Oleh : Yopi Ilhamsyah*
Turunnya es sebesar kelereng dari langit mengejutkan penduduk lokal di enam desa dalam Kecamatan Jagong Jeget Kabupaten Aceh Tengah pada Minggu Siang tanggal 07 Juli 2019. Fenomena ini timbul ketika Aceh memasuki musim kering, mengapa bisa?. Ada sebuah kearifan lokal yang menyebutkan hutan mendatangkan hujan, mungkin ini pula yang mengilhami sebutan hutan hujan (rainforest) untuk wilayah tropis yang dikenal memiliki keragaman hujan tinggi.
Dengan ungkapan “hutan dan hujan menghampiri kita”, kita dapat mengambil hikmah bahwa saat hutan hadir berkah dan rahmat mendatangi kita lewat hujan, namun saat hutan absen justru musibah menghantui kita.
Walaupun secara sains, fenomena hujan es dijelaskan karena proses pendinginan di mana fluida mengalami tiga perubahan fase dari uap air menjadi air hingga es di langit serta turun ke Bumi karena angin kencang yang membawanya. Penjelasan ilmiahnya dapat dilihat pada link berikut: https://news.detik.com/kolom/d-4615584/hujan-es-perubahan-iklim-dan-peringatan-dini. Namun perlu kiranya kita cermati dari sisi yang berbeda mengapa sampai ada fenomena ini.
Bila kita tilik, wilayah Aceh memiliki kawasan hutan seluas 3,34 juta hektar mencakup sekitar 60,22 persen dari luas total daratan Aceh, 55 persen di antaranya adalah kawasan hutan lindung dan hampir seluruhnya berada di Aceh Tengah.
Wilayah ini dikenal sebagai wilayah terbasah di Aceh di mana hujan terjadi di sepanjang tahun, dibuktikan dengan tidak adanya keragaman hujan yang mencolok antara musim kemarau dan musim hujan.
Rata-rata curah hujan tahunan di Aceh Tengah berjumlah lebih dari 2.000 milimeter. Selain letaknya yang berada di dataran tinggi Gayo, curah hujan tinggi ini diyakini memiliki hubungan yang erat dengan tutupan hutan yang rapat. Namun, pembalakan liar, konversi lahan yang tidak cermat telah mencemari lingkungan, terlihat dari kualitas air di Danau Laut Tawar yang menurun, sedimentasi di sungai, kondisi iklim yang tidak lagi bersahabat.
Studi kami menunjukkan kondisi curah hujan terkini di Aceh Tengah jauh lebih kering dan musim hujan hanya berlangsung singkat. Kalau pun hujan, akan berlangsung ekstrim hingga menimbulkan angin kencang, puting beliung dan hujan es disertai sambaran petir. Suhu melonjak sebesar 0,5 derajat Celcius selama tiga dekade terakhir, bila dibandingkan dengan kenaikan suhu untuk seluruh wilayah Indonesia yang bernilai 0,7 derajat Celcius tentu angka 0,5 adalah masif untuk satu bagian kecil dari Republik ini.
Inilah yang menyebabkan keselarasan alam terganggu, hutan yang tadinya tempat ternyaman di Bumi, kini menjadi cekaman. Menjadi tidak aman saat kita menunggu rezeki dari langit melalui hujan, justru es batu yang datang. Atau ketika hujan pun akan berubah menjadi musibah genangan bahkan banjir bandang karena minimnya vegetasi penyerap air.
Oleh karenanya untuk menjaga ritme alam ini, maka kita harus kembali ke kondisi awal alam ini tercipta. Pastinya, semua yang ada di alam ini diciptakan Tuhan sesuai dengan fungsi dan tujuannya masing-masing. Untuk wilayah Indonesia yang memang kondisi awalnya adalah hutan alam maka sebisa mungkin untuk kembali menghutankan wilayah Indonesia dengan hutan alam. Pemerintah bersama rakyat kembali mereboisasi wilayah-wilayah hutan yang selama ini mengalami deforestasi.
Kawasan hutan yang sudah beralih fungsi menjadi lahan perkebunan dan areal persawahan diupayakan untuk terus hijau dan produktif dengan tidak lupa menghutankan kawasan di sekitarnya untuk mengundang datangnya hujan dengan demikian lahan perkebunan dan persawahan tidak mengalami defisit air.
Kawasan hutan yang sudah beralih fungsi menjadi perumahan dan wilayah industri harus diupayakan untuk memenuhi persyaratan ruang terbuka hijau sebesar 30 persen dan bila perlu membangun sebuah hutan kota, dengan demikian keteraturan alamiah yang sifatnya saling melengkapi akan kembali terbentuk di Bumi yang kita cintai ini.
*Penulis Dosen Meteorologi Universitas Syiah Kuala Banda Aceh sedang menyelesaikan Doktoral di Klimatologi Terapan IPB