Realisasi Pendidikan Agama secara Kontekstual

oleh

Oleh : Achmad Muchlish. S.Pd.I*

Kurang lebih sebulan yang lalu banyak beredar berita di media sosial tentang usulan seorang praktisi pendidikan Setyono Djuandi Darmono untuk menghapus pendidikan agama di sekolah.

Salah satu pendiri kawasan industri Jababeka yang juga pernah menjabat sebagai wakil jaksa agung di era pemerintahan SBY ini beranggapan bahwa pendidikan agama tidak perlu diajarkan di sekolah. Agama cukup diajarkan orangtua masing-masing atau lewat guru agama di luar sekolah (Fajar.co.id , 4/7/2019).

Sebenarnya wacana penghapusan pendidikan Agama bukanlah sesuatu hal yang baru, pada pertengahan 2015 lalu, Musdah Mulia Politisi PDI Perjuangan sempat melontarkan wacana kontroversial ini. Dia mengacu pada negara Singapura dan Australia yang berhasil mempunyai penduduk negeri yang dikenal sebagai orang yang tertib, disiplin dan juga toleran meskipun mereka terdiri dari berbagai macam etnik, bahasa dan juga agama.

Menanggapi problema di atas Menteri agama Lukman Hakim dan menteri pendidikan dan kebudayaan Muhadjir Efendi menegaskan bahwa pendidikan agama tidak mungkin dihilangkan dari kurikulum sekolah karena sudah tertera dalam UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pada pasal 37 ayat (1). Jika benar pendidikan agama dihapuskan maka hal ini sudah melanggar undang-undang.

Melihat polemik yang sedang berkembang penulis melihat justru inilah saatnya menjadikan pendidikan agama di sekolah sebagai role model dalam melaksanakan kegiatan dan aktifitas di lingkungan sekolah dan masyarakat (kontekstual), bukan hanya protes dengan narasi-narasi negatif yang unfaedah. Misalnya membuat kebijakan dengan mengacu pada hukum keagamaan seperti siswa dilarang berkata kasar atau kotor dengan menyertakan dalil-dalil dari sumber keagamaan masing-masing.

Jadi, pembelajaran agama di sekolah tidak hanya sekadar menghafal dan belajar materi (tekstual) saja sehingga siswa hanya melaksanakan ritual pembelajaran sementara, sesudah ujian hilang tak berbekas, sehingga substansi dari pembelajaran agama itu sendiri tidak tepat sasaran. Yang terjadi di lapangan alih-alih mengamalkannya dalam keseharian, mereka justru hanya mengejar nilai bagus demi memuaskan kebahagiaan orang tua saat pembagian raport.

Merealisasikan pembelajaran agama dalam lingkungan sekolah sebenarnya sudah banyak dilakukan oleh lembaga pendidikan yang memang berafiliasi dengan kegamaan tertentu. Namun hal ini belum banyak terlihat pada sekolah-sekolah umum yang tidak memiliki embel-embel keagamaan, dimana siswanya memiliki agama yang beragam, poinnya adalah bagaimana sekolah bisa merealisasikan ajaran dari berbagai agama dan menuangkannya dalam sikap dan perilaku sehari-hari.

Tiga lingkungan pendidikan (rumah, sekolah, dan masyarakat) merupakan pilar utama dalam mendidik anak untuk mengamalkan ilmu yang telah didapatkannya di sekolah. Hal ini dapat terealisasikan jika guru, keluarga, dan masyarakat memiliki satu visi untuk membentuk generasi yang agamis, nasionalis dan sosialis. Maka dibutuhkan sinkronisasi ideologi yang universal sehingga dapat diterima oleh berbagai kalangan masyarakat.

Diskusi terbuka dari berbagai kalangan salah satu bentuk usaha dalam merealisasikan pendidikan agama di lingkungan sekolah dan masyarakat, termasuk tokoh agama dan tokoh masyarakat harus berperan aktif sehingga guru tidak terkesan berjuang sendirian dalam membentuk generasi masa depan yang memiliki kekuatan spiritualitas yang kokoh dan memiliki jiwa nasionalis yang tinggi serta berjiwa sosial yang baik.
Hal ini juga dapat mencegah sikap eksklusifme dalam beragama serta mengurangi pemahaman radikal yang dikhawatirkan oleh sebagian kelompok masyarakat, karena sekolah dan masyarakat memiliki andil dalam melaksanakan realisasi pendidikan agama yang diajarkan di sekolah.

Sikap ekslusivisme dalam beragama lahir dari sebuah pembelajaran yang menitik beratkan pada teks suatu ayat tertentu, tidak pada konteks yang sesuai dengan perkembangan zaman. Maka dari itu guru harus memiliki kedalaman ilmu yang terlebih dalam ilmu keagamaan, jangan sampai guru menyampaikan ilmu hanya berlandaskan asusmsi sendiri apalagi hasil dari membaca tulisan di media sosial yang tidak jelas sumber dan referensinya.

Ketua KPAI Susanto mengatakan bahwa seorang guru agama harus kompeten, terseleksi dan tidak memiliki kecenderungan memiliki faham radikalisme. Dalam beberapa kasus justru yang memiliki kecenderungan faham radikalisme itu bukan dari guru agama tetapi guru dari mata pelajaran tertentu dan bicara masalah agama, padahal bukan kompetensinya.

*Guru SMPIT Annur Cikarang Timur Bekasi.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.