ini.

Saat ini yang meneruskan amanah sebagai pemegang tampuk kekuasaan Aceh adalah sang putra keempat yang bernama Teungku Ubaidillah Bin Muhammad Saman.

Semangat jihad seperti inilah yang telah tertanam didalam jiwa masyarakat Gayo dan Pëparik secara khusus. Mereka sama sekali tidak takut dengan kematian karena jihad di jalan Allah. Rëjë Ciq Pëparik dan seluruh rakyatnya sangat sadar bahwa kematian itu adalah hal yang pasti. Kematian akan segera tiba meskipun bukan hanya dalam beperang melawan Kolonial Belanda, dalam hidup, yang namanya kematian itu pasti akan tiba.

Tapi meski kematian itu pasti, melawan, mempertahankan hak dan iman pada Allah. Wajib hukumnya. Meski Belanda sedemikian kuat, kalau Allah sudah berkehendak, mereka bukan mustahil untuk dikalahkan.

Rëjë Ciq Pëparik mengenang kejadian beberapa tahun yang lalu, ketika pasukan Belanda di bawah pimpinan Colijn mengejar Sultan sampai ke daerah Lumut. Dirinya bersama Pang Liyës dan pejuang asal Gayo Luës bergabung dengan pasukan dari Lingë untuk menghadang pasukan kafir tersebut.

Saat itu di Burni Intim-Intim, mereka bersama pasukan Lingë mengendap di tebing-tebing pegunungan itu. Dilihatnya, pasukan Colijn sedang bergerak tanpa menyadari kehadiran mereka. Lalu secara tiba-tiba mereka menghujani pasukan Belanda itu dengan tembakan dari Karaben dan hunjaman tombak. Rëjë Ciq Pëparik masih mengingat bagaimana kocar-kacirnya pasukan kafir itu menghadapi serangan mereka dan akhirnya mereka mundur, tak mampu menyeberang ke Gayo Luës.

Tapi memang kali ini situasinya sangat berbeda. Tadinya Rëjë Ciq Pëparik dan rëjë- rëjë lain di Gayo Luës sempat berpikir kalau van Daalen beserta pasukannya akan sulit menembus pertahanan masyarakat Lumut dan Burni Intim-intim. Namun ternyata, tak mereka duga sama sekali van Daalen begitu mudah melewati hadangan itu dan tiba-tiba mereka sudah berada di Gayo Luës. Dan sebagaimana laporan dari Pang Liyës, mereka bahkan sudah meluluh lantakkan Pasir.

Harus diakui kalau situasi ini menimbulkan kebingungan dalam mempersiapkan pertahanan. Benteng dibuat dengan tergesa-gesa. Perlawanan pun disiapkan seadanya. Satu-satunya senjata terkuat yang mereka punya saat ini hanyalah semangat perang sabil, semangat jihad tanpa sedikitpun rasa takut dalam menghadapi kematian.

Jauh sebelum van Daalen masuk ke wilayah Gayo Luës. Rëjë Ciq Pëparik sudah menceritakan situasi yang akan mereka hadapi ini kepada seluruh rakyatnya dalam sebuah pertemuan dadakan yang dia adakan di kediamannya.

“Bagaimana pendapat kalian? Ada yang mau mundur dan lari karena situasi seperti sekarang?” tanyanya waktu itu.
“Tidaaak,” jawab rakyat Pëparik hampir bersamaan.

Dalam pertemuan itulah kemudian diputuskan untuk membuat benteng pertahanan. Benteng itu diputuskan dibangun di Gemuyang yang termasuk dalam wilayah Pëparik Dekat. Pëparik Gaib diputuskan untuk dikosongkan dan semuanya berkumpul di benteng Gemuyang.

Matahari terus naik, Rëjë Ciq Pëparik menyapu pandangan matanya ke seluruh sudut benteng. Dia saksikan wajah-wajah rakyatnya yang penuh ketabahan menyambut ajal yang mungkin akan datang hari ini.

Tak satupun wajah takut dia temukan. Semua sudah siap. Sebagaimana dirinya, semua rakyatnya dia lihat mengenakan pakaian terbaik yang mereka punya. Menghias diri dengan perhiasan terbaik yang mereka punya. Mereka semua tak ingin tampil asal-asalan dalam hari terpenting mereka. Hari di mana kemungkinan sangat besar akan menghadapi kematian suci, yang langsung mengantarkan mereka ke Jannatun Na’iim yang penuh kenikmatan.

Mata Rëjë Ciq Pëparik kemudian tertumbuk pada dua anak perempuannya dan anak-anak perempuan Pëparik yang lain. Anak-anak perempuan yang baru menjelang dewasa, usia terindah dan masa-masa terbaik dari segi keindahan fisik. Melihat itu tiba-tiba terbersit rasa khawatir di hatinya.
“Apa yang akan terjadi pada anak-anak perempuan ini kalau nanti kami semua gugur?” gumamnya cemas.

“Kalau mereka juga dibunuh oleh para kafir itu, selamatlah mereka bersama-sama menuju surga yang dijanjikan Allah. Tapi bagaimana kalau para pasukan kafir yang sudah berbulan-bulan jauh dari pasangannya itu berpikiran lain? Bagaimana kalau para pasukan kafir itu malah menjadikan mereka sebagai pemuas syahwat? Siapa yang akan membela mereka?” pikir Rëjë Ciq Pëparik . Dia tiba-tiba teringat cerita beberapa pasukan yang dia temui tentang bagaimana tentara-tentara kafir itu merusak kehormatan perempuan-perempuan muda di daerah taklukan.

Munculnya pikiran itu membuat Rëjë Ciq Pëparik galau.

“Apa artinya surga penuh kenikmatan, kalau kami meningggalkan anak-anak kami hidup dalam kenistaan,” pikirnya.

Karena pasukan van Daalen bisa muncul kapan saja, tanpa membuang waktu lama Rëjë Ciq Pëparik memutuskan segera memanggil Pang Liyës untuk menyampaikan apa yang dia pikir dan rasakan.

Terkait : Jatuhnya Benteng Pëparik (Bagian 2)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.