The Legend of Bujang Pane (Part I-IV)

oleh
Djali Yusuf dan Fauzan Azima.S. (Ist)

Oleh : Fauzan Azima S

PART. I

Saya tidak tahu persis, siapa sebenarnya Ujang Pane? Saya hanya tahu dia seorang pencuri yang melegenda sekitar tahun 1980 sampai dengan tahun 1990-an di Aceh Tengah. Apakah dia pernah mencuri di luar kota? Saya juga tidak tahu.

Menurut cerita, Ujang Pane adalah pencuri yang baik hati. Seperti cerita Robinhood, dia mencuri rumah orang-orang kaya yang pelit dan hasil curiannya dibagi-bagikan kepada fakir miskin. Dia hanya mengambil “fee” dari hasil jarahannya mungkin sekitar 8 persen. Apakah persis bermain di angka 8 persen? Saya juga tidak tahu.

Ujang Pane tidak sanggup mendengar orang mengeluh. Misal terdengar di telinganya, “Saya minta sesuatu kepada Aman Polan, tetapi tidak dikasih, padahal saya sangat butuh.” Maka pada malam harinya langsung dia kuras semua barang-barang milik Aman Polan tersebut lalu diberikan kepada orang-orang yang membutuhkan.

Kalau Ujang Pane sudah bereaksi, seisi rumah akan tertidur lelap. Bahkan dia bisa leluasa memindahkan penghuninya. Tangan Ujang Pane bisa mendeteksi di sudut mana harta berharga (uang dan emas) disimpan pemilik rumah. Karenanya dalam waktu sangat singkat harta orang kaya tersebut berhasil dikuras.

Salah seorang tokoh masyarakat Tionghoa, bernama Akang tinggal di daerah Simpang Lima, Kota Takengon pernah menantang, bahwa Ujang Pane tidak akan mampu masuk ke rumahnya. Namun Ujang Pane tidak saja mampu masuk ke rumahnya tetapi bisa memindahkan istrinya ke kamar mandi. Sejak peristiwa itu, seluruh masyarakat Tionghoa di Takengon membayar upeti kepada Ujang Pane.

(Mendale, 6 Juli 2018)

PART. II

Kita tidak tahu siapa sebenarnya Bujang Pane. Penulis-penulis muda yang energik perlu menyusurinya lebih jauh. Catatan ini hanya pintu gerbang masuk ke dalam kehidupan Bujang Pane.

Bujang Pane adalah julukan karena kecerdasannya. Cerdas seperti Abu Nawas. Postur tubuhnya agak tinggi sedikit kurus, berjambang tipis, dengan sorot mata yang tajam seperti elang. Inilah “barangnya,” specialis pencuri.

Kehidupan masyarakat pada masa itu penuh keluh kesah. Susah hidup kecuali bagi orang-orang yang bekerja pada kantor-kantor pemerintahan. Petani kopi belum sehebat sekarang. Masyarakat masih berkarakter; orang belum melihat kesuksesan seseorang dari mobil atau rumah, tetapi kebanggaan keluarga ketika anaknya bisa kuliah di Banda Aceh atau Medan.

Demi kebanggaan itu, orang-orang tua bekerja jadi kuli, pedagang sayur, “mangan ongkosen”, sampai berhutang sebelum panen palawija, kopi atau padi. Bujang Pane seperti kebanyakan orang-orang pada masa itu juga hidup prihatin. Bedanya Bujang Pane “lebih pinter” mencari jalan pintas mengatasi persoalan hidup; yakni dengan mencuri.

Dalam perenungannya, ayat yang pertama turun adalah “Iqro” merupakan satu kata seribu bahasa. Menurut bahasa “Iqro” artinya bacalah. Namun menurut ilmu musyahadah bisa berarti “IQ rotation” artinya putar otak. Jangan pasrah terhadap kenyataan hidup. Allah tidak akan merubah nasibmu, sebelum engkau sendiri yang merubahnya.

Teorinya sudah oke, tapi prakteknya perlu perenungan yang lebih dalam. Pernah terpikir di benaknya, bahwa kata ulama sufi, untuk mendapat jawaban dari soal kehidupan “Bertapalah di dalam gua.” Ujang Pane bermain dengan fikiran liarnya. Apakah gua yang dimaksud gunung berlubang? Atau gua dalam bahasa Betawi artinya aku.

Akhirnya Bujang Pane mempraktekan opsi kedua dengan melakukan kontemplasi. Satu ruangan di sisi barat rumahnya, ukuran 1×1 meter dijadikan tempat khalwat. Dupa harum bunga melati dipasang, mantra membakar kemenyanpun dibaca.

“Hey seriket Rasulullah asalmu kemenyan, Siti Putri namamu, Kamarullah nama batangmu, Aulia Allah baumu, engkau orang benar nan suci, sampaikan salamku kepada polan.”

(Mendale, 7 Juli 2018)

PART. III

Pemahaman Bujang Pane, dupa sebagai sarana memanggil roh arwah nenek moyang adalah perwujudan hadits Nabi Muhammad; “Uthlubul ilma walau bisshin” atau tuntutlah ilmu sampai ke negeri China.

Kita kenal China lebih kuat kebudayaannya daripada agama; terutama budaya penghormatan kepada nenek moyangnya. Begitupun Gayo dengan tradisi asap kemenyannya.

“Kalau dupa dan kemenyan sudah bersatu, tidak ada alasan lagi bagi nenek moyang bermalas-malasan untuk tidak hadir dalam tafakurku” keyakinan Bujang Pane.

Di tengah wewangian dupa bunga melati dan harumnya asap kemenyan, Bujang Pane duduk bersila memanggil roh arwah nenek moyangnya.

“Wahai Muyang Datungku, copikan ilmumu menyatu ke dalam dzahir bathinku,” bisiknya dalam hati.

Menjelang waktu fajar, datanglah Muyang dengan tubuh seperti kabut tipis. “Adakah cucuku perlu bantuanku?” Katanya dengan suara lembut.
“Tentu muyangku” jawab Bujang Pane dalam hati.
“Bantuan apa yang cucuku butuhkan?” tanya Muyang itu.
“Ajarkan cucumu ilmu mencuri agar tidak terlihat oleh pemilik harta,” pinta Bujang Pane agak kurang sopan.

Muyang itu mengajarkan Kaifiat atau tata cara “ilmu maling” itu. Apabila ada orang yang meninggal dunia di kampung ini, mintalah kepada Teungku Imum itu kain yang membersihkan gigi si mayit. Syaratnya Teungku Imum harus ikhlas memberikannya kepadamu.

Kemudian pulanglah ke rumah dan bakarlah kain pembersih gigi si mayit tadi sampai menjadi abu, lalu usaplah ke seluruh mukamu. Dengan begitu engkau tidak terlihat lagi oleh manusia.

Setelah itu sebelum jenazah sampai ke kuburan engkau sudah harus berada di sana. Ketika mayat akan diturunkan ke dalam kubur ada sebangsa jin atau khodam bersorban hijau yang tidak tampak oleh manusia kecuali dirimu yang akan menyambut jenazah tersebut, maka rebutlah sorbannya.

Setelah mengucap salam dan sujud terima kasih kepada moyangnya, Bujang Panepun mengakhiri tafakurnya. Bahagia rasanya tak terkira, begitu dahsyat perpaduan dupa dan kemenyan sebagai sarana pemanggil roh arwah nenek moyang.

(Mendale, 7 Juli 2018)

PART. IV

Senyum mekar mulai kuncup ketika Bujang Pane membayangkan Imum kampung bukan jagoannya saat pemilihan Imum beberapa bulan lalu. Berat nian syarat mendapatkan “sugi” mayit harus berdasarkan keikhlasan Imum.

Bukan Bujang Pane namanya kalau tingkat Imum kampungpun tidak bisa ditaklukan, fikirnya. Dia pun mulai tahap demi tahap berusaha mendekatkan diri, selepas isya bertandang ke rumah Imum dengan kedok hendak bertanya soal agama.

Sesuai tradisi, Bujang Pane membawa kopi manis sebagai persembahan kepada Imum. Kopi adalah simbol surga dan neraka; manisnya kopi diibaratkan surga, hitamnya adalah neraka. Kopi pun dituang ke dalam gelas, dengan begitu Bujang Pane berharap suasana menjadi cair, tapi yang didapat adalah kalimat sarkasme, “Pengkhianat tidak bisa dipercaya,” sindir Imum Muzakkir.

Bujang Pane berusaha tidak peduli dengan sindiran Imum Muzakkir, namun dalam benak Bujang Pane menyimpulkan Imum Muzakkir adalah penganut ilmu logika orang-orang bodoh; Rukun iman hanya enam perkara, dan pengkhianat tidak termasuk dalam rukun iman. Dalam hati kecil Bujang Pane tertawa kecil, “Siapa pula yang masukan pengkhianat ke dalam rukun iman?”

Pertemuan Bujang Pane dan Imum Muzakkir sangat kaku, hampir tiada tawa, yang ada hanya doktrin monolog tentang surga dan neraka yang penjelasannya terlalu berlebihan, seolah sang Imum punya KTP dengan alamat surga yang mengetahui tata letak dan interiornya dengan sungai madu dan susu didampingi dengan bidadarinya yang cantik jelita, sehingga ibadah bukan karena ingin mendapatkan ridho Allah, tapi karena nafsu ingin masuk surga dan takut panasnya api neraka.

Imum Muzakir sangat kental syariatnya dan cenderung fanatis, menutup fikirannya terhadap hal-hal di luar syariat. Sikap fanatik sama dengan menganggap ilmu Allah hanya semangkok tinta, sedangkan andai lautan sebagai tinta untuk menulis ilmu Allah tidak akan cukup, meski ditambah sejumlah itu lagi.

Pun demikian, dalam waktu-waktu senggang, Ia selalu menyempatkan diri bertamu kepada Imum Muzakkir, walau sambutannya sama seperti pertemuan semula, sangat kaku, namun Bujang Pane terus fokus demi “sugi” mayit, kalau-kalau ada orang kampung meninggal nantinya.

Fikirannya, biarlah dia “ngalah” asal tujuannya kelak tercapai. Tokh, ini bukan soal perang; menang atau mati. Zaman dulu, “kalah” bukanlah lawan kata dari “menang” tetapi, setelah segala daya upaya dilakukan namun tidak berhasil juga maka satu-satunya jalan adalah berserah diri kepada Allah. Karena itu, kalau kalah nyaleg janganlah merasa rendah diri atau putus asa, tetapi karena Allah sedang ingin bersamanya.

(Mendale, 10 Juli 2018)

Bersambung ke PART. V : The Legend Of Bujang Pane (Part V)

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.