Oleh: Husaini Muzakir Algayoni*
Novel terbaik tentang Indonesia dan dilarang beredar oleh rezim Orde Baru dengan judul The Year of Living Dangerously: Cinta di Tengah Gejolak Revolusi 1965 karya Christopher Koch menyebutkan bahwa pada tahun 1965, sebuah masa yang dikenal sebagai Vivere Pericoloso (hidup penuh bahaya) yang membelokkan arah hidup bangsa Indonesia.
Novel ini menghidupkan peristiwa tersebut dengan detail mencekam dan membeberkan berbagai peristiwa politik sepanjang tahun penuh pergolakan sampai hari-hari terakhir kekuasaan Presiden Sukarno.
Koch yang dianugerahi Officer of The Order of Australia untuk bidang sastra pada tahun 1995 ini menyebutkan tahun 1965 sebagai masa hidup penuh bahaya karena peristiwa politik, kini sejak muncul teknologi dan berkembang pesatnya arus informasi bagaikan tsunami yang disampaikan oleh media, khususnya media sosial (medsos) telah mewarnai kehidupan penuh dalam bahaya.
Berapa banyak orang telah dibodohi oleh berita-berita hoax dan berita adu domba, berita yang belum jelas keautentikannya dan validitasnya dipercayai oleh masyarakat dan menjadi referensi primer tanpa ada komparasi dengan berita-berita lain sehingga menyebabkan chaos di tengah-tengah masyarakat.
Marshall McLuhan (dalam Haidar Bagir, 2017: 33-39) menerbitkan buku tentang media pada tahun 1960, sejak itu mengubah cara pandang orang tentang kedahsyatan media dalam membentuk cara hidup masyarakat. Di bukunya McLuhan, memperingatkan kita tentang masa depan umat manusia yang akan berubah disebabkan penemuan media audiovisual.
Haidar Bagir menambahkan bahwa disaat media sudah menjadi digital, serta cara pencarian dan penyebaran informasi telah menjadi jauh lebih mudah, jauh lebih cepat, dan aksesibel bahkan sangat menggoda untuk semua orang, terasa memang zaman menjadi lebih kacau.
Terlalu banyak informasi justru menyebabkan orang kebingungan, hilangnya kedalaman, dan lahirnya generasi baru internet. Dalam hal ini, Nicholas Carr menyebutnya sebagai orang-orang dangkal (the shallows), yang terbiasa menyantap informasi instan.
Hadirnya media di zaman modern ini, bagi orang yang berpikiran dangkal menegaskan bahwa semakin modern hidup manusia maka semakin terganggu ketentraman batinnya, tumbuh penyakit-penyakit jiwa dari orang-orang yang katanya berakal sehat justru cara berpikirnya yang tidak sehat karena merasa paling hebat, sok tahu, dan menganggap orang lain rendah dari dirinya.
Cara berpikir seperti ini bagaikan Abu Lahab yang berada dalam tempurung pemikiran sempit dan dari sinilah hidup penuh bahaya dimulai.
Pemikir Islam bernama Murtadha Muthahhari mengatakan bahwa “Sebagian orang sangat angkuh dan egois, mereka adalah orang yang menggambar dirinya sebagai pusat dan menempatkan orang lain di luar batas lingkarannya”. Keegoisan manusia di dunia media (medsos) ingin mempersamakan persepsi pikirannya dengan orang lain padahal kerangka berpikir manusia yang ada di medsos dan latarbelakang pendidikannya berbeda-beda.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa dengan hadirnya media (medsos), bukan untuk menambah kecerdasan atau wawasan seseorang dengan banyaknya informasi, justru dengan banyaknya informasi menambah kekacauan, kebingungan, dan cara pandang orang semakin sempit yang dapat membawa kehidupan pada situasi yang berbahaya. Dengan kata lain bahwa dengan banyaknya informasi bukan menambah cerdas dalam berliterasi, tetapi semakin gersang dalam berliterasi.
Melihat fenomena dan segala aktivitas manusia hari ini di medsos, tidak salah apa yang dikatakan oleh McLuhan pada masa silam bahwa manusia akan berubah disebabkan penemuan media audiovisual. Manusia mempunyai akal seolah-olah akal tidak digunakan untuk berpikir (berfilsafat), manusia mempunyai nilai-nilai spiritual, etika, dan cinta hilang seketika dengan ulah mengadu domba, menghina, dan saling menebar kebencian.
Untuk menghadapi hidup penuh bahaya/literasi-literasi berbahaya (destruktif) lewat media (medsos) dan terjebak dalam situasi bahaya dibutuhkan literasi-literasi cerdas dengan menumbuhkan minat baca (wawasan luas dan radic) dalam kehidupan sehari-hari sehingga medsos bisa menjadi alat positif dan bermanfaat dalam memberikan informasi atau ilmu pengetahuan kepada khalayak ramai. Dengan literasi cerdas, melahirkan pemikiran cerdas. Begitu sebaliknya literasi berbahaya, melahirkan pemikiran berbahaya untuk kehidupan manusia.
Hidup penuh bahaya diawali oleh kata-kata dan berita-berita provokatif yang diketik/ditulis oleh orang-orang yang tidak mempunyai akal jernih (sedang mengalami sakit jiwa) dan tidak mengindahkan aspek aksiologi dalam ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, bagaimana kita memilih hidup? Apakah hidup penuh bahaya atau hidup penuh makna? Karena hidup bukan sekedar hidup.
Mencari yang indah melahirkan seni, mencari yang baik melahirkan ilmu pengetahuan, dan mencari yang jahat melahirkan bahaya. Nah, hidup penuh bahaya berawal dari orang-orang jahat, orang jahat bukan berasal dari orang baik yang disepelekan akan tetapi orang jahat adalah orang yang kehilangan kedalaman berpikir dan orang yang kehilangan kedalaman berpikir melahirkan hidup penuh bahaya.
*Penulis, KolumnisLintasGAYO.co. Mahasiswa Prodi Ilmu Agama Islam (Konsentrasi Pemikiran Dalam Islam) Program Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh.