Penolakan KFC dan Kopi Kapal Api di Gayo, Kritik atau Picik?

oleh

Oleh : Win Wan Nur*

Terkait dibukanya KFC di Takengon dan rencana investasi Kopi Kapal Api di Bener Meriah. Kalau kita amati fenomena perbincangan di dunia maya, secara umum masyarakat Gayo menerima dengan tangan terbuka. Tapi satu dua, ada juga yang tampil beda, menolak kehadiran investasi itu dengan berbagai alasan klise yang sama sekali tidak baru.

Menariknya, ketika para penolak ini tersudut kehabisan argumen tentang alasan apa yang ditolaknya. Mereka mencari selamat dengan mengatakan ini adalah Kritik yang merupakan hal yang wajar dalam iklim demokrasi.
Kalimat semacam ini, tentu bukan hanya kali ini saja kita dengar. Setelah kejatuhan Soeharto, presiden yang pemerintahannya dijalankan dengan tangan besi, dimana hak bersuara dibatasi sampai-sampai muncul anekdot, di zaman itu kita hanya bisa membuka mulut di depan dokter gigi, euphoria meledak di mana-mana. Orang-orang yang dulunya tak berani bersuara, tiba-tiba merasa menjadi singa yang bisa mengomentari apapun, jadi bebas berbeda pendapat dalam hal apapun dan tidak peduli ketika itu berhadapan dengan siapapun, mulai dari penguasa sampai ulama.

Kehadiran media sosial membuat euphoria itu menemukan lahan subur untuk berkembang. Sayangnya, di masa Orde Baru, bibit-bibit pikiran kritis sudah dimatikan. Kebiasaan untuk berdebat secara sehat dengan penggunaan logika yang ketat telah dimatikan. Alhasil kebebasan berbicara hanya menghasilkan keriuhan tanpa esensi.

Kita jadi bebas berbicara tapi lemah dalam penerapan logika dan penguraian definisi. Semua pendefinisian dilakukan secara brutal berdasarkan suka atau tidak suka. Orang percaya diri didefinisikan sombong, orang sombong dikatakan percaya diri, orang rendah hati dikatakan rendah diri, orang rendah diri dikatakan rendah hati dan seterusnya.

Pendefinisian ini menjadi kacau balau dan yang terparah dari semuanya adalah dalam mendefinisikan apa itu kritik. Saat ini, definisi yang berkembang secara liar, brutal dan diyakini secara umum, Kritik berarti berbeda dengan penguasa.

Padahal, benarkah itu yang dimaksud dengan kritik?

Secara kebetulan beberapa hari yang lalu saya membaca status seorang netizen bernama Mustaqim Abubakar yang membedakan antara Kritik dan Picik.

Seperti yang dijelaskan dalam status Mustaqim Abubakar , kalau kita amati fenomena di sekitar kita, sangat umum kita temui bahwa kita tidak bisa membedakan antara Kritik dan Picik.

Seperti sombong dan percaya diri, seperti rendah hati dan rendah diri, gila dan jenius, Kritik dan Picik memang sekilas terlihat mirip. Padahal sebenarnya secara esensi sangat jauh berbeda.

Sebagaimana dikatakan oleh netizen tersebut dalam statusnya Kritik itu sifatnya menguraikan masalah. Sementara Picik itu mencari masalah, disampaikan untuk untuk menyalahkan.

Pondasi kritik itu terbangun dari keteraturan pengetahuan dan keketatan logika.

Sementara Pondasi Picik itu terbangun dari ketidak tahuan dan logika yang tidak konsisten.

Apa yang disampaikan oleh Mustaqim Abubakar ini memang sebangun dan sejalan dengan definisi Kritik yang kita baca dalam literatur ilmiah apapun. Kritim itu mensyaratkan adanya pengetahuan tentang subjek atau objek yang dikritisi.

Kemampuan menguraikan masalah didapat dari adanya pengetahuan itu. Kualitas dari Kritik bisa dilihat dari dalam atau dangkalnya pengetahuan seorang kritikus terhadap tema yang dia kritisi. Jadi bukan asal mangap.
Contohnya, untuk bisa mengkritik makanan, seorang kritikus seperti almarhum Bondan Winarno harus memiliki pengetahuan tentang ingredient yang memuat kualitas dan kesegaran material yang dipakai untuk membuat makanan, ada pengetahuan tentang Technique yang merupakan pengetahuan tentang cara memanipulasi dan mengubah bahan-bahan dalam hidangan sembari tetap menghormati esensinya, tradisi, dan sains dan seterusnya dan seterusnya.

Sekarang kita kembali kasus penolakan dibukanya KFC di Takengen dan penolakan investasi Kopi Kapal Api di Bener Meriah.

Sebagai contoh paling mudah untuk menilai, apakah penolakan itu bersifat kritik atau picik, mari ambil “KRITIK” yang menjadikan alasan penolakannya itu karena alasan KFC yang terang-terangan menyumbang buat PAD Aceh Tengah dan merekrut tenaga lokal Aceh Tengah ini dimiliki perusahaan Yahudi dan keuntungannya dipakai untuk mendukung Israel yang menzalimi Palestina. Sementara itu apa yang dia sebut sebagai “KRITIK” itu disampaikan melalui Facebook, perusahaan yang juga dimiliki oleh orang Yahudi yang keuntungannya jelas jauh lebih besar dari keuntungan KFC dan sama sekali tidak menyumbangkan apapun untuk PAD Aceh Tengah dan juga sama sekali tidak membantu mengurangi pengangguran di Aceh Tengah dengan cara merekrut penduduk Aceh Tengah sebagai pekerja di perusahaannya. Apakah ini argumen ini terbangun dengan pondasi keteraturan pengetahuan dan keketatan logika?

Bukankah ini terlihat seperti orang yang mencela dan meguktuk keras pemakaian penyedap makanan karena terindikasi dibuat dengan perantaraan enzim babi sembari dia sendiri makan saksang (masakan babi khas Batak) dengan lahap?

Akhirul kalam, untuk masa depan Gayo yang lebih baik, supaya kita tidak terjebak menjadi “kuda” untuk tunggangan dan kepentingan orang lain. Mulai saat ini, marilah kita biasakan diri untuk menilai apapun informasi yang masuk ke ruang sosial kita dengan pikiran jernih, apakah penolakan ataupun dukungan terhadap suatu kebijakan atau keputusan pemerintah itu berbentuk KRITIK atau sebenarnya tak lain merupakan sesuatu yang bersifat PICIK?

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.